Adagium 'merasa bisa' dan 'bisa merasa' tersebut berasal dari ungkapan bahasa Jawa yang berbunyi ‘Biso Rumongso’ dan ‘Rumongso Biso’, yang berarti menggambarkan sifat dan karakter seseorang. ‘Bisa merasa’ atau dengan kata lain dapat diartikan ‘tahu diri’, ‘peduli’ atau ‘empati’. Kebalikan dari sikap
dan watak tersebut adalah ‘ego sentris, ‘cuek’ atau ‘tak peduli’. Sedangkan ‘Merasa bisa’ adalah gambaran sifat dan watak seseorang yang cenderung ‘sok tahu’, ‘tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu’ sebagaimana kategorisasi dalam keilmuan menurut Imam Besar Sufi Al-Ghozali.
Kedua kalimat dalam ungkapan tersebut memang sangat lekat dan dekat dengan penggambaran karakter serta sifat orang etnis Jawa pada umumnya yang berbudaya halus dan penuh kewaspadaan serta pandai mengontrol dan mengendalikan diri. Budaya tersebut tampak menonjol ketika lingkungan alam dan budaya masyarakat perdesaan (rural) dan masyarakat perkotaan (urban) masih berbeda menyolok. Namun setelah bangsa dan masyarakat Indonesia mengalami perubahan dan kemajuan yang cukup pesat dalam pembangunan, sehingga batas fisik antara desa dan kota sudah hampir tak kelihatan lagi, tampaknya budaya tersebut sudah luntur. Watak perdesaan yang guyub dan saling tolong menolong atau dikenal sebagai gotong royong seolah kalah dan larut dalam perbenturan budaya perkotaan yang cenderung materialistis dan individualistis. Perubahan itu semakin terasa karena arus urbanisasi dan mobilitas warga perdesaan yang kian tinggi dengan maraknya arus tenaga kerja yang mengadu nasib bahkan hingga ke manca negara. Beruntung potret watak bangsa yang kian luntur dan hilang tersebut tidak berkelanjutan, menyusul harapan untuk ditemukan kembali dengan tampilnya sekumpulan pegiat seni tradisi yang ‘bisa merasa’ akan munculnya gejala tersebut. Mereka dengan penuh dedikasi berupaya untuk membangkitkan serta menyemarakkan kembali nilai-nilai luhur dan indah dari budaya lama yang sesungguhnya merupakan jati diri bangsa.
Menurut Anda, siapa di antara mereka dapat digolongkan sebagai 'bisa merasa' atau 'merasa bisa' dalam cerita anekdot berikut ini? Tersebutlah di sebuah musolla beberapa orang anak baru gede (ABG) sedang melaksanakan ibadah salat berjamaah dhuhur dipimpin oleh seorang imam selaku takmir. Entah mengapa dan apa yang diucapkan, tiba-tiba salah salah seorang makmum yang berjamaah berbicara sendiri. Mendengar teman makmum berjamaah berbicara, teman yang di sebelahnya mengingatkan: “Jangan bicara.! Nanti salatmu batal..!”. Mendengar dua teman tersebut berisik, maka teman yang di sebelahnya pun ikut nimbrung seraya mengingatkan: “Wahai kawan-kawan, jangan berbicara..! Nanti salat kalian batal..!”. Tak lama kemudian teman yang di sebelahnya lagi menggerutu: “Saya mah gak berbicara..!”