PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Prinsip Tafsir Al quran Tematik (Maudhui)







Sebuah premis atau prinsip bukan hanya sekadar asumsi melainkan sesuatu berdasarkan fakta, pernyataan realitas, pengakuan atas sebuah keterbatasan, dan atau
penegasan bagi sebuah penelitian terbuka. Premis adalah landasan dari sebuah metode. Penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, wahyu (Kalam) Tuhan diasumsikan dan diletakkan di antara dua catatan serta pilihan ‘tidak diterima’ dan ‘tidak ditolak’. Sebuah tafsir tidak mempersoalkan orisinalitas Kalam Tuhan dari Alquran, apakah dia datang dari Tuhan atau pendengaran dan ucapan dari seorang Muhammad bin Abdullah dari suku Quraisy. Oleh karenanya, tafsir sosio-tematik atau biasa disebut tafsir kontekstual dimulai dari sejak Alquran diberikan tanpa mempersoalkan orisinilalitas Alquran sebelum wahyu itu diturunkan.


Tafsir Al quran Sosio-tematik atau Kontekstual


Tafsir dimulai setelah teks diterima, bukan sebelumnya. Tafsir al quran sosio-tematik berkaitan dengan pertanyaan ‘apa’, bukan mempertanyakan ‘bagaimana’. Jika orisinalitas Alquran dapat dibuktikan dengan analisis sejarah, maka orisinalitas Alquran sebagai firman dan kalam Tuhan tidak dapat dibuktikan karena keterbatasan dari kemampuan analisis sejarah. Sehingga dalam ilmu tafsir pertanyaan tentang asal-usul teks menjadi tidak relevan lagi!  Hal inilah yang membuat mengapa seluruh wacana harus diletakkan di antara tanda kutip bahwa teks adalah teks. Apakah hal itu bersifat Ilahi atau manusiawi, sakral atau profan, religius atau sekuler bukanlah ranahnya. Mempertanyakan asal-usul kitab suci merupakan masalah kejadian teks, sementara tafsir sosio-tematik berkaitan dengan pemahaman substansi atau kandungan isi.
Kedua, di mata mufasir Alquran merupakan subyek sekaligus obyek penafsiran. Oleh karenanya, teks Alquran dipandang sebagaimana teks-teks lainnya yang menjadi subyek penafsiran seperti teks sastra, filsafat atau dokumen sejarah. Seluruh teks merupakan subyek dalam aturan penafsiran yang sama. Perbedaan antara suci dan profan tidak ada kaitannya dengan hermeneutika, melainkan hanya pada praktik keagamaan saja. Selain itu Alquran sendiri apalagi hadist sesungguhnya merupakan perubahan bentuk terhadap bahasa manusia dari Tuhan atau bukan Tuhan, bahkan penuturan seorang yang beriman atau kafir sekalipun.
Ketiga, secara prinsip sesungguhnya tidak ada penafsiran yang benar atau salah. Perbedaan yang terjadi terletak pada metode pendekatan terhadap teks, latar belakang kepentingan dan motivasi. Sehingga perbedaan bahkan boleh jadi konlik dalam penafsiran sesungguhnya tak lain adalah konflik kepentingan, bahkan dalam penafsiran yang bersifat linguistik sekalipun, karena bahasa pun bisa berubah. Menurut kaidah kebahasaan, penjelasan yang akurat dari teks adalah merupakan sebuah tautologi
Keempat, tidak ada riwayatnya penafsiran tunggal atas suatu teks, melainkan selalu lebih dari satu penafsiran. Perbedaan yang timbul hanyalah dalam pemahaman dari para penafsir yang tidak sama. Sehingga oleh karenanya, penafsiran atas sebuah teks pada dasarnya beragam. Teks hanyalah sarana untuk kepentingan manusia bahkan hawa nafsunya. Penafsir atau biasa disebut mufasir menyusunnya dalam keterbatasan ruang dan waktu. Penafsiran itu hanyalah hasil dari kondisi historis spesifik masyarakat muslim ketika memilih solusi mereka sendiri di antara solusi-solusi yang memungkinkan ketika merespons sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka saat itu.
Kelima, konflik dari penafsiran pada dasarnya konflik sosio-politik bukan konflik secara teori. Teori dibutuhkan hanya sebagai 'pembenaran' dari sudut pandang epistimologi masing-masing mufasir dalam mengekspresikan komitmen sosio-politiknya. Bahkan tak jarang penafsiran menjadi senjata idiologi yang digunakan oleh berbagai kekuatan sosio-politik seperti misalnya dalam mempertahankan eksistensi oleh kaum konservatif atau mengubah status quo oleh kelompok revolusioner.

Aturan-aturan dalam Tafsir Al quran Sosio-tematik


Oleh karena setiap metode baik deduktif atau induktif, rasional atau eksperimen mempunyai aturan yang harus diikuti. Demikian pula dengan tafsir sosio-tematik merupakan sebuah metode dengan, paling tidak, ada tiga aturan dan syarat yang harus dpenuhi, yakni:
Pertama, mufasir bukan sosok yang netral, melainkan ia hidup dalam ruang dan waktu tertentu, turut prihatin dengan realitas yang ada, berpihak pada kelompok lemah atau dilemahkan dan tertindas. Dan pada gilirannya ia mempunyai obsesi untuk mengubahnya. Oleh karenanya, mufasir berkomitmen untuk sebuah tujuan. Dalam praktiknya, tidak ada mufasir tanpa komitmen tertentu.
Kedua, mencari solusi terhadap sesuatu masalah. Seorang mufasir tidak memasuki 'medan pergumulan' dengan tangan kosong, tanpa mengetahui apa yang sedang dicari. Ia secara sadar berada dalam satu pihak, yakni memihak pada tujuan untuk mencari solusi atas sesuatu masalah, bila perlu melampaui sekadar bunyi sebuah teks tanpa mengorbankan spirit dari teks itu sendiri.
Ketiga, berupaya mendekatkan teks dengan realitas dan persoalan sosio-politik-kultural dalam suatu rumusan pemikiran dan terobosan.
Di sinilah 'medan pertarungan dan pertaruhan' yang sesungguhnya dari sebuah 'ijtihad' atau bahkan dalam konteks dan konotasi yang lebih 'ekstrem' yang dikenal dan kerapkali disalahartikan dan (sengaja) disalahpahami selama ini sebagai 'jihad', dengan konotasi dan implementasi atau pengamalan yang penuh ancaman dan "menyeramkan" .

Silakan simak: Tafsir Al quran Tematik

Posting Komentar