Pepatah atau peribahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ungkapan atau kalimat ringkas padat yang mengandung perumpaan, perbandingan, nasihat, prinsip hidup, sindiran perilaku. Peribahasa biasanya bersifat anonim, dalam arti tidak diketahui pencipta atau pencetusnya. Hal itu satu dan lain hal karena sesungguhnya peribahasa merupakan
sebuah kristalisasi dari proses panjang pengalaman hidup suatu kelompok masyarakat, suku bangsa ataupun bangsa dalam lingkungan budayanya. Namun terutama sejak arus globalisasi melanda di banyak Negara tak terkecuali Indonesia, baik peribahasa daerah maupun peribahasa Indonesia, yang selama itu dianggap memiliki nilai kebenaran tampaknya sudah tak lagi atau jarang sekali dipakai dan berfungsi sebagai ukuran apalagi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Cara Berpolitik Tak Berkarakter
Jelang Pilkada serentak 2017 mendatang yang saat ini sudah memasuki musim kampanye khususnya Pilkada DKI, tentu warga DKI sebagai pemiik suara yang pada umumnya dinilai telah cukup memiliki tingkat kecerdasan harus menentukan secara mandiri satu di antara tiga paslon yang dipertimbangkan layak untuk memimpin Jakarta yang akan menentukan nasib kehidupannya untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Yang jelas, untuk dapat menentukan pilihan secara mandiri pada dasarnya --sebenarnya berlaku umum untuk keperluan apa saja-- seseorang perlu atau lebih tepat harus menggunakan akal (sehat) dan rasa (yang sehat pula). Sebagai contoh, sebahagian di antaranya bisa jadi karena pertimbangan faktor agama dan ras yang belakangan ini ramai diperbincangkan bahkan dipersoalkan. Meskipun pertimbangan semacam itu terkadang bukan hanya terasa absurd dan menggelikan tetapi juga inkonsisten jika dianalogikan seseorang yang mau naik pesawat toch tak akan mungkin ia memilih pesawat yang dipiloti oleh orang yang sesuku dan seagama, sementara nyawanya “ada di tangan sang pilot”, atau dia tidak akan pernah pergi dengan menggunakan pesawat.
Di antara ketiga paslon DKI, Agus Yudhoyono merupakan satu-satunya calon, baik faktual maupun pandangan sementara publik, diakui atau tidak sebagian besar “bermodal” nama besar dan pengaruh sang bapak yang notabene adaa Presiden ke-6 RI sekaligus Ketum Partai Demokrat dalam menghadapi rivalnya. Sehingga bagi rakyat yang kritis dan suka menggunakan akal sehatnya serta tidak terjangkiti penyakit lupa, maka perhatian mereka kemudian tertuju pada sang bapak. Sesungguhnya bukan cuma warga DKI bahkan seluruh rakyat Indonesia tahu bahwa meskipun tidak separah, terstruktur, sistemik dan semassif semasa rezim Orde Baru dalam soal korupsi, sehingga mengakibatkan dilengserkannya Presiden ke-5 RI Soeharto, kinerja pemerintahan Kabinet Bersatu terutama ada periode ke-2 dengan slogan “Lanjutkan” yang kemudian diplesetkan menjadi “Lanjutkan (korupsinya)” itu benar-benar jauh dari kata berhasil. Sungguh sangat menyakitkan bagi rakyat saat menyaksikan dan menyadari bahwa selama periode pemerintahannya tak sedikit kader elit partainya dirundung dan terjerat masalah korupsi tergolong kelas kakap yang mengakibatkan kerugian Negara dalam jumlah yang fantastis, semisal kasus Bank Century, proyek Hambalang, dan KTP-E. Bahkan belakangan munculnya spekulasi dan tanda tanya besar tentang siapa di balik kasus terjeblosnya Ketua KPK Antasari Azhar ke dalam penjara kian menambah catatan yang kurang sedap di mata rakyat. Persepsi negatif tersebut telah ditunjukkan dan dibuktikan melalui sanksi sosial tak terbantahkan dalam bentuk anjoknya perolehan suara Partai Demokrat dalam Pemilu berikutnya. Oleh karenanya, wajar atau sah-sah saja jika rakyat dalam memilih dan menentukan pemimpinnya juga mempertimbangkan faktor lain yang bersiat rasional selain kedua landasan primordial disebutkan terdahulu, yakni sebuah adagium “bibit, bebet, bobot” seperti layaknya mencari dan memilih jodoh. Untuk menghadapi Pilkada DKI tahun depan warga DKI yang cerdas tampakrnya perlu untuk menambah satu lagi butir pertimbangan dalam menentukan pilihan pemimpin DKI dengan sebuah peribahasa (Indonesia) “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” yang artinya sifat anak tidak jauh dari kedua orang tua atau leluhurnya. Di samping itu, senada maknanya dengan peribahasa tersebut ada peribahasa dalam bahasa Jawa yang berbuyi “Kacang ora (mongso) ninggal lanjaran”.