Tak dapat dipungkiri bahwa fenomena peran utama ulama dewasa ini telah banyak bergeser orientasi untuk memburu kekuasaan dan mengejar kepentingan duniaawi semata. Fenomena tersebut sesungguhnya bukanlah suatu hal yang baru, karena jauh hampir seribu tahun yang lalu semasa hidup al-Ghazali fenomena serupa juga telah lama muncul bahkan menjadi keprihatinan ulama yang dijuluki Hujjatul Islam itu. Menurutnya, mereka melupakan bahkan
mengorbankan tanggung jawab besarnya sebagai pewaris nabi, tidak sebagaimana dilakukan dan diperlihatkan oleh para pendahulu mereka, yakni para ulama Salaf yang sangat salih itu. Oleh karenanya, al-Ghazali kemudian memberikan kritik khusus mengenai fenomena tersebut dalam salah satu bab dari buku karyanya yang monumental berjudul 'Ihya ‘Ulumuddin', setelah mencermati perdebatan ilmiah yang panjang dan melelahkan, dimana muara sesungguhnya bukan mencari kebenaran sejati akan tetapi untuk tujuan dan kepentingan legitimasi kekuasaan. Sebagaimana tercatat dalam sejarah kemudian bahwa perbedaan paham bahkan pertikaian tajam yang terjadi disinyalir menjadi penyebab pokok tenggelamnya zaman keemasan dunia Islam.
Al-Ghazali membagi atau mengelompokkan dan menandai ulama menjadi dua kategori, yaitu Ulama as-Su’ (ulama dunia) dan Ulama al-Khair (ulama Akhirat).
Inilah cirri-ciri kedua ulama sebagaimana dimaksud 'Hujjatul Islam' tersebut,
1. Ulama as-Su’ (ulama dunia) atau Ulama Buruk
1.1. Mendahulukan dan hanya mengejar kepentingan individu dan mengambil jarak dengan masyarakat
1.2. Menganggap kekuasaan dan kekayaan sebagai tujuan, sehingga lebih suka mendekati lingkaran kekuasaan, Berbeda dengan ulama akhirat yang menjadikan keduanya sebagai “musuh” yang harus dilawan.
2. Ulama al-Khair (ulama Akhirat)
Disebutkan 12 ciri mereka, antara lain sebagai berikut:
2.1. Tidak semata-mata mencari dunia dengan ilmunya
2.2. Memiliki sifat khusyu’ dan zuhud
2.3. Perbuatannya selaras dengan perkataannya
2.4. Perhatiannya adalah memperoleh ilmu-ilmu yang bermanfaat di akhirat, yang dapat menggairahkan untuk tunduk kepada Allah, serta menjauhi ilmu-ilmu yang sedikit manfaatnya dan banyak mengandung perdebatan dan omong kosong.
2.5. Berusaha menjauhkan diri dari penguasa, sekiranya masih dapat mencari jalan untuk menjauhinya.
2.6. Berfikir yang jernih dalam memberikan fatwa, berhati-hati dan tidak tergesa-gesa atau memilih diam.
2.7. Perhatian ilmunya sebagian ditujukan kepada ilmu batin, sehingga mengetahui jalan menuju akhirat dan menempuhnya, benarnya pengharapan untuk terbukanya jalan tersebut, dengan melakukan mujadalah dan muraqabah.
2.8. Mengutamakan dan mendahulukan ilmu yang dapat diamalkan. Karena inti agama adalah mengajak kepada kebajikan serta menjaga dari perbuatan keji dan munkar.
2.9. Hendaknya merasa susah, gelisah, tunduk, diam, dan takut kepada Allah dalam bicara dan tindak, sehingga orang-orang yang melihat kepadanya menjadikan ingat kepada Allah swt, serta sikapnya menunjukkan kepada amal perbuatannya.