Mati husnul khotimah atau akhir hidup dengan baik merupakan puncak tertinggi dari pendakian cita-cita pribadi seorang insan muslim. Bahkan secara lebih spesifik cara mati demikian ditunjukkan atau ditandai dengan mengucapkaan kalimat tauhid, yaitu
pengakuan tidak ada tuhan melainkan Allah swt pada hembusan nafas terakhirnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sabda Nabi Muhammad saw. Sekalipun bila seseorang yang pada saat menghadapi sakaratul maut atau meregang nyawa tidak mengucapkan kalimat tauhid tidak serta merta dapat diartikan matinya sebagai tidak husnul khotimah atau apalagi suul khotimah. Mati dalam keadaan husnul khotimah juga ditegaskan dan senantiasa diingatkan melalui firman Allah swt dalam Alquran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam
Ali Imran 102
Meskipun demikian urusan mati husnul khotimah ternyata bukan saja kepentingan bagi orang yang meninggal dunia semata, tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan – tentu saja -- mengharapkan hal yang sama, dan tak jarang persoalannya menjadi sedikit kompleks. Kalau bagi orang yang meninggal perkaranya tinggal tertuju satu-satunya kepada Allah swt, maka tidak demikian dengan keluarga yang ditinggalkan. Suatu hal yang menusiawi jika pada umumnya mereka juga ingin menunjukkan kepada lingkungan masyarakatnya bahwa anggota keluarganya meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Bagaimana caranya? Sebagaimana terjadi pada soal-soal lain terkait dengan agama, dalam soal mati husnul khotimah rupanya juga telah berlangsung apa yang disebut sebagai proses akulturasi. Kalau pengerahan massa -- biasanya bayaran — untuk mendukung kegiatan demo dan unjuk rasa, atau sebagai supporter untuk sebuah pertunjukan sudah marupakan hal yang lumrah. Maka pengerahan massa –-berbayar-- untuk keperluan melayat dan mengantarkan jenazah ke pemakaman adalah merupakan fenomena baru yang masih asing di telinga masyarakat kita. Cara demikian bisa jadi maksudnya (atau untuk sebuah kepercayaan, entahlah) adalah untuk memberikan kesan kepada khlayak ramai bahwa anggota keluarganya yang meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Yang pasti, fenomena tersebut merupakan hasil 'kreasi' dari pemikiran dan penafsiran manusia dalam memahami arti dan makna mati husnul khotimah.
Jauh sebelumnya, tidak terbatas hanya pada kalangan masyarakat awam, tetapi juga di kalangan kaum terdidik, kerapkali terjadi “salah kaprah” dalam pemahaman tentang mati husnul khotimah ini. Cara mati seseorang dianggap sebagai tanda “predikat kematian” seseorang, apakah mati dalam keadaan husnul khotimah atau sebaliknya suu’ul khotimah. Orang mati karena disambar petir (mungkin karena pernah disumpahi orang) atau karena kecelakaan lalu lintas, seperti misalnya tertabrak kereta, dianggap pertanda mati yag tidak baik (suu’ul khotimah). Beberapa tahun yang lalu seorang kiai dan ulama besar di Jawa Timur meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sepertinya bisa saja dianggap mati suu’ul khotimah oleh aliran pemahaman demikian. Demikian pula dengan cara kematian tragis dari salah seorang cucu Nabi Muhammad saw yang dipenggal kepalanya dan "disate" dengan ujung tombak bahkan kemudian diseret dari atas punggung kuda perang. Apakah hal tersebut dapat dimaknai sebagai tanda mati suul khotimah? Tak hanya itu, Nabi Muhammad saw sendiri jelang meninggal mengalami sakit demam panas yang sangat payah, sampai-sampai purinya meneteskan air mata karena tidak tega menyaksikan penderiaaannya. Apakah hal tersebut dapat diartikan sebagai tanda sebuah kematian? Terakhir cara kematian yang menimpa seorang cendekiawan muslim terkemuka Nurkholis Majid atau yang akrab disapa Cak Nur semasa era Orde Baru. Ia meninggal menurut dokter yang menangani karena menderita penyakit liver yang mengakibatkan hampir seluruh permukaan kulitnya berubah warna menjadi hitam. Semasa hidupnya dia mengemukakan berbagai pemikiran pembaharuan dan modern di dunia Islam. Satu dua di antaranya sempat menjadi kontroversi dan menuai reaksi bahkan kecaman keras, terutama dari kalangan pemeluk Islam tradisional atau konservatif, seperti misalnya tentang sekularisme, Islam yang hanif, dan pengertian kalimat syahadat yang lebih logis. Reaksi paling keras dengan sangat berapi-api, bahkan cenderung emosional dan geram sesuai dengan watak dan pembawaannya, muncul dari seorang budayawan asal Betawi bernama Ridwan Saidi dalam sebuah polemik di media cetak waktu itu. Puncaknya adalah ketika sang cendekiawan meninggal dunia dalam kondisi sebagaimana disebutkan di atas oleh sang budayawan tersebut kemudian dikatakan sebagai tanda matinya seseorang yang sesat (karena pendapat-pendapat keagamaannya) alias suu’ul khotimah.
