PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Juli 31, 2019

Kurban dalam Politik: Tidak Ada Kawan dan Lawan Abadi









Dalam dunia politik berlaku sebuah adagium yang berbunyi: Tidak Ada Kawan dan Lawan Abadi, yang Ada Kepentingan Abadi. Tak ubahnya seperti adagium "musang berbulu ayam" sesungguhnya merupakan rekaman fakta praktik politik atau perilaku budaya dalam kehidupan sehari-hari (das sein). Tetapi adagium tersebut kerapkali justru dianggap dan diamalkan
sebagai sebuah nilai atau ajaran kebenaran (das sollen), bahkan lebih buruk dari itu dijadikan sebagai dalil pembenaran atau apologia (seakan harus dimaklumi sebagai hal yang lumrah) terhadap sebuah nilai keburukan atau sikap dan tindakan tercela yang terkandung di dalamnya. Karena nilai, arti dan makna dari adagium tersebut sebagaimana akan dipaparkan dan dimaksudkan dalam tulisan Kurban dalam Politik: Tidak Ada Kawan dan Lawan Abadi ini adalah sikap opotunis (mencari enaknya sendiri) dan pragmatis yang tentu saja secara etika, moral dan akhlak mulia jauh dari sikap serta kepribadian yang terpuji. Sikap dan perilaku sebagian besar politisi di tanah air yang mengamalkan nilai dan ajaran tak terpuji alias tercela dari ungkapan tersebut selama ini alih-alih tidak menimbulkan jatuh korban sia-sia lagi-lagi malah masih diberikan toleransi alias dimaklumi.


Namun yang terjadi alih-alih memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk mendapatkan hidup yang lebih sejahtera dalam keadilan malah meninggalkan luka hati yang mendalam sehingga menimbulkan keretakan hubungan antar warga negara bahkan berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Nilai dan Makna Sejati Kurban


Tak hanya itu, dalam kondisi psikologis rakyat yang sudah terpuruk demikian Wakil Presiden RI Yusuf Kalla memunculkan wacana atau setidaknya terkesan mendukung kemungkinan bergabungnya kubu oposisi dan kubu koalisi Jokowi-KH Ma'ruf Amin, maka sempurnalah sudah jika dikatakan bahwa dalam praktik budaya politik di Indonesia ternyata rakyat tak lebih hanyalah menjadi pelengkap penderita, hampir tak ada bedanya dengan hewan dalam pelaksanaan ritual kurban dalam Islam. Dalam bingkai positive thinking atau pikiran yang positif bisa jadi inisitaif dan wacana yang dicetuskan JK tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan rasa keprihatinan akan sebuah fakta masih terbelahnya masyarakat dan rakyat Indonesia menjadi dua kubu yang sangat tajam sebagai akibat dari praktik budaya politik yang berpedoman pada semboyan "Tidak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi" tersebut, di mana pada awalnya kebutuhan mendesaknya adalah langkah rekonsiliasi tanpa negosiasi (syarat). Namun lagi-lagi karena landasan etika dan moral yang dipakai adalah adagium Tidak ada kawan dan lawan abadi yang ada hanya kepentingan yang abadi, maka meskipun seakan harus mengkhianati dan melukai perasaan rakyat pendukungnya, maka jalan kompromi itupun terpaksa harus ditempuh. Sebab logika paling sederhana untuk menanggapi perkembangan politik demikian tak ada lain, kecuali sebuah kalimat tanda tanya singkat: "Kalau ujung-ujungnya bagi-bagi kekuasaan demikian, lalu buat apa diselenggarakan Pemilu yang menelan biaya besar dan mengerahkan segala daya dan menguras banyak energi jutaan rakyat itu..?'

Kesimpulan

Cara-cara semacam itu dapat dianalogikan dengan cerita berikut yang nyata kerapkali terjadi di lingkungan kampung hunian rakyat kecil di wilayah ibu kota. Bila suatu ketika terjadi pertengkaran bahkan mungkin perkelahian di antara sesama anak-anak kecil, kadangkala berbuntut kesalahpahaman bahkan hingga berujung pertengkaran di antara orang tua gegara membela anak-anak mereka masing-masing. Ironisnya sekaligus lucunya, sementara para orang tua tersebut masih berseteru dan saling tidak bertegur sapa hingga berhari-hari atau mungkin untuk selama-lamanya, namun tak lama berselang pasca bertengkar atau berkelahi anak-anak tersebut sudah kembali berdamai dan dapat bermain bersama. Dalam cerita tersebut analoginya, anak-anak sebagai para politisi (sebagaimana Presiden RI ke-4 Gus Dur juga pernah menyamakan anggota DPR RI di zamannya dengan siswa Taman Kanak-kanak). Sementara orang tua dari anak-anak tersebut dianalogikan sebagai rakyat yang merupakan simbol dan representasi dari ibu pertiwi

Simak Juga:




Posting Komentar