Tebang pohon
Dwilogi
Buku Kedua
Menguak Rahasia Doa
Pengantar
Pada umumnya sebelum berpikir tentang isi dan tujuan, harapan pertama dan paling utama dalam berdoa adalah doa mustajab atau doa makbul. Meskipun sesungguhnya dua istilah tersebut secara substansial dan theologis mengandung pengertian yang berbeda, sebagaimana nanti akan diuraikan dan dijelaskan dalam tulisan ini, namun dalam pembicaraan
sehari-hari pemakaian dan penyebutan kedua istilah tersebut acapkali dicampuradukkan, sehingga pengertiannya menjadi kabur. Memang, ditinjau dari segi peran dan fungsi berdoa itu sendiri mengandung beberapa dimensi. Dapat disebutkan misalnya, selain sebagai media ekspresi pelepas ketegangan dan tekanan jiwa karena perasaan kecil dan lemah sekaligus pengakuan terhadap Dzat Yang Maha Kuasa, berdoa juga menepis keputusasaan sekaligus menumbuhkan harapan akan datangnya perlindungan, rasa aman dan damai yang sejati dari gemuruhnya gelombang kehidupan di dunia yang serba tidak pasti. Oleh karenanya, dari perspektif tersebut berdoa sesungguhnya merupakan kebutuhan instinktif dan naluriah seperti halnya makan atau ninum, seharusnya tidak perlu disuruh-suruh dan atau semacamnya melalui pesan profetik, kecuali ilmu tentang pengenalan kepada tuhan.
Pendahuluan
Doa sebagai bahagian yang penting bahkan amat penting dalam agama merupakan muara sekaligus gerbang komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Dalam sebuah Hadist disebutkan bahwa doa merupakan sumsumnya ibadah. Sehingga bagi setiap pemeluk agama, berdoa merupakan hal yang sangat vital dalam pelaksanaan ibadah, dan senatiasa berharap doanya mustajab. Ketika seseorang hendak berdoa maka biasanya pertama kali dipikirkan dan dicari adalah bacaan atau teks doa. Bahkan tak sedikit orang yang sengaja mencari dan memilih bacaan doa tertentu yang dianggap mustajab dan makbul. Sedangkan sesungguhnya bacaan doa itu tidak sama bahkan sama sekali berbeda dengan mantera. Karena kekuatan dan makbulnya sebuah doa sesungguhnya bukan terletak pada teks atau lafal doa, melainkan lebih pada pemahaman hakikat dan makna doa itu sendiri. Sehingga dalam tiap doa yang terpenting adalah mengukur dan berkaca diri serta mempelajari seraya menyelaraskan antara usaha yang dilakukan dengan kaidah sunnatullah. Di bagian lain, dalam memanjatkan doa biasanya dianjurkan untuk bersikap introspeksi dan mengevaluasi diri dari salah dan dosa, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa sebagian orang seakan-akan “mencari segala akal” atau semacam “bujuk rayu”, agar doanya didengar dan dikabulkan Tuhan. Sementara pada dasarnya Tuhan dengan sifat Maha Pengasih memberi kepada semua makhlukNya, baik yang taat maupun yang inkar.
Pemahaman dan praktik doa semacam itu menimbulkan kesan sekaligus pertanyaan, demikian sulitkah Tuhan Yang Maha Murah untuk mendengarkan dan mengabulkan doa hambaNya? Puluhan ayat dalam Alquran menjelaskan tentang bentuk dan jalan turunnya suatu pertolongan Tuhan ke bumi. Beberapa ayat berikut di antaranya mengungkapkan isyarat untuk tidak disebut syarat bagaimana seharusnya sebuah komunikasi dilakukan antara manusia dengan Tuhan, jika permohonan dan doanya ingin didengar dan dikabulkan.
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّـهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ...
...Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya
Al-Hajj 40
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّـهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu
Muhammad 7
Menolong Tuhan dalam arti upaya untuk ikut mewujudkan maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi yang melatarbelakangi penciptaan manusia itu sendiri. Dalam ayat lain Alquran menyebutkan bahwa maksud dan tujuan mendasar dari penciptaan manusia adalah agar mereka menjadi khalifah di muka bumi.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Al-Baqarah 30
Sekalipun dalam dialog tersebut Tuhan tidak membenarkan atau menolak secara eksplisit atas pertanyaan dan kekhawatiran Malaikat (hanya menjawab “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"), namun dalam ayat lain disebutkan bahwa misi kekhalifahan manusia adalah untuk membangun serta menebarkan kasih sayang dan perdamaian bagi semesta alam dalam bingkai pengabdian kepada Allah swt.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam
Al-Anbiyaa 107
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
Adz-Dzariyat 56
Berbagai upaya dilakukan manusia agar doa mereka didengar dan dikabulkan Tuhan, di antaranya melalui instrumen sedekah sebagaimana dieksplorasi dan dijadikan tema dakwah oleh sebagian dai atau ustadz. Atau berbagai cara lainnya dalam upaya manusia hendak mengetuk dan membuka pintu 'arsy, dan kesemuanya merupakan isyarat dan tanda-tanda ilahiah yang dikabarkan kepada manusia melalui wahyu yang termaktub dalam Alquran.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوالِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku
Al-Baqarah 152
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya
Qaaf 16
Tulisan ini merupakan sebuah kajian khusus dan cukup mendalam tentang hakikat dan makna doa dalam perspektif baru berdasarkan kaidah Naturalisme dan Supernaturalisme. Tulisan dibagi menjadi 5 pokok bahasan sebagai berikut:
- Pendahuluan
- Antara Sain dan Agama
- Hakikat dan Makna Doa
- Reaktualisasi dan Revitalisasi Makna Doa
- Lebih Dekat Mengenal Tuhan
- Keluar Dari Belenggu
Antara Sain dan Agama
Para ahli sependapat bahwa ilmu pengetahuan manusia diperoleh melalui dua sumber. Pertama, science (sain), ia didapat melalui usaha akal budi dan penalaran manusia, yang hasilnya bersifat relatif atau tidak pasti, mungkin salah dan mungkin benar. Kedua, agama, ia diterima manusia dari wahyu (naqly) yang diturunkan ke dunia berdasarkan nubuwat, kebenarannya bersifat absolut dan abadi. Hanya saja, dalam praktik kerapkali terjadi pencampuradukan dan pengaburan pengertian antara keabsolutan kebenaran wahyu ansich dengan kebenaran dari pemahaman kebenaran atas wahyu itu sendiri yang sebenarnya bersifat relatif. Kendati agama dan akal keduanya berasal dari Tuhan, namun masing-masing memiliki cakupan serta ketentuan dan kaidah yang berbeda. Sain cenderung dan menghendaki naturalisme, tunduk pada metode pembuktian ilmiah dan hukum sebab akibat yang lebih mengandalkan dan menuntut daya nalar atau logika dan oleh karenanya bersifat rasional. Sedangkan agama menghendaki supernaturalisme, meliputi bidang metafisika dan hal-hal gaib yang hampir sepenuhnya mengisbatkan dan menyandarkan pada faktor kepercayaan yang tidak dapat diuji secara laboratorium. Hanya saja, satu hal perlu dicatat bahwa agama Islam pada dasarnya tidak menghalangi kebebasan berpikir dan setiap upaya pengekangan sesungguhnya tidak memiliki sandaran dan landasan kuat baik dalam Alquran maupun Hadis. Dalam kaitan tersebut Alquran mengingatkan bahwa bahaya terbesar dari kepercayaan adalah keyakinan yang tidak memiliki dasar alias hanya merupakan persangkaan semata dan tidak dilandasi pemikiran yang sehat.
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّـهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan
Yunus 36
وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka hanyalah mengikuti persangkaan semata, dan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran
An-Najm 28
Bila ditinjau dari metode untuk mencapai pemahaman sangat berlawanan atau bertolak belakang, sepintas lalu kedua prinsip tersebut kelihatannya sulit dipertemukan. Sekalipun demikian dewasa ini para ahli agama pada umumnya menganggap tidak ada pertentangan antara agama dan akal, bahkan antara keduanya saling menguatkan. Sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) Tuhan berlaku dan meliputi segenap umat manusia, baik mereka yang taat maupun ingkar. Implementasi dan manifestasinya berlangsung melalui mekanisme hukum alam atau dalam istilah agama disebut sunnatullah Keberadaan dan gerak gerik alam semesta seluruhnya diatur dan tunduk pada sistem tersebut.
