Tradisi menyongsong datangnya tahun baru bagi sebagian kalangan masyarakat dilakukan dengan perasaan suka cita ditandai dengan berbagai acara pesta (pora) dan ungkapan, seperti membakar kembang api
bahkan ada pula dengan berhura-hura yang cenderung kepada pemborosan atau mubazir – yang menurut pandangan Islam bisa dikategorikan sebagai teman Setan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan sebuah Hadist yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang meniru perbuatan suatu golongan, maka ia termasuk golongan tersebut. Padahal membakar petasan diketahui berasal dari tradisi masyarakat non-muslim. Mereka yang menyambut tahun baru terutama karena diliputi pengharapan bahwa tahun depan akan membawa kehidupan yang lebih baik.
Dalam Islam sebenarnya tidak ada ajaran resmi yang mengajarkan tentang bagaimana tata cara menyambut dan menghadapi jelang tahun baru. Kalaupun ada imbauan dari sebahagian para penganjur agama sifatnya adalah kreatif-evaluatif dan reaktif dari tradisi yang sudah berlangsung lama secara mendunia selama ini untuk digiring ke arah praktik tradisi yang dianggap lebih Islami Setidak-tidaknya ada dua cara atau sikap yang patut dilakukan dalam menyongsong tahun baru (hijriyah) dalam perspektif Islam. Pertama, melakukan evaluasi atau instrospeksi. Maksudnya, momen pergantian tahun dimanfaatkan sebagai ajang untuk menilai dan mengaca diri sendiri tentang apa yang telah dilakukan selama satu tahun silam, apakah lebih banyak mengerjakan amal saleh atau amal salah? Cara itu selaras dengan sabda Nabi Muhammad saw: “Hitunglah dirimu sebelum engkau dihitung (di “Hari Perhitungan” nanti). Sayangnya. introspeksi atau evaluasi diri bukanlah pekerjaan mudah, karena selain memerlukan pengetahuan juga kejujuran. Tak sedikit orang yang (kelihatannya berpendidikan) tetapi tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara amal saleh dan amal salah, atau mana yang baik dan mana yang buruk. Dan tak sedikit pula orang (paling celaka, menurut kategorisasi dari Imam Ghozali), yang tidak tahu (bodoh) tetapi tidak tahu (bodoh) atau tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu (bodoh), malah mengajari orang yang lebih tahu, sehingga muncul istilah. “bak mengajari ikan berenang”. Sebagai contoh, menghormati tamu sebagai ciri utama seorang mukmin, seperti halnya kaum anshor (warga Madinah) kepada kaum muhajirin (warga pengungsi atau pendatang dari Mekah pada masa hijrah Nabi saw), tanpa membedakan asal usul dan keturunan. Atau menghormati tetangga, sebagaimana sabda Nabi saw: “Tidak beriman seseorang yang tetangganya merasa tidak aman dari perilaku buruknya” (HR Bukhari). Dan “Barangsiapa yang beriman kepada Allah swt dan hari Akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya” (HR Bukhari). Tidak dihalalkan bagi seseorang mukmin mengganggu tetangganya dengan berbagai macam gangguan, semisal penggunaan pengeras suara di rumah-rumah ibadah (mengacu Keputusan Dirjen Bimas Islam Kemenag Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, dan Musala yang banyak tidak digubris oleh para subyeknya yang justru seharusnya menjadi contoh terdepan dalam kepatuhan terhadap “ulil amri”
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu
An-Nisaa 59
Atau acara-acara keagamaan di rumah pribadi dan pembakaran petasan/kembang api yang melebihi toleransi. Kedua, mengharapkan agar kehidupan tahun depan atau dalam kesempatan hidup selanjutnya lebih baik dari sebelumnya. Sebagaimana juga sabda Nabi saw: ” Orang yang hari ini sama dengan hari kemarin, atau orang yang hari esok sama dengan hari ini, orang itu akan merugi. Orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin orang itu sungguh celaka, tetapi apa bila hari ini lebih baik dari kemarin, atau hari esok lebih baik dari hari ini, maka orang itu akan beruntung”.