Menurut Imam Ghazali ulama adalah orang yang berilmu serta mengamalkan ilmunya sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadits Rasulullah saw: “Tidak disebut alim (ulama) sampai dia mengamalkan ilmunya”. Jelasnya, per definisi ulama bukanlah seseorang yang asal atau hanya mengetahui secara luas dan mendalam serta menguasai ilmu agama Islam, tetapi yang bersangkutan juga secara cerdas wajib mengamalkan sebagai buah ilmu yang telah dimilikinya. Seseorang yang menguasai ilmu agama saja tidak atau belum cukup untuk disebut sebagai ulama, apalagi mendapat predikat sebagai pewaris Nabi. Kedudukan ulama tersebut hanya dijumpai di dalam Hadist, sedangkan di dalam Alquran secara eksplisit disebutkan bahwa kewajiban taat itu berturut-turut hanya ditujukan kepada Tuhan, RasulNya dan kemudian kepada Pemerintah (yang sah secara politis dan konsensus nasional).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ إِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian..
An-Nisaa 59
Sehingga jika ada sekelompok umat muslim yang lebih cenderung untuk taat dan mengikuti (amarah) sebagian ulama, maka sesungguhnya patut dipertanyakan di mana dan bagaimana Alquran diletakkan dalam kehidupan mereka. Orang yang baru belajar pun tahu bahwa inti ajaran Islam yang sesungguhnya adalah guna menyempurnakan kemuliaan akhlak dan budi pekerti manusia. Dan salah satu aspek dari penyempurnaan akhlak itu adalah mengelola rasa amarah, dan jika berkepanjangan tidak dikelola secara cerdas maka akan dapat menjelma menjadi rasa dendam. Terkait dengan aksi unjuk rasa sebahagian kaum muslim sebagai reaksi atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI non aktif yang ditengarai lebih karena motif politik yang dikemas sebagai rasa ketersinggungan dan amarah sebagian ulama dengan mengatasnamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sesungguhnya gerakan tersebut --meminjam istilah Buya Syafii Ma’arif-- tidak memiliki landasan theologi yang kokoh. Sebab baik Alquran maupun Nabi Muhammad saw sendiri sudah cukup jelas dan banyak mengajarkan sekaligus memberikan suri teladan mengenai bagaimana cara mengelola nafsu amarah sehingga atas dasar rasa cinta kepada Tuhan malahan mampu mengubah rasa amarah dan dendam menjadi sikap murah hati dan pemberi maaf. Karena dari sanalah sebenarnya makna sejati Islam sebagai “rahmat bagi sekalian alam” dapat terwujud dan dirasakan bagi kemaslahatan umat manusia. Di samping itu, sikap reaktif yang ditunjukkan oleh sebahagian umat muslim atas dasar suatu kabar berita yang belum dilakukan pengecekan terlebih dahulu kebenarannya, jelas tidak sesuai dengan petunjuk Alquran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
Al-Hujurat 6
Namun amatlah disayangkan hal demikian tidak terjadi, sebagaimana secara kasat mata dapat disimak pada acara talk show di sebuah stasiun televisi, salah seorang ulama yang diundang dan disebutkan mewakili MUI menunjukkan sikap dan rasa amarah yang tak kunjung padam (dendam) dengan mengatasnamakan (amarah) umat. Sementara umat muslim sendiri melakukan unjuk rasa dengan mengatasnamakan MUI. Jadi mana yang benar? Kesannya saling lempar dan tidak bertanggung jawab yang justru menunjukkan sikap tidak menghargai dan tidak mampu menangkap spirit ajaran Islam sendiri. Berkaitan dengan amarah, sebuah syair dalam bahasa Arab menggambarkan nafsu amarah sebagai berikut: Barangsiapa marah kepada orang yang yang tidak patut dimarahi, maka dia itu setan. Dan barangsiapa yang tidak marah kepada orang yang patut dimarahi, maka dia itu keledai (bodoh)”>