Secara kebetulan, mungkin guna menghindari fitnah atau hal lain yang tidak diinginkan pihak keluarga memang sengaja atau tidak mengizinkan kondisi jenazahnya untuk disaksikan secara terbuka. Dalam perjalanannya cerita itu segera berlalu dan dilupakan orang, ketika beberapa tahun kemudian seorang pengusaha sukses di bidang media cetak terkemuka, Dahlan Iskan (pernah menjabat sebagi Menteri BUMN) diundang sebagai bintang tamu di sebuah stasiun televisi swasta nasional untuk mengisahkan pengalamannya selama berobat penyakit liver yang dideritanya di sebuah rumah sakit ternama di Singapore. Secara garis besarnya ia ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa warna kulit berubah menghitam juga dialaminya, sebuah gejala yang menurut ilmu kedokteran merupakan fenomena ilmiah. Meskipun dapat dimengerti bahwa program acara di televisi tersebut tidak dimaksudkan secara khusus sebagai ajang klarifikasi atas kondisi kematian seorang Nurkholis Majid, namun secara tidak langsung hendak menjelaskan secara objektif ilmiah bahwa kondisi fisik yang terjadi pada seseorang yang menderita sakit liver salah satu sampingnya adalah warna kulit yang menghitam.
pengakuan tidak ada tuhan melainkan Allah swt pada hembusan nafas terakhirnya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah sabda Nabi Muhammad saw. Sekalipun bila seseorang yang pada saat menghadapi sakaratul maut atau meregang nyawa tidak mengucapkan kalimat tauhid tidak serta merta dapat diartikan matinya sebagai tidak husnul khotimah atau apalagi suul khotimah. Mati dalam keadaan husnul khotimah juga ditegaskan dan senantiasa diingatkan melalui firman Allah swt dalam Alquran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam
Ali Imran 102
Meskipun demikian urusan mati husnul khotimah ternyata bukan saja kepentingan bagi orang yang meninggal dunia semata, tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan – tentu saja -- mengharapkan hal yang sama, dan tak jarang persoalannya menjadi sedikit kompleks. Kalau bagi orang yang meninggal perkaranya tinggal tertuju satu-satunya kepada Allah swt, maka tidak demikian dengan keluarga yang ditinggalkan. Suatu hal yang menusiawi jika pada umumnya mereka juga ingin menunjukkan kepada lingkungan masyarakatnya bahwa anggota keluarganya meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Bagaimana caranya? Sebagaimana terjadi pada soal-soal lain terkait dengan agama, dalam soal mati husnul khotimah rupanya juga telah berlangsung apa yang disebut sebagai proses akulturasi. Kalau pengerahan massa -- biasanya bayaran — untuk mendukung kegiatan demo dan unjuk rasa, atau sebagai supporter untuk sebuah pertunjukan sudah marupakan hal yang lumrah. Maka pengerahan massa –-berbayar-- untuk keperluan melayat dan mengantarkan jenazah ke pemakaman adalah merupakan fenomena baru yang masih asing di telinga masyarakat kita. Cara demikian bisa jadi maksudnya (atau untuk sebuah kepercayaan, entahlah) adalah untuk memberikan kesan kepada khlayak ramai bahwa anggota keluarganya yang meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Yang pasti, fenomena tersebut merupakan hasil 'kreasi' dari pemikiran dan penafsiran manusia dalam memahami arti dan makna mati husnul khotimah.
