Sebuah uangkapan dalam bahasa Arab menyebutkan tentang definisi dan kriteria cinta sebagai berikut.
حبّه كثرت ذكره
Perasaan cinta itu ditandai atau diukur seberapa banyak mengingatnya (yang dicintai)
Demikian pula dalam pandangan Islam definisi dan ukuran tentang sebuah kebajikan dikemukakan dalam rumusan yang sederhana namun jelas sebagai berikut.
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّـهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya
Ali Imran 92
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّـهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ali Imran 134
Jadi, sesungguhnya sudah sangat jelas dan terang dapat dikatakan bahwa seseorang muslim belum layak berbicara alih-alih mewujudkan ajaran pokok 'amar ma'ruf' mengenai kebajikan sebelum ia dapat melaksanakan sebagaimana definisi dan kriteria sebuah kebajikan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.