PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Januari 12, 2017

Politik Dinasti vs Politik Anti-Korupsi





Definisi dan modus korupsi kalau dicari dalam kamus hukum Islam hampir pasti tidak akan pernah dapat ditemukan. Tindak kejahatan korupsi adalah bentuk dan modus lain dari kejahatan mencuri. Bedanya, kejahatan korupsi efek merusaknya jauh lebih besar karena
menyengsarakan banyak orang. Kelompok muslim semacam paham radikal (fundamentalis) pimpinan Habib Riziek tentunya sangat mendukung dan setuju jika korupstor diganjar hukuman potong kaki dan tangannya, mengingat untuk tindak pencurian saja --menurut hukum Islam-- mendapat hukuman potong tangan. 

Cara Berpolitik dari masa ke masa


Selain karena Indonesia bukan Negara agama (islam), dan bukan juga Negara sekuler, maka ketentuan hukum Islam tidak dapat diberlakukan. Namun demikian hampir dapat dipastikan bahwa ratusan ribu umat muslim yang bergabung dalam aksi unjuk rasa 411 dan 212 bulan lalu, belum tentu setuju atau rela dijatuhi hukuman potong anggota tubuh, apalagi hukuman mati seperti di Tiongkok atau sedang diusulkan di Thailand, bila suatu saat kedapatan mencuri atau korupsi.
Pepatah atau peribahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ungkapan atau kalimat ringkas padat yang mengandung perumpamaan, perbandingan, nasihat, prinsip hidup, sindiran perilaku.  Peribahasa biasanya bersifat anonym atau tidak diketahui pencipta atau pencetusnya, karena sesungguhnya merupakan kristalisasi proses panjang dari pengalaman hidup manusia dalam lingkungan budaya masyarakat. Namun pada zaman modern ini, baik peribahasa daerah maupun peribahasa Indonesia, yang dulu dianggap memiliki nilai kebenaran tampaknya sudah tak lagi atau jarang sekali dipakai dan berfungsi sebagai ukuran apalagi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Jelang Pilkada serentak 2017 khususnya Pilkada DKI, dimana warga DKI sebagai pemiik suara yang secara umum dinilai telah memiliki tingkat kecerdasan lebih tinggi dibandingkan di daerah lain, memang sudah semestinya mampu berpikir secara lebih mandiri dan tidak memakai kaca mata kuda untuk mengetahui dan membedakan antara baik dan buruk (bagi diri dan lingkungan), sehingga nantinya tidak salah pilih yang berakibat memupuskan harapan warga DKI dalam rangka meningjkatkan kesejahteraan hidup di masa yang akan datang. Yang jelas, untuk dapat menentukan pilihan secara mandiri pada dasarnya seseorang perlu atau harus menggunakan akal (sehat) dan rasa (yang sehat pula). Sebagai contoh, sebahagian orang boleh jadi hanya berpatokan pada satu faktor yang bersifat primordial, seperti misal suku, agama dan atau ras, dalam menetapkan pilihan seperi yang belakangan ramai diperbincangkan bahkan dijadikan “nilai jual” bagi paslon (pasangan calon) Gubernur tertentu yang sesungguhnya tidak konsisten (taat azas) dan realistis sebagaimana gambaran di atas.
Kini kekuasaan dinasti dapat muncul ketika satu di antara ketiga paslon gubernur DKI, baik dari fakta maupun penilain sebagian kalangan, merupakan satu-satunya calon yang “bermodal” nama besar dan pengaruh sang bapak yang notabene adalah Presiden ke-6 RI sekaligus Ketum Partai Demokrat. Bagi rakyat yang suka berpikir (kritis) dan menggunakan akal sehatnya seraya tidak terjangkiti penyakit lupa, wajar bila perhatian mereka kemudian tertuju pada sang bapak. Bukan cuma seluruh rakyat Indonesia bahkan “anak kecil” pun tahu bahwa meskipun dalam soal korupsi tidak separah, se-terstruktur, se-sistemik dan se-massif semasa rezim Orde Baru sehingga berakibat dilengserkannya Presiden ke-2 RI Soeharto, namun fakta menunjukkan bahwa selama pemerintahan Presiden RI ke-6 terutama periode Kabinet Bersatu jilid 2 dengan slogannya yang mantap “Lanjutkan” yang kemudian diplesetkan menjadi “Lanjutkan …korupsinya” kinerjanya alih-alih memuaskan justru benar-benar jauh dari kata berhasil. Rakyat Indonesia rupanya mudah lupa kalau selama rezim “Lanjutkan” itu tak sedikit kader elit partainya dirundung dan terjerat dalam berbagai kasus korupsi berskala kelas kakap yang mengakibatkan kerugian Negara dalam jumlah fantastis, seperti misal kasus Bank Century, proyek wisma atlit Hambalang, dan E-KTP yang semuanya hingga kini belum jelas juntrungannya. Bahkan belakangan muncul spekulasi dan tanda tanya besar tentang siapa di balik kasus dijebloskannya Ketua KPK Antasari Azhar ke dalam deruji penjara kian menambah daftar catatan buruk reputasinya di mata rakyat. Persepsi negatif tersebut ditunjukkan dan dibuktikan melalui sanksi sosial yang tak terbantahkan dalam bentuk jebloknya perolehan suara Partai yang didirikan dan dipimpinnya itu dalam Pemilu berikutnya (2014).
Oleh karenanya, wajar atau sah-sah pula jika kemudian rakyat dalam memilih dan menentukan pemimpinnya perlu menambahkan faktor lain yang lebih bersifat obyekif-rasional dalam mempertimbangkan pilihannya dengan berpedoman pada sebuah adagium “bibit, bebet, bobot” seperti warisan tradisi Jawa dalam mencari dan memilih jodoh. Di samping itu, dalam khazanah peribahasa, baik lokal maupun nasional, adapula ajaran yang masih cukup relefan dan mengandung nilai kebajikan untuk bahan renungan: (1) “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” yang artinya sifat anak tidak jauh dari orang tua atau leluhurnya. (2) “Kacang ora (mongso) ninggal lanjaran”, peribahasa Jawa senada maknanya, yakni kacang panjang tak ‘kan mungkin meninggalkan rambatannya.

Sekalipun Indonesia didirikan sebagai negara republik dan bukan monarki, tetapi politik dinasti mungkin bisa saja diterima jika mengacu pada negara maju super power Amerika Serikat saja mengenal klan Kennedy. Maka sesungguhnya apapun bentuk tata negaranya persoalan pokoknya ada pada iktikad, niat,dan praktiknya. Konon, negara Kuba di bawah rezim Fidel Castro selama setengah abad, en toch rakyatnya merasa hidup sejahtera dan mencintai sang diktator.


Simak Juga:




Posting Komentar