Sepatu kuda
Pada zaman dahulu berbagai suku tertentu yang berdiam di kawasan Nusantara pada umumnya dikenal memiliki peradaban dan tradisi budaya yang tinggi dan ramah. Namun sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 lalu setelah bangsa Indonesia menghadapi dan melewati berbagai
tantangan dan ujian bertubi-tubi yang berpotensi mengoyak kesatuan dan persatuan bangsa, citra tersebut banyak mengalami perubahan. Lebih-lebih pasca tumbangnya rezim Orde Baru yang otoriter dan korup, disusul masuknya era kemajuan teknologi digital yang sangat pesat akhir-akhir ini. Masuknya kemajuan teknologi informasi tidak didukung atau dibarengi dengan kemampuan literasi yang memadai membawa akibat, bukan hanya cakupan bangsa tetapi pada tingkat keluarga bahkan individu telah terseret ke dalam arus perpecahan yang cukup serius dan tajam hanya karena perbedaan pilihan dan atau pandangan politik. Fenomena demikian sesungguhnya bukan hal yang baru, karena bangsa Indonesia telah mengalami perpecahan malah dengan akibat yang lebih dahsyat ketika terjadi peristiwa G30S PKI pada tahun 1965. Sebagai bangsa dan atau individu warga negara yang beradab tentu sejarah kelam tersebut tak ingin berulang kembali. Guna mengembalikan atau memulihkan citra positif bangsa yang terlanjur terkoyak tersebut artikel ini menawarkan Cara Membentuk Karakter dan Pribadi yang Istikamah.
Jika belajar dari sejarah khususnya sejarah zaman kerajaan di Jawa selama masa penjajahan Belanda dengan politik 'devide et impera' atau politik pecah alias politik adu domba dulu, maka dapat disimpulkan bahwa pokok dan akar masalah sesungguhnya adalah faktor ambisi kekuasaan antar bangsa sendiri sehingga pihak asing (dalam hal ini Belanda) dapat masuk dan mengambil kesempatan. Berbeda dengan zaman kerajaan, ambisi berkuasa itu dicapai dengan melakukan kolaborasi dan bekerja sama (baca: meminta bantuan dengan janji imbalan) dengan kekuatan serta pihak asing, maka pada era demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat para pemburu kekuasaan tersebut berupaya dengan berbagai cara untuk menarik dan mendapatkan dukungan rakyat. Hal tersebut dibenarkan dan memang merupakan jalan yang harus ditempuh sepanjang aturan membolehkan. Yang menjadi masalah ketika isu SARA terutama agama dibawa ke ranah politik notabene perebutan kekuasaan. Dalam kondisi tingkat pemahaman rakyat tentang agama masih tergolong minimalis akhirnya menjadi lahan dan sasaran yang empuk bagi kekuatan ambisi politik yang kerap disebut sebagai menghalalkan segala cara. Maka untuk menghadapi fenomena tersebut bagi rakyat sebagai pemegang mandat mau tak mau harus membekali diri dengan cukup dalam literasi dan pemahaman agama. Sebagaimana disebutkan pada awal tulisan bahwa terutama dalam tahun politik seperti saat ini pertikaian dan perselisihan pendapat di tengah masyarakat melalui media sosial saat ini sudah tidak bisa ditutup-tutupi dan dibendung lagi. Jika dikatakan imbasnya menimbulkan keretakan antar teman dan tetangga atau malah perpecahan antar keluarga bisa jadi ada benarnya disebabkan masing-masing merasa sedang membela agama dan atau ulama, karena menganggap telah terjadi penistaan dan kriminalisasi terhadap keduanya. Padahal faktaya adalah agamanya benar tetapi pemahaman terhadap agamanya belum tentu benar. Atau pengertian ulama sebagai profesi yang memiliki kedudukan mulia memang benar, tetapi dalam aksi bela ulama itu ujungnya yang dimaksud adalah membela seseorang, persisnya seperti misalnya membela kepentingan (politik) Riziek Shihab dan konco-konconya. Hal tersebut bisa terjadi karena sebagian pemuka dan tokoh agama dalam waktu yang sama juga mengalami distorsi pemahaman, sehingga ceramah-ceramahnya tidak mencerahkan tetapi kerapkali justru cenderung menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang memang masih rendah dalam literasi dan kemampuan untuk memilih dan memilah serta membandingkan (second opinion, istilah kedokteran). Apalagi masalah yang diperbincangkan tidak sederhana lalu dikemas (digoreng, istilah plesetan) sedemikian rupa bukan untuk menggali kebenaran tetapi untuk tujuan kepentingan pribadi atau kelompok atau golongan.