سُنَّةَ اللَّـهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّـهِ تَبْدِيلًا
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu
Al-Fath 23
Tak ubahnya seperti hard ware dan soft ware yang merupakan satu kesatuan dalam sebuah komputer. Kalau alam semesta ini bukan merupakan sesuatu yang teratur, maka akan sulit sekali bagi manusia untuk melakukan penyelidikan atau sesuatu usaha. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan berkembang dan mengalami kemajuan pesat seperti sekarang ini kalau perilaku komponen-komponen alam semesta ini tidak mempunyai hukun atau aturan tertentu. Dalam bidang kedokteran umpamanya, hanya dengan asumsi bahwa tiap-tiap keadaan kencing manis (diabetes) merupakan hal yang sama serta mengikuti alur dan aturan-aturan tertentu, maka penelitian dapat dilakukan sampai akhirnya dapat ditemukan obatnya yang bernama insuline. Kalau kita disuruh memilih antara science yang teratur dan agama yang tidak teratur, maka kita terpaksa akan memilih science.
Menakar Kebenaran Agama
Dalam agama berlaku satu ketentuan bahwa jika sebahagian saja (apalagi keseluruhan) dari suatu agama mengandung ketidakbenaran, maka agama atau kepercayaan tersebut harus ditolak
Dalam agama berlaku satu ketentuan bahwa jika sebahagian saja (apalagi keseluruhan) dari suatu agama mengandung ketidakbenaran, maka agama atau kepercayaan tersebut harus ditolak
Kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan yang berhasil dicapai umat manusia hingga hari ini terkadang membuat kalangan penganut agama cukup mengalami kesulitan dalam mempertahankan kepercayaannya. Salah satu contohnya adalah kepercayaan tentang asal usul manusia (genesis). Sejauh ini semua pemeluk agama samawi mempercayai bahwa Nabi Adam as merupakan manusia pertama yang diciptakan Tuhan tanpa penjelasan tentang proses penciptaannya. Dan ketika Nabi Adam as kemudian menyusul istrinya Siti Hawa telah diciptakan, mereka bertempat tinggal di sorga. Tidak ada pula penjelasan pasti tentang Nabi Adam as dan Siti Hawa ketika keluar dari sorga dan turun ke bumi dalam kondisi secara fisik atau ada kemungkinan lain. Persoalalan tersebut sama sebangun mengenai penciptaan alam semesta yang telah memilah pemahaman menjadi kelompok aliran tradisional dan rasionalis. Kelompok pertama berpendapat bahwa alam semesta diciptakan dari tidak ada hingga menjadi ada. Sedangkan kelompok kedua berpandangan bahwa alam semesta diciptakan dari bahan yang telah ada. Perbedaan dua pendapat ini berujung dan berhubungan dengan sifat "qodim" Allah. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis dan penelitian dengan metode ilmiah melalui uji laboratorium yang diprakarsai oleh Charles Darwin, seorang ahli biologi bangsa Inggris, mengindikasikan bahwa makhluk yang hidup pada waktu sekarang ini merupakan keturunan dari makhluk yang kurang sempurna yang hidup jutaan tahun lalu melalui sebuah teori yang mau tak mau harus diakui serta tak dapat disanggah ataupun dipungkiri lagi keberadaan dan keabsahannya, yakni proses evolusi. Menurutnya, semua makhluk di dunia termasuk bumi dalam pembentukan dan kejadiannya mengalami proses evolusi, tak terkecuali manusia. Dengan demikian penemuan ilmiah tentang asal usul manusia yang oleh sebagian pihak dianggap seakan-akan menggoyahkan bahkan merobohkan kepercayaan atas riwayat penciptaan Adam as yang dipahami selama ini sepatutnya tak perlu terjadi. Di samping itu, fenomena kecenderungan pada teknologi hujan buatan sebagai pilihan utama dan pertama dibandingkan dengan melakukan salat meminta hujan sebagai usaha manusia untuk mengatasi masalah kekeringan dan kemarau panjang juga menjadi persoalan sekaligus tantangan tersendiri bagi para ahli agama. Dan hal yang juga tak kalah menarik adalah mengapa hanya ada salat meminta hujan, sementara tidak ada dan tidak disunatkan salat meminta panas. Sebab sebagaimana diketahui dalam perkembangannya, bencana banjir dan longsor belakangan ini tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan bencana kekeringan. Dengan demikian agama tidak lagi dianggap sebagai sekadar tempat pelarian dari masalah bagi jiwa ke dalam harapan semu karena tidak didasari ilmu yang memadai. Perintah-perintah nyata dalam Alquran agar manusia mau memperhatikan serta merenungkan tanda-tanda dalam alam semesta ataupun di dalam diri sendiri mengisyaratkan bahwa sesungguhnya Alquran memang penuh dengan cita-cita rasional berdasarkan pengalaman nyata. Dengan demikian Islam seharusnya menjadi agama yang paling relevan dan siap untuk menghadapi gempuran teknologi dan kebudayaan industri seperti masa sekarang ini.
