PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Agustus 19, 2015

Tipologi Kepemimpinan Nasional




Sebuah Stereotipe Sosok Presiden

Pada dekade 80-an yang lalu Suwarsih Warnaen, seorang promovendus di lingkungan Fakultas Sosiologi Jurusan Antroplogi Universitas Indonesia dalam disertasinya mengutarakan temuan hasil penelitiannya tentang stereotipe watak dan sifat berbagai suku bangsa di Indonesia. Sebagai contoh disebutkan orang Minangkabau yang pelit dan suka mengecoh, sehingga di kalangan masyarakat (khususnya di Jakarta) dijuluki “Padang Bengkok”. Demikian pula
dengan suku Sunda, kaum hawa khususnya, bersifat materialistis (sekarang “matrek”, pen.), sehingga muncul stigma “pengeretan” (tukang “ngeret”, menguras harta lawan jenis dengan memanfaatkan sensualitas). Suku Jawa dijuluki “Jawa Kowek” karena kenekatan dan kebebalannya, terutama di mata masyarakat suku Betawi, yang kebebalannya tidak lebih sedikit dari yang mendapat stigmasisasi. Boleh jadi kenyataan ini pula yang diangkat dan dikomedikan dalam sinetron “Si Dul Anak Sekolahan” yang diperankan oleh Basuki dan Mandra. Semuanya tentu bertolak dari kenyataan yang hidup di tengah masyarakat, kemudian ditelaah dan disajikan dalam kemasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Simak: Ketika Najwa Shihab..
Meskipun demikian mungkin karena persoalannya dianggap sensitif (pada waktu itu istilah SARA atau Suku, Agama, Ras belum begitu populer) tetap saja menimbulkan kontroversi. Bahkan sang promovendus sempat dihujat dan didamprat sebagian kalangan masyarakat yang merasa tak senang dan tersinggung dengan hasil penelitiannya itu. Dalam kesempatan lain masih segar dalam ingatan, justeru di era keterbukaan dan demokratis pasca runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, muncul pula reaksi serupa ketika Andi Mallarangeng, sosok politisi dan akademisi yang tersandung sebagai tersangka dalam kasus suap proyek Hambalang yang merugikan negara hampir setengah triliun rupiah, dalam persaingan politik jelang Pemilu 2009 lalu menghujat Yusuf Kalla sebagai orang yang belum pantas atau dianggap belum saatnya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia. Simak: Melawan Siasat Kerdil Perpolitikan di Tanah Air.
Memilih calon pemimpin, apalagi pemimpin nasional setingkat Presiden, sudah barang tentu soal integritas personal seyogianya atau harus menjadi tolok ukur tipe kepemimpinan, tidak mengagulkan kecerdasan intelektual dan atau kepandaian ilmu pengetahuan semata. Hal ini menjadi penting misalnya, ketika Presiden RI ke-2 Soeharto yang pendidikan formalnya relatif tidak tinggi mampu tampil sebagai pemimpin bangsa dan bertahan hingga lebih dari tiga dasawarsa. Sementara BJ Habibie yang berpendidikan lebih tinggi hanya dapat bertahan dua tahun menjadi Presiden RI dengan catatan sederet masalah yang kurang menggembirakan. Berbeda dengan Presiden RI sebelumnya yang tidak melalui pemilihan langsung,  sorotan demikian kepada calon pemimpin merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi. Integritas seseorang yang hidup di negara multi etnis dan kultural ini, berbeda dengan kecerdasan intelektual, terbentuk melalui proses panjang. Integritas itu tak lepas dari, selain latar belakang keluarga juga lingkungan budaya dari mana ia barasal dan tumbuh berkembang menjadi sosok yang diperhitungkan.
