Selama ini figur Nabi Ibrahim as lebih dikenal dan dikenang sebagai pelopor dan peletak “batu pertama” ibadah kurban dan haji yang sangat fenomenal dan mendunia itu yang diwariskan kepada keturunan beliau dan umat muslim hingga akhir zaman. Bahkan teristimewa ibadah haji yang pada masa diutusnya Nabi Muhammad saw kemudian dikukuhkan menjadi
salah satu rukun Islam. Padahal sebelum sampai pada penisbatan kedua ritual ibadah tersebut, terlebih dahulu Nabi Ibrahim as telah melewati proses eskalasi kejiwaan yang membutuhkan keteguhan hati dan keberanian yang tak kalah pentingnya sehingga dapat melakukan langkah besar dalam rangka menegakkan kalimat tauhid sekaligus memberantas kemusyrikan dengan membersihkan tradisi-tradisi yang menyimpang. Pertama, ketika beliau harus berhadapan dengan orang tuanya sendiri (sebagian berpendapat bahwa dia adalah ayahnya, namun sebagian lain mengatakan pamannya) yang penyembah patung berhala. Secara tegas, lugas dan penuh keberanian beliau mendobrak kemapanan dengan terus terang menentang paham dan keyakinan yang dianut orang tuanya tanpa tawar menawar, dan dalam waktu yang bersamaan menunjukkan kebenaran tauhid yang diyakininya. Kedua, lagi-lagi dibutuhkan keberanian dan ketegasan ketika beliau harus mengorbankan satu-satunya anak semata wayang yang disayangi untuk menaati dan mematuhi perintah Allah swt. Sehingga akhirnya Nabi Ibrahim as mencapai derajat tertinggi di antara para nabi bahkan dijuluki sebagai bapaknya para nabi.
وإذإبتلىإبرهيم ربّه بكلمات فاتمّهنّ قال إنّى جاعلك للنّاس إماما قال ومن ذرّيتى قال لاينال عهدىإلقوم الظالمين
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia". Ibrahim pun memohon: "Dan anak turunku juga". Allah berfirman: "(Baiklah, dengan catatan) janjiKu (ini) tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim"
Al-Baqarah 124
Hanya saja, kali ini beliau menunjukkan kebesaran jiwanya, sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran, pengurbanan itu akhirnya dilaksanakan setelah melalui proses "negosiasi” atau kompromi dengan Nabi Ismail as, karena persoalannya menyangkut diri orang lain. Kedua peristiwa tersebut belum termasuk riwayat ketika Nabi Ibrahim as mencari Tuhan. Jika melihat dampak dan jejak yang ditinggalkan dari kedua prosesi ritual tersebut secara sosial ekonomi bisa jadi cukup besar, meski dari segi substansi dan spirit sebagian dari para pemeluk agama masih perlu dipertanyakan. Sebagai contoh, betapa banyak orang yang sudah menyandang predikat haji, akan tetapi perilakunya tetap saja merusak dan “fasik”.Dalam salah satu aspek kehidupan sehari-hari tak jarang kita menyaksikan hal-hal atau tradisi yang sesungguhnya kurang sejalan dengan prinsip ajaran tauhid (semisal memuja dan atau mengeramatkan kuburan), bahkan belakangan memberhalakan agama, namun masih saja berjalan dan sepertinya tidak ada kesadaran atau niatan dari para ahli agama, tak cukup memiliki kemauan ataupun keberanian untuk meluruskannya. Sebagai contoh misalnya, dalam hal yang tampaknya kecil namun penting seperti pada peristiwa kematian. Seperti diketahui bahwa salat jenazah (termasuk pemulasaraan dan penguburan) adalah merupakan “fadhu kifayah”. Hal ini mengandung makna bahwa sejak seseorang muslim meninggal dunia maka sesungguhnya ia telah menjadi “milik” dan kewajiban umat muslim di lingkungannya. Artinya, andai saja jenazah tersebut sampai ditelantarkan, maka seluruh penduduk sekitarnya akan menanggung dosanya. Sebaliknya, siapapun dari umat muslim yang mengetahui dan merasa bahwa mengurusi jenazah itu merupakan kewajibannya, maka dengan sendirinya ia akan melaksanakannya, tanpa harus disuruh atau diminta (misalnya, oleh keluarga musibah), semata-mata hanya karena Alah swt, bukan karena yang lain-lain (seperti misalnya, mengharapkan terima kasih dari keluarga musibah dalam segala bentuknya). Sebab menurut adab Islam yang benar, jika seorang muslim meninggal dunia, maka pihak keluarga musibah tidak seharusnya melakukan hal-hal yang justru akan menambah beban, karena selama masa berkabung para tetangga dan umat muslim sekitarnyalah yang membantu memenuhi keperluan mereka.
