PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Agustus 17, 2015

Idealisme Kepemimpinan









Pesta demokrasi usai digelar hampir satu tahun lalu, dan rakyat pun sudah menjatuhkan pilihan pada wakilnya yang akan memimpin negeri ini untuk periode mendatang. Itu pun warga yang belum merasa frustasi dan masih peduli pada nasib negerinya sendiri. Kali ini rakyat Indonesia tengah pesta merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-70. Bila pada periode lalu rakyat sepertinya lagi-lagi harus terkecoh, salah pilih, sehingga harus "menelan pil pahit"
karena “kuciwa” menyaksikan pemimpin pilihannya ternyata meleset dari harapan dan idealismenya. Namun "the show must go on", kehidupan harus tetap berjalan, sehingga apa yang dapat dilakukan rakyat adalah agar mereka mau dan mampu belajar dari kesalahan dan pengalaman untuk menjadi lebih cerdas dan pintar dalam memilih pemimpin yang akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Hanya saja persoalannya, pemimpin macam apakah sih sebenarnya yang ideal itu? Dan bagaimana atau parameter apa yang digunakan untuk mengenalinya?

Di kalangan umat muslim tentu saja Nabi Muhammad saw merupakan satu-satunya sosok pribadi teladan terbaik, terutama dalam hal akhlak dan untuk meraih kebahagiaan akhirat. Tidak ada satu pun narasumber yang dapat dipercaya kebenarannya tentang alam gaib (sebagaimana dimaksudkan dalam QS 2:3), melainkan satu-satunya adalah Nabi Muhammad saw.  Sedangkan dalam perkara dunia, beliau menyerahkan kepada perkembangan zaman sebagaimana diteguhkan dalam sebuah Hadist:


انتم اعلم بامور دنياكم

Kalian lebih mengetahui dengan perkara dunia (kalian)

Oleh karenanya, beliau merupakan salah satu benchmark saja dari sederet dan banyak tokoh dunia yang dapat diteladani dan diikuti jejaknya, seperti misalnya sosok pemimpin “legenda” yang diakui dunia sosok Mahatma Gandhi dengan strategi politik "swadesi" dan "ahimsa"-nya melawan penindasan dan kejahatan kemanusiaan, sehingga akhirnya mampu membebaskan negerinya (India) dari cengkeraman penjajah Inggris. Demikian pula Nelson Mandela dengan ketabahan dan kesabaran luar biasa menghadapi dan mengatasi penindasan atas bangsanya dari politik apartheid bangsa kulit putih dari Inggris yang bercokol di negerinya selama puluhan dekade. Meskipun ia harus meringkuk di dalam penjara selama 25 tahun dengan perlakuan yang sangat tidak manusiawi, namun setelah ia keluar dari bui dan bersama rakyatnya melakukan perlawanan sehingga berhasil menumbangkan rezim apartheid alih-alih melakukan politik balas dendam malah dilakukan rekonsiliasi nasional yang dapat mempersatukan antara kaum penindas dan kaum tertindas dalam kehidupan baru yang rukun, damai dan sejahtera di bawah kepemimpinannya. 


Di Indonesia tokoh proklamator bung Karno yang dari semenjak usia remaja dengan gigih berjuang untuk kemerdekaan bangsanya dari cengkeraman penjajah bangsa Belanda selama lebih dari tiga abad. Bahkan sampai harus keluar masuk penjara dan mengorbankan seluruh masa mudanya demi membela nasib bangsanya, sehingga di samping sebagai pahlawan ia juga merupakan sosok pribadi yang sepak terjangnya patut diteladani.


Untuk menakar pemimpin sebuah negara menuju modern seperti Indonesia saat ini kiranya tidak cukup dengan meneladani empat sifat Nabi saw yang populer, yakni sidik, amanah, tabligh, fatonah dan kerapkali dikemukakan dan dibahas dalam berbagai kesempatan. Karena Nabi saw masih memiliki sifat-sifat mulia lain yang tak kalah vital dan sentralnya dalam pemberdayaan umat. Sifat kenabian tersebut diabadikan dalam Alquran dengan deskripsi sebagai berikut.


لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.

At-Taubah 128


Sifat dan pembawaan itulah yang seharusnya dimiliki para rakyat dan sebuah bangsa. Bung Karno hatinya tersentuh dan trenyuh tatkala tanpa sengaja bertemu dan menyaksikan nasib si “Marhaen”, lalu bangkit semangatnya untuk berjuang demi meraih kemerdekaan bangsanya dari cengkeraman kaum penjajah. Di kalangan umat Budha, sang Budha Gautama yang rela meninggalkan kehidupan gemerlap di istana demi mencari dan menemukan hakikat hidup dipandang sebagai laku utama yang patut diteladani. Islam sebagai agama “tengah” secara idealisme mungkin tidak harus seekstrim itu dalam menuntut dan menyikapi berbagai hal. Pola serta gaya hidup bersahaja dan sederhana serta tidak suka hidup bermewah-mewah apalagi berfoya-foya seraya menghamburkan harta (boros) yang menjurus pada hedonisme adalah merupakan salah satu “alat pemindai” yang paling mudah untuk menilai sosok pribadi dan (calon) pemimpin. Pribadi yang boros dapat dan mudah ditebak akan boros juga dalam menggunakan anggaran ketika menduduki sebuah jabatan pengguna anggaran. Sebagaimana diingatkan dalam Alquran bahwa perilaku boros itu merupakan sahabat setan.


نَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِوَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya

Al-Isra 27


Sejarah mencatat bahwa tokoh pemimpin seperti Bung Hatta, SK Tri Murti dan Abd Majid adalah sosok pribadi dan pemimpin negeri yang hidup secara bersahaja sampai akhir hayatnya.

Simak Juga:




Posting Komentar