Jika dirunut jauh ke belakang, sejarah dan tradisi kepemimpinan nasional di Bumi Nusantara, dalam arti keluasan dan jangkauan wilayah kekuasaannya, tidak ada lain kecuali hanya di Majapahit, sebuah kerajaan terbesar yang didirikan dan berpusat pemerintahan di Jawa Timur. Kendati dari perspektif moral Raden Wijaya selaku pendiri kerajaan tersebut mencapai puncak kekuasannya diwarnai dan bernuansa pengkhianatan terhadap kekuasaan Jayakatwang dari Kediri. Cara yang mirip juga dilakukan Ken Arok, yang oleh sementara kalangan dinilai dan dikategorikan sebagai penganut dan pengamal teori Machiavelli. Kenyataan ini tentu memberikan kontribusi dan implikasi yang tidak kecil dan sedikit bagi pembentukan karakter dan kejiwaan generasi sesudahnya. Kerajaan Majapahit runtuh pasca masuknya Islam yang membawa angin dan semangat baru, khususnya mengenai kebebasan individu dan kesamaan hakikat dan dejarat manusia di depan Sang Khalik. Pergumulan nilai baru (Islam) dengan nilai lama (Hindu) yang sudah terlanjur mengakar berlangsung berabad-abad, sehingga bumi Nusantara jatuh dalam cengkeraman tangan kaum pejajahan. Hingga tiba saatnya, sosok Bung Karno yang lahir dari pasangan ayah asal Jawa Timur dan ibu dari Bali, mewarisi warisan karakter orang Jawa Timur yang “kasar”, “kurang berbudaya” (suatu ungkapan yang pernah dilontarkan Bung Karno kepada seorang tokoh Roeslan Abdulgani yang juga berasal dari Jawa Timur), dengan maksud menggoda (mendengar gurauan itu Roeslan sendiri sebenarnya merasa telah “tercerabut dari akarnya”). Sebagai seorang terpelajar, ditambah pembawaannya yang terbuka, berterus terang, juga “jiwa pemberontak”, mungkin pengaruh spirit jihad (dalam pengertian konstruktif) dari ajaran Islam, di tengah gejolak Perang Dunia II, kehadiran “si Bung” seolah sudah dipersiapkan oleh Penguasa Semesta Alam. Menjadilah ia sebagai tokoh pembebas bagi bangsanya.
Dalam perjalanannya, Soeharto yang kelahiran Yogya, Jawa Tengah, di mana belakangan menjadi pusat kebudayaan dan kerajaan Mataram yang biasanya dianggap lebih halus dan “beradab”, dengan pembawaannya yang tenang, “waskito”(waspada, tidak “grusa-grusu”), penuh empati dan banyak pancaran hikmah (Simak: Antara Ilmu dan Hikmah), muncul dan tampil memimpin negeri seribu pulau dengan masyarakatnya yang plural ini. Kalau kemudian seorang Andi Mallarangeng, selaku akademisi sekaligus politisi mengatakan bahwa Yusuf Kalla sebagai orang non-Jawa (dalam persepktif Jawa dulu orang-orang non-Jawa disebut “orang seberang”, senalar dan senada dengan polemik dikotomi Jawa non-Jawa yang sempat merebak beberapa waktu lalu) dinilai belum saatnya menjadi Presiden boleh jadi ada benarnya. Orang lalu bisa membuat pengandaian, bila Presiden RI ke-6 hidup dalam satu generasi yang sama dengan Presiden RI ke-2, lalu mereka “bersaing” untuk memimpin negeri besar ini. Keduanya sama-sama berlatar belakang militer, sama-sama suka senyum, sama-sama berpembawaan tenang. Hanya saja, yang kedua tabiatnya “tenang menghanyutkan” dan introvert. Sementara yang disebut pertama pembawaannya “tenang memabukkan” dan ekstrovert, cenderung reaktif. Siapa yang akan menjadi “pemenangnya”? Dalam kenyataannya selama ini, tak sedikit dari para tokoh, ibarat permainan sepak bola, mereka yang kapasitasnya sebagai pelatih bernafsu turun ke lapangan sebagai pemain, dan sebaliknya mereka yang kapasitasnya sebagai pemain justeru memilih bertindak sebagai pelatih. Sementara sangat disayangkan, kebanyakan masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membedakan apalagi memilih mana yang lebih tepat sebagai pemain atau pelatih.
Sejatinya, kualifikasi pemimpin yg ideal itu mudah dan jelas. Yakni bersedia berkorban dan bekerja sungguh2 demi atau untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Kualitas kepribadian seorang pemimpin semacam itu bisa saja diperoleh dari sumber dan latar belakang apa saja, agama (wahyu), dogma, dan akal pemikiran manusia. Kualifikasi itu melekat dan bersenyawa pada diri pribadi seorang pemimpin, Sehingga, tidak ada korelasi secara langsung antara keberhasilan kepemimpinan dengan sumber dan latar belakang (agama, dogma, pemikiran) seorang pemimpin. Fakta tersebut terkuak dari diskusi dengan topik kepemimpinan (dunia) antara Nabi Muhammad saw dan Deng Xiao Ping di negeri tirai bambu, Cina.

Simak Juga:




Posting Komentar