Hakikat dan Makna Doa
Tak dapat diragukan lagi bahwa doa merupakan bahagian yang sangat penting, bahkan terpenting dalam agama. Salat yang disebut sebagai tiang agama sesungguhnya juga merupakan doa. Menurut definisi, doa berarti meminta kepada Zat yang mempunyai kekuasaan dalam susunan alam untuk menentukan sesuatu kejadian. Tatkala manusia atas kesadarannya sendiri memutuskan untuk memeluk suatu agama, dalam tingkatan yang sederhana biasanya karena ingin mendapatkan rasa tenteram. Namun manakala pengalaman keagamaan mencapai tingkatan yang lebih dalam, terasa bahwa rasa tenteram itu akan hilang dan berubah menjadi perasaan berserah diri dan tawakal.
قُلْ حَسْبِيَ اللَّـهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُون
Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya-lah bertawakkal orang-orang yang berserah diri
Az-Zumar 38
Berkaitan dengan hal itu dapat disebutkan beberapa contoh dan bukti mengenai bagaimana peran dan pengaruh agama dalam diri manusia menunjukkan tidak selamanya identik dengan kedamaian dan ketenteraman, namun semata-mata demi memperjuangkan dan menegakkan sebuah nilai yang diyakininya. Misalnya, riwayat penderitaan Nabi Muhammad saw yang mengalami penganiayaan di Mekah dan kekalahan di medan perang Uhud. Atau bagaimana penderitaan seorang budak belian bernama Bilal yang merelakan dirinya disiksa oleh majikannya. Ataupun keputusan berani dan langkah besar Nabi Ibrahim as bersama putranya tercinta Nabi Ismail as yang amat fenomenal dan monumental dalam episode penyembelihan kurban, sebagaimana diriwayatkan dalam Alquran.
وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيم* قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ* إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ * وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ* وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
As-Saffat 103 - 108
Pada dasarnya ketika Tuhan berkenan menurunkan wahyu tentu tujuannya adalah untuk memberitahukan hal-hal yang tidak, dan tidak akan pernah, dapat diselidiki serta dijangkau oleh nalar dan akal pikiran manusia, yang justru juga adalah pemberian Tuhan. Satu-satunya sumber pengetahuan manusia mengenai alam gaib dan metafisika, seperti hakikat hidup sesudah mati hanyalah melalui kabar nubuat. Mengenai kehidupan di akhirat pun manusia tidak dapat mengetahuinya secara detail kecuali beberapa gambaran simbolik, seperti misalnya mengenai akan datangnya hari kiamat, hidup sesudah mati, tentang hari pembalasan surga dan neraka. Tidak demikian halnya dengan kehidupan di dunia. Tuhan tidak memberitahukan tentang dunia, melainkan hanya memberitahukan sikapNya terhadap dunia. Selebihnya, dengan bekal dua macam anugerah Tuhan berupa akal dan “kemerdekaan”, manusia dihadapkan pada tantangan untuk menguak rahasia alam, memilih dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
كلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.
Al-Mudastir 38
Perbedaan hakikat antara kedua alam kehidupan ataupun jangkauan pengetahuan manusia tentang kedua hal tersebut kemudian akan termanifestasikan dan terpantul dalam doa. Oleh karenanya, doa untuk kehidupan di akhirat biasanya lebih esesial dan spiritual serta tidak banyak ragamnya, seperti misalnya memohon ampun, rahmat, dan rida dari Tuhan. Lain halnya dengan doa untuk urusan kehidupan di dunia spektrumnya lebih luas dan sangat bervariasi, bahkan kadang-kadang menyangkut hal pernak-pernik dan soal-soal yang kecil. Dalam hal itu satu-satunya doa yang berdimensi spiritual dan bersifat kualitatif adalah permohonan petujuk pada jalan yang lurus sebagaimana tertuang dalam surat Al-Fatihah yang selau dilafalkan pada setiap rakaat dalam ibadah salat, dimana salat itu merupakan satu-satunya kanal komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhan atau seorang makhluk dengan Khaliknya. Dalam hal ini ide dan inspirasi yang muncul dalam benak manusia yang kadang tanpa disadari, seperti misalnya ketika manusia melakukan ikhtiar sebagaimana dimaksudkan dalam Al-Quran surat Ar-Ra’d sesungguhnya adalah merupakan wujud atau bentuk dari petunjuk Tuhan.