Cara Terbaru Mati Husnul Khotimah
Jauh sebelumnya, tidak terbatas hanya pada kalangan masyarakat awam, tetapi juga di kalangan kaum terdidik, kerapkali terjadi “salah kaprah” dalam pemahaman tentang mati husnul khotimah ini. Cara mati seseorang dianggap sebagai tanda “predikat kematian” seseorang, apakah mati dalam keadaan husnul khotimah atau sebaliknya suu’ul khotimah. Orang mati karena disambar petir (mungkin karena pernah disumpahi orang) atau karena kecelakaan lalu lintas, seperti misalnya tertabrak kereta, dianggap pertanda mati yag tidak baik (suu’ul khotimah). Beberapa tahun yang lalu seorang kiai dan ulama besar di Jawa Timur meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas sepertinya bisa saja dianggap mati suu’ul khotimah oleh aliran pemahaman demikian. Demikian pula dengan cara kematian tragis dari salah seorang cucu Nabi Muhammad saw yang dipenggal kepalanya dan "disate" dengan ujung tombak bahkan kemudian diseret dari atas punggung kuda perang. Apakah hal tersebut dapat dimaknai sebagai tanda mati suul khotimah? Tak hanya itu, Nabi Muhammad saw sendiri jelang meninggal mengalami sakit demam panas yang sangat payah, sampai-sampai purinya meneteskan air mata karena tidak tega menyaksikan penderiaaannya. Apakah hal tersebut dapat diartikan sebagai tanda sebuah kematian? Terakhir cara kematian yang menimpa seorang cendekiawan muslim terkemuka Nurkholis Majid atau yang akrab disapa Cak Nur semasa era Orde Baru. Ia meninggal menurut dokter yang menangani karena menderita penyakit liver yang mengakibatkan hampir seluruh permukaan kulitnya berubah warna menjadi hitam. Semasa hidupnya dia mengemukakan berbagai pemikiran pembaharuan dan modern di dunia Islam. Satu dua di antaranya sempat menjadi kontroversi dan menuai reaksi bahkan kecaman keras, terutama dari kalangan pemeluk Islam tradisional atau konservatif, seperti misalnya tentang sekularisme, Islam yang hanif, dan pengertian kalimat syahadat yang lebih logis. Reaksi paling keras dengan sangat berapi-api, bahkan cenderung emosional dan geram sesuai dengan watak dan pembawaannya, muncul dari seorang budayawan asal Betawi bernama Ridwan Saidi dalam sebuah polemik di media cetak waktu itu. Puncaknya adalah ketika sang cendekiawan meninggal dunia dalam kondisi sebagaimana disebutkan di atas oleh sang budayawan tersebut kemudian dikatakan sebagai tanda matinya seseorang yang sesat (karena pendapat-pendapat keagamaannya) alias suu’ul khotimah.
Secara kebetulan, mungkin guna menghindari fitnah atau hal lain yang tidak diinginkan pihak keluarga memang sengaja atau tidak mengizinkan kondisi jenazahnya untuk disaksikan secara terbuka. Dalam perjalanannya cerita itu segera berlalu dan dilupakan orang, ketika beberapa tahun kemudian seorang pengusaha sukses di bidang media cetak terkemuka, Dahlan Iskan (pernah menjabat sebagi Menteri BUMN) diundang sebagai bintang tamu di sebuah stasiun televisi swasta nasional untuk mengisahkan pengalamannya selama berobat penyakit liver yang dideritanya di sebuah rumah sakit ternama di Singapore. Secara garis besarnya ia ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa warna kulit berubah menghitam juga dialaminya, sebuah gejala yang menurut ilmu kedokteran merupakan fenomena ilmiah. Meskipun dapat dimengerti bahwa program acara di televisi tersebut tidak dimaksudkan secara khusus sebagai ajang klarifikasi atas kondisi kematian seorang Nurkholis Majid, namun secara tidak langsung hendak menjelaskan secara objektif ilmiah bahwa kondisi fisik yang terjadi pada seseorang yang menderita sakit liver salah satu sampingnya adalah warna kulit yang menghitam.