Cara Membentuk Karakter dan Pribadi yang Teguh
Jika belajar dari sejarah khususnya sejarah zaman kerajaan di Jawa selama masa penjajahan Belanda dengan politik 'devide et impera' atau politik pecah alias politik adu domba dulu, maka dapat disimpulkan bahwa pokok dan akar masalah sesungguhnya adalah faktor ambisi kekuasaan antar bangsa sendiri sehingga pihak asing (dalam hal ini Belanda) dapat masuk dan mengambil kesempatan. Berbeda dengan zaman kerajaan, ambisi berkuasa itu dicapai dengan melakukan kolaborasi dan bekerja sama (baca: meminta bantuan dengan janji imbalan) dengan kekuatan serta pihak asing, maka pada era demokrasi dimana kedaulatan ada di tangan rakyat para pemburu kekuasaan tersebut berupaya dengan berbagai cara untuk menarik dan mendapatkan dukungan rakyat. Hal tersebut dibenarkan dan memang merupakan jalan yang harus ditempuh sepanjang aturan membolehkan. Yang menjadi masalah ketika isu SARA terutama agama dibawa ke ranah politik notabene perebutan kekuasaan. Dalam kondisi tingkat pemahaman rakyat tentang agama masih tergolong minimalis akhirnya menjadi lahan dan sasaran yang empuk bagi kekuatan ambisi politik yang kerap disebut sebagai menghalalkan segala cara. Maka untuk menghadapi fenomena tersebut bagi rakyat sebagai pemegang mandat mau tak mau harus membekali diri dengan cukup dalam literasi dan pemahaman agama. Sebagaimana disebutkan pada awal tulisan bahwa terutama dalam tahun politik seperti saat ini pertikaian dan perselisihan pendapat di tengah masyarakat melalui media sosial saat ini sudah tidak bisa ditutup-tutupi dan dibendung lagi. Jika dikatakan imbasnya menimbulkan keretakan antar teman dan tetangga atau malah perpecahan antar keluarga bisa jadi ada benarnya disebabkan masing-masing merasa sedang membela agama dan atau ulama, karena menganggap telah terjadi penistaan dan kriminalisasi terhadap keduanya. Padahal faktaya adalah agamanya benar tetapi pemahaman terhadap agamanya belum tentu benar. Atau pengertian ulama sebagai profesi yang memiliki kedudukan mulia memang benar, tetapi dalam aksi bela ulama itu ujungnya yang dimaksud adalah membela seseorang, persisnya seperti misalnya membela kepentingan (politik) Riziek Shihab dan konco-konconya. Hal tersebut bisa terjadi karena sebagian pemuka dan tokoh agama dalam waktu yang sama juga mengalami distorsi pemahaman, sehingga ceramah-ceramahnya tidak mencerahkan tetapi kerapkali justru cenderung menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang memang masih rendah dalam literasi dan kemampuan untuk memilih dan memilah serta membandingkan (second opinion, istilah kedokteran). Apalagi masalah yang diperbincangkan tidak sederhana lalu dikemas (digoreng, istilah plesetan) sedemikian rupa bukan untuk menggali kebenaran tetapi untuk tujuan kepentingan pribadi atau kelompok atau golongan.
Contoh lain simak: Keteladanan dalam Islam