salah satu rukun Islam. Padahal sebelum sampai pada penisbatan kedua ritual ibadah tersebut, terlebih dahulu Nabi Ibrahim as telah melewati proses eskalasi kejiwaan yang membutuhkan keteguhan hati dan keberanian yang tak kalah pentingnya sehingga dapat melakukan langkah besar dalam rangka menegakkan kalimat tauhid sekaligus memberantas kemusyrikan dengan membersihkan tradisi-tradisi yang menyimpang. Pertama, ketika beliau harus berhadapan dengan orang tuanya sendiri (sebagian berpendapat bahwa dia adalah ayahnya, namun sebagian lain mengatakan pamannya) yang penyembah patung berhala. Secara tegas, lugas dan penuh keberanian beliau mendobrak kemapanan dengan terus terang menentang paham dan keyakinan yang dianut orang tuanya tanpa tawar menawar, dan dalam waktu yang bersamaan menunjukkan kebenaran tauhid yang diyakininya. Kedua, lagi-lagi dibutuhkan keberanian dan ketegasan ketika beliau harus mengorbankan satu-satunya anak semata wayang yang disayangi untuk menaati dan mematuhi perintah Allah swt. Sehingga akhirnya Nabi Ibrahim as mencapai derajat tertinggi di antara para nabi bahkan dijuluki sebagai bapaknya para nabi.
وإذإبتلىإبرهيم ربّه بكلمات فاتمّهنّ قال إنّى جاعلك للنّاس إماما قال ومن ذرّيتى قال لاينال عهدىإلقوم الظالمين
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya dengan sempurna. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikan engkau pemimpin bagi manusia". Ibrahim pun memohon: "Dan anak turunku juga". Allah berfirman: "(Baiklah, dengan catatan) janjiKu (ini) tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim"
Al-Baqarah 124
Makam Ibrahim as Hanya untuk Meluruskan
Hanya saja, kali ini beliau menunjukkan kebesaran jiwanya, sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran, pengurbanan itu akhirnya dilaksanakan setelah melalui proses "negosiasi” atau kompromi dengan Nabi Ismail as, karena persoalannya menyangkut diri orang lain. Kedua peristiwa tersebut belum termasuk riwayat ketika Nabi Ibrahim as mencari Tuhan. Jika melihat dampak dan jejak yang ditinggalkan dari kedua prosesi ritual tersebut secara sosial ekonomi bisa jadi cukup besar, meski dari segi substansi dan spirit sebagian dari para pemeluk agama masih perlu dipertanyakan. Sebagai contoh, betapa banyak orang yang sudah menyandang predikat haji, akan tetapi perilakunya tetap saja merusak dan “fasik”.Dalam salah satu aspek kehidupan sehari-hari tak jarang kita menyaksikan hal-hal atau tradisi yang sesungguhnya kurang sejalan dengan prinsip ajaran tauhid (semisal memuja dan atau mengeramatkan kuburan), bahkan belakangan memberhalakan agama, namun masih saja berjalan dan sepertinya tidak ada kesadaran atau niatan dari para ahli agama, tak cukup memiliki kemauan ataupun keberanian untuk meluruskannya. Sebagai contoh misalnya, dalam hal yang tampaknya kecil namun penting seperti pada peristiwa kematian. Seperti diketahui bahwa salat jenazah (termasuk pemulasaraan dan penguburan) adalah merupakan “fadhu kifayah”. Hal ini mengandung makna bahwa sejak seseorang muslim meninggal dunia maka sesungguhnya ia telah menjadi “milik” dan kewajiban umat muslim di lingkungannya. Artinya, andai saja jenazah tersebut sampai ditelantarkan, maka seluruh penduduk sekitarnya akan menanggung dosanya. Sebaliknya, siapapun dari umat muslim yang mengetahui dan merasa bahwa mengurusi jenazah itu merupakan kewajibannya, maka dengan sendirinya ia akan melaksanakannya, tanpa harus disuruh atau diminta (misalnya, oleh keluarga musibah), semata-mata hanya karena Alah swt, bukan karena yang lain-lain (seperti misalnya, mengharapkan terima kasih dari keluarga musibah dalam segala bentuknya). Sebab menurut adab Islam yang benar, jika seorang muslim meninggal dunia, maka pihak keluarga musibah tidak seharusnya melakukan hal-hal yang justru akan menambah beban, karena selama masa berkabung para tetangga dan umat muslim sekitarnyalah yang membantu memenuhi keperluan mereka.