PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 28, 2018

Pengkultusan Hafiz Alquran





Soal fenomena praktik menyimpang dalam agama sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah ada sejak zaman nabi Adam as. Praktik menyimpang mulai dari soal akidah hingga syariah. Mulai dari kategori ringan, sedang hingga yang berat. Sebagai contoh menurut temuan dan analisis paling mutakhir memberhalakan agama dapat dikategorikan sebagai syirik besar. Sementara praktik-praktik syirik seperti yang digarap sebagai misi utama awal  berdirinya organisasi masyarakat keagamaan Muhammadiyah, seperti upacara tahlil, memberi sesaji dan membakar kemenyan sesungguhnya masih dapat dikategorikan sebagai syirik kecil. Itu semua dilakukan, baik secara sengaja  maupun tidak, karena berbagai macam sebab, seperti karena ketidaktahuan, tidak paham, dan atau salah paham lalu ikut-ikutan atau taklid. Satu contoh lagi dapat disebutkan bentuk penyimpangan praktik keagamaan adalah tentang menghapal Alquran. Di zaman Nabi saw para sahabat penghapal Alquran lebih bersifat fungsional. Tak lama sepeninggal Nabi saw para penghapal Alquran jumlahnya tinggal seratusan orang dan jauh berkurang akibat gugur dalam peperangan. Kondisi itulah yang menggugah hati khalifah Ustman ra dan segera  menggerakkan para sahabat untuk menghimpun serta menyusun Alquran dalam bentuk mushaf, sehingga dapat disuguhkan dan digunakan oleh kaum muslimin seperti sekarang ini. Sesudah itu beberapa tokoh seperti Imam Syafii disebutkan hapal Alquran pada usia 9 tahun. Atau Hasan al Bana, pendiri gerakan politik Ikhwabul Muslimin di Mesir, hapal Alquran pada usia 15 tahun. Mereka bukan sekadar hapal Alquran, tetapi para ahli agama yang tentu saja ilmu dan pendalamannya tentang Alquran tak diragukan lagi. Tidak pernah dikabarkan, apakah ahli tafsir Alquran seperti Prof HAMKA atau Prof Quraish Shihab hapal Alquran atau tidak.
Di sekolah agama dulu, materi dari ilmu tafsir yang pertama kali diajarkan adalah tentang buruknya sifat orang yang hanya suka membawa-bawa buku tapi tidak mengetahui isinya diumpamakan seperti keledai.

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًابِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّـهِوَاللَّـهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim
Jumu'ah 5

Pada waktu belakangan ini menghapal Alquran seolah menjadi "trend". Sejumlah lembaga pendidikan agama bahkan membuka penawaran khusus program untuk menghapal Alquran. Daya pukaunya demikian menarik, sehingga ada orang tua yang menyekolahkan anaknya khusus hanya untuk menghapal Alquran dan tidak mau belajar yang lain. Di bagian lain dalam banyak forum pengajian penghapal Alquran ditampilkan dan diperlakukan bak orang suci sehingga mirip atau mengarah pada pengkultusan individu. Padahal sebagaimana diketahui bahwa pengkultusan Nabi saw saja dilarang.
Entah sumber ajaran dari mana, namun dikhawatirkan tren tersebut berubah menjadi tradisi salah kaprah. Sementara sumber dan latar bekakang sesungguhnya dikhawatirkan hanyalah sebuah desain marketing untuk tujuan ekonomi tak ubahnya seperti biro travel haji dan umrah yang juga rawan dan sarat dengan penyimpangan itu. Bila hal tersebut benar, memang ada sesuatu hal yang salah dan perlu diluruskan. Akhirnya, catatan pentingnya adalah bahwa selain bersifat fungsional, menghapal Alquran adalah bagian dari seni. Sedangkan membaca Alquran adalah bagian dari ibadah sunah muakadah.


Simak Juga:




Posting Komentar