PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

April 12, 2018

Hawa Nafsu di Mata Islam dan Budha













  • Alkisah, Sidharta Gautama, "nabi"-nya para pemeluk agama Budha, dalam pengembaraannya untuk mencari kebenaran sejenak beristirahat dan berteduh di bawah sebuah pohon besar (bernama bodhi=asal usul nama agama Budha) yang tumbuh di tepi sebuah sungai besar. Saat merenung tiba-tiba ia mendengar suara nada merdu dari sebuah mandolin yang dimainkan oleh seseorang yang tengahl mendayung sampan di tengah sungai. Seketika itulah muncul inspirasi dalam benaknya, dan menemukan sebuah kebenaran bahwa
    hawa nafsu manusia itu ibarat senar dari sebuah mandolin atau gitar. Bila senar itu di-tream/disetel terlalu kencang, maka senar akan putus. Sebaliknya bila disetel terlalu kendor, maka suara nada yang  dihasilkanakan terdengar buruk. Sidharta Gautama lahir ribuan tahun sebelum lahir Nabi saw pada medio melinium pertama kalender Masehi.
  • Nabi Muhamnad saw sepulang dari perang Badar, sebuah perang terbesar yang terjadi sepanjang sejarah hidup beliau, bersabda:

    رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ . قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ ؟ قَالَ جِهَادُ الْقَلْبِ



    Kita pulang dari perang besar menuju perang yang lebih besar". Seorang sahabat yang mendengar sabda beliau lalu bertanya kepada beliau :"(perang) apa itu, wahai Nabi?!". Jawab Nabi saw:"Perang melawan hawa nafsu (diri) sendiri......


    Sayangnya, meskipun hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dhaif (lemah) dari aspek sanadnya, namun jika dipandang dari segi substansi sesungguhnya boleh jadi benar atau setidaknya patut dijadikan bahan renungan. Karena pernyataan dalam hadis tersebut seakan-akan merendahkan nilai orang yang memilih dan mengikuti perang fisik di jalan Allah swt.

Meskipun mengenai jihad dalam bentuk perang fisik itu sendiri masih bisa diperdebatkan, seperti misalnya ikut melibatkan diri dalam perang bersama ISIS di Syuriah belakangan ini. Sehingga diperlukan pertimbangan lebih, paling tidak dari dua sudut pandang. Pertama, Islam sendiri sesungguhnya lebih mencintai perdamaian dari pada peperangan. Kedua, fenomena yang terjadi belakangan memperlihatkan bahwa perang yang dikobarkan dengan mengatasnamakan Islam dan atau menegakkan syariat Islam dalam praktiknya hanyalah sebuah politisasi agama yang lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Sementara perang melawan hawa nafsu memang sungguh-sungguh nyata terjadi dihadapi manusia sepanjang waktu, yang akan membawa menganttarkan manusia ke arah derajat yang tertinggi atau menjerumuskannya ke arah jurang kenistaan dan kehancuran.

Simak Juga:




Posting Komentar