Aneh Tapi Nyata
Terkait dengan cara mati ada tiga kisah nyata yang terjadi dalam kurun waktu tiga dekade secara berbeda dan terpisah, baik orang yang mengalami, waktu maupun tempat terjadinya peristiwa. dalam arti di waktu dan tempat yang berbeda-beda. Satu di Pekalongan dan dua di Jakarta. Ketiganya memiliki ciri yang mirip, yakni seseorang yang karena sakit menahun atau tua menghadapi sakaratul maut yang relatif lama atau dapat disebut mati tidak, hidup pun tidak selama hampir 24 jam. Menyaksikan keadaan demikian tentu saja pihak keluarga merasa iba dan tidak tega. Setelah kondisi sakaratul maut tersebut berlangsung cukup lama baru disadari atau diketahui bahwa orang tersebut pada waktu lalu dalam tubuhnya pernah "ditanam" suatu "ilmu" semacam azimat.
Secara kebetulan, pihak keluarga menceritakan kejadian tersebut kepada penulis artikel ini. Dan begitu mendengar penuturan tersebut, tiba-tiba saja penulis seperti mendapat inspirasi entah dari mana dan tanpa berpikir macam-macam lalu menyarankan kepada pihak keluarga agar mencari atau mengambil sebatang lidi dari daun kelapa untuk ditaruh (diletakkan) di samping atau di bawah tubuh orang yang sedang menghadapi sakaratul maut tersebut, dalam posisi ujung lidi mengarah ke kepala dan pangkalnya mengarah ke kaki. Dan ajaib..! Maha Suci Allah swt, tak selang setengah jam kemudian ruh berhasil lepas dari jasadnya, sehingga penderitaan sekarat pun berakhir.
Terkait dengan cara mati ada tiga kisah nyata yang terjadi dalam kurun waktu tiga dekade secara berbeda dan terpisah, baik orang yang mengalami, waktu maupun tempat terjadinya peristiwa. dalam arti di waktu dan tempat yang berbeda-beda. Satu di Pekalongan dan dua di Jakarta. Ketiganya memiliki ciri yang mirip, yakni seseorang yang karena sakit menahun atau tua menghadapi sakaratul maut yang relatif lama atau dapat disebut mati tidak, hidup pun tidak selama hampir 24 jam. Menyaksikan keadaan demikian tentu saja pihak keluarga merasa iba dan tidak tega. Setelah kondisi sakaratul maut tersebut berlangsung cukup lama baru disadari atau diketahui bahwa orang tersebut pada waktu lalu dalam tubuhnya pernah "ditanam" suatu "ilmu" semacam azimat.
Secara kebetulan, pihak keluarga menceritakan kejadian tersebut kepada penulis artikel ini. Dan begitu mendengar penuturan tersebut, tiba-tiba saja penulis seperti mendapat inspirasi entah dari mana dan tanpa berpikir macam-macam lalu menyarankan kepada pihak keluarga agar mencari atau mengambil sebatang lidi dari daun kelapa untuk ditaruh (diletakkan) di samping atau di bawah tubuh orang yang sedang menghadapi sakaratul maut tersebut, dalam posisi ujung lidi mengarah ke kepala dan pangkalnya mengarah ke kaki. Dan ajaib..! Maha Suci Allah swt, tak selang setengah jam kemudian ruh berhasil lepas dari jasadnya, sehingga penderitaan sekarat pun berakhir.