إِنَّ اللَّـهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّـهُ بِقَوْمٍ سُؤًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
Sesungguhnya Allah tidak (akan) merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia
Ar-Ra'd 11
Seiring dengan itu Nabi Muhammad saw pun telah mengukuhkan dengan sabdanya.
انتم اعلم بامور دنتاكم
Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia kalian.
Sementara manifestasi sifat Maha Pengasih Tuhan ditunjukkan bukanlah pemberian dalam bentuk “hasil akhir”, akan tetapi sesuai dengan kodrat sunnatullah yang adalah juga ketetapan Tuhan melalui suatu proses dan melibatkan peran serta usaha manusia. Hal ini tak lain sejalan dengan kondisi manusia yang ditakdirkan sebagai sebaik-baik makhluk di muka bumi sebagaimana disebutkan dalam Alquran.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
At-Tien 4
Kalau dua orang hendak melakukan perjalanan, sebelum berangkat orang pertama lebih dahulu berdoa agar diberi keselamatan selama dalam perjalanan, sedangkan orang kedua pergi tanpa berdoa. Jika orang pertama ternyata selamat sampai tujuan, biasanya akan dikatakan doanya dikabulkan. Yang menjadi pertanyaan adalah jika orang kedua ternyata mengalami kecelakaan, apakah dapat dikatakan bahwa musibah itu menimpa disebabkan karena ia tidak berdoa? Banyak orang yang mendoakan untuk kesehatan bagi orang yang sakit yang dicintainya. Sedangkan ilmu kedokteran mengatakan bahwa ketika orang yang terserang sakit sesak nafas (pneumonia) umpamanya, yang diperlukan kelihatannya bukan doa, tetapi obat yang disebut antibiotik. Kalau obat sudah cukup, maka tak perlu mendoa kepada Tuhan. Barangkali orang dengan mudah dapat mengatakan bahwa kita perlu berusaha dengan dua macam, yaitu doa dan obat. Tetapi pernyataan semacam itu tidak memiliki dasar yang terang. Tidak perlu kita memakai dua macam obat atau menempuh dua jalan, kalau satu macam obat sudah cukup. Pikiran-pikiran semacam itu tentu saja tak akan menghalangi orang untuk berdoa, namun sedikitnya hal demikian memperkecil arti doa. Kecuali kalau doa hanya dipakai sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan dan tak lebih dari itu. Saat ini orang sudah tidak mempermasalahkan lagi ketika menghadapi dan mengatasi kekeringan pada musim kemarau panjang, berkat kemajuan ilmu dan teknolgi di bidang mitigasi, meteorologi dan geofisika, mereka lebih cenderung memilih pemanfaatan teknologi rekayasa cuaca untuk mengupayakan hujan buatan dari pada melaksanakan salat istisqa atau salat meminta hujan. Apakah tindakan demikian bisa dianggap sebagai pengingkaran pada kekuasan Tuhan, keliahatannya tidak. Karena hal tersebut justru merupakan bentuk dari zikir dan wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta yang bernama akal pikiran.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّـهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّـهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram
Ar-Ra'd 28
Kesulitan memahami makna doa itu akan kian terasa dan semakin nyata jika berhubungan dengan soal waktu. Bila seorang siswa membuka situs di jejaring sosial untuk melihat pengumuman hasil ujian akhir, lalu seandainya sebelum melihat pengumuman itu ia berdoa agar isinya menyatakan ia lulus, padahal sebenarnya ia telah dinyatakan tidak lulus, maka doanya tidak akan dikabulkan. Doa semacam itu sesungguhnya mengandung pertentangan dalam dirinya, karena maksud yang terkandung dalam pengumuman itu sesungguhnya sudah terlaksana dan tidak mungkin dapat diganti ataupun berubah. Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa Tuhan Maha Kuasa, dalam artian Tuhan dapat melakukan apa saja, termasuk mengubah sesuatu yang telah terjadi. Untuk melaksanakan kehendakNya, Tuhan tinggal berkata “kun fayakun” (jadilah, maka jadilah!).
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: --Jadilah!-- maka terjadilah ia
Yasin 82
Sekilas pandangan tersebut seperti mengandung kebenaran. Padahal sesungguhnya kita harus mengetahui bahwa Tuhan itu kuasa untuk melakukan apa saja tetapi dengan syarat bahwa hal yang dikehendaki itu tidak mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri. Kalau kita tanyakan apakah Tuhan dapat membikin seutas tambang dengan hanya mempunyai satu ujung? Maka dengan pasti dapat dikatakan tidak akan dapat ditemukan tambang seperti itu. Kita tidak dapat mengharapkan air yang bisa menghilangkan dahaga tetapi tidak menenggelamkan manusia. Demikan pula kita tidak akan dapat memiliki api yang bisa digunakan untuk memasak tetapi tidak menghanguskan manausia. Bila Tuhan tidak dapat membuat sebuah segi empat panjang yang jumlah sudutnya di dalam tidak 360%, maka mustahil bagi Tuhan membuat makhluk yang tidak mengandung sifat-sifat kemakhlukan. Pada pertengahan abad 19 lalu pemahaman doa yang fatalistis seperti itu, baik secara langsung maupun secara tak langsung, telah menjadi kontribusi bagi lahirnya komunisme yang dilansir oleh dua orang guru besar dalam ilmu Sosialisme dan pemimpin pergerakan kaum buruh modern asal Jerman, Karl Marx dan Frederick Engels yang dituangkan dalam Manifesto Partai Komunis, yaitu sebuah paham dan ideologi politik mirip agama (pseudo-agama) yang sempat “menyihir” dan membangkitkan fanatisme pada hampir separuh penduduk dunia. Paham ini di antaranya melontarkan tudingan bahwa doa (agama) hanyalah merupakan utopia, khayal, menipu diri sendiri, dan lari dari kenyataan. Klimaksnya adalah tampilmya Lenin, seorang tokoh komunis lain melemparkan hujatan bahwa agama merupakan candu masyarakat, karena agama dinilai telah membelokkan pikiran manusia dari pemecahan masalah yang sebenarnya, antara lain misalnya dengan memanipulasi ajaran tentang sikap sabar dan tawakal. Lebih jauh menurutnya, agama sengaja disemai dan dipelihara oleh para kapitalis untuk menghibur dan meredam gejolak kaum pekerja yang —hanya dianggap sebagai alat produksi, dan —menjadi obyek eksploitasi. Oleh karenanya, amatlah disayangkan jika sejauh ini kebanyakan ulama seperti sengaja membiarkan, seakan-akan persoalan itu dianggap sepele dan tidak ada masalah sama sekali, atau hanya dijawab secara ringan saja. Sebagai agama akal yang menegaskan bahwa tidak ada agama bagi yang tidak memiliki akal, maka dalam era kebebasan berpikir yang dijunjung tinggi di era informasi dewasa ini seyogianya dunia Islam mau tak mau harus menaruh perhatian agar lebih siap untuk mengejar ketertinggalan sehingga mampu memberikan jawaban atas berbagai perkembangan pemikiran di tingkat global.
Persoalan doa tidak terlepas dari pembahasan mengenai (kekuasaan) Tuhan, kemerdekaan (kemauan) manusia, dan hidup sesudah mati. Kepercayaan tentang adanya Tuhan yang bersifat Rahman dan Maha Kuasa akan menemui tantangan dengan adanya kenyataan dunia yang tidak sempurna. Bagi orang yang keyakinannya telah mendalam akan merasakan beban berat karena ia tidak mampu memecahkan problem berikut ini: Ada enam orang ditahan oleh musuh sebagai tawanan perang. Tiga orang di antaranya telah berdoa untuk keselamatan mereka. Lalu ternyata mereka berhasil selamat, dibebaskan dari tahanan, dan dapat hidup terus bersama keluarga. Sedangkan tiga orang sisanya mati karena penyiksaan dan penganiayaan. Kalau doa itu mengakibatkan perbedaan keadaan, maka doa itu akan berarti hanya menambah kezaliman. Dalam hal itu ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, Tuhan ingin mencegah, tetapi “tidak