Setelah lebih dari satu milenium agama Islam turun ke bumi, kontroversi dan polemik mengenai poligami tak kunjung berakhir. Pro dan kontra antara kubu ulama “salafi” dan kubu pembaharu sekaligus pembela feminisme yang notabene berakar dari Barat masih kerap terjadi, seperti pada kasus Presiden PKS
Anis Matta tampil di depan publik bersama istri keduanya. Tidak ada nas yag jelas, apakah Nabi Adam as berpoligami atau tidak. Namun kalau generasi sesudah beliau poligami diperbolehkan atau mungkin tidak dibatasi tentu memiliki alasan dan dasar pemikiran yang jelas pula sekaligus dapat dipertanggungjawabkan, yaitu selain hak istri juga berkaitan dengan kejelasan mengenai keturunan, kependudukan, dan pendidikan anak. Selanjutnya, dengan hadirnya Nabi Muhammad saw poligami diatur dan “ditertibkan”. Islam adalah agama universal, dalam artian berlaku untuk “kapan saja, di mana saja, dan untuk siapa saja”. Oleh karenanya, wajar jika ketentuan atau ketetapan hukum-hukumnya, terutama menyangkut soal hubungan antar manusia (horizontal) bersifat lentur, fleksibel sesuai dengan tuntutan zaman, bukan dalam arti multitafsir ataupun nisbi. Sifat lentur ini pula yang secara hukum membuka ruang perbedaan pendapat bahkan mungkin secara diametral sekalipun, tergantung dari sudut pandang ataupun boleh jadi tuntutan zaman dengan segala argumentasinya.
Salah satunya adalah seperti argumen yang dikemukakan oleh Prof Nazaruddin Umar yang mendukung anti-poligami menyebutkan bahwa berpoligami dibolehkan dengan satu syarat harus berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sementara dalam ayat berikutnya disebutkan bahwa manusia tidak bakal mampu berlaku adil meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Pernyataan dan kenyataan tersebut menjadi satu-satunya argumen bagi pihak yang tidak menyetujui praktik poligami. Untuk memperkuat argumen barangkali masih bisa ditambahkan satu lagi argumen. Jika disimak secara utuh sesungguhnya ayat poligami tersebut lebih ditujukan guna melindungi anak yatim (salah satu missi utama profetik), karena “bargaining position” perempuan yang pada masa tertentu dianggap rentan penindasan atau perlakuan tidak adil. Sedangkan perempuan lain yang lebih independen atau mandiri tidak ada satu petunjuk pun yang menghalanginya untuk mengekspresikan (potensi dan aspirasi) dirinya dalam konteks membina rumah tangga. Bahkan saat melakukan ijab kabul dalam akad nikah dianjurkan atau disediakan fasilitas untuk membuat klausul tambahan. Walhasil, di kubu ini masalah perasaan istri pertama (“korban poligami”) menjadi tidak relevan lagi untuk dibahas. Yang menjadi pertanyaan, kalau menggunakan alur logika demikian, maka analoginya tertutup pula peluang untuk menjadi hakim, karena tidak akan ada satu pun manusia yang mampu berbuat adil. Kenyataannya sekarang tak sedikit perempuan diangkat menjadi Hakim atau Ketua Majelis, bahkan presiden.
Kedua argumen tersebut menjadi terpatahkan dengan sendirinya, bahkan secara hukum justru memperkuat kubu pro-poligami. Kalau begitu halnya, persoalannya tinggal satu, yakni menyangkut perasaan istri pertama yang merasa menjadi korban ketidakadilan atau “aksi sepihak” yang dilakukan sang suami. Persoalannya bukan lagi (semata-mata) hukum, akan tetapi sifat manusiawi (basyariah, Arab), seperti misalnya kodrat suami selaku laki-laki yang cenderung memiliki agresifitas hormonal, pada akhirnya juga memerlukan perlakuan yang adil. Tambahan pula, adanya sebuah fenomena atau fakta statistik bahwa jumlah populasi jenis kelamin perempuan rata-rata empat kali lipat dibandingkan dengan laki-laki tentunya menjadi problem tersendiri. Adanya kementerian khusus peranan wanita harusnya lebih berperan nyata dan aktif, umpamanya dalam meningkatkan “bargaining position” secara ekonomi-sosial-psikologi perempuan di mata laki-laki. Dari perspektif agama paling tidak ada dua hal perlu dicatat. Pertama, percaya bahwa Tuhan Maha Adil dan Bijaksana dalam menetapkan hukum (tuntunan). Kedua, apa yang dirasakan atau disukai manusia belum tentu disukai (diridai) atau baik di mata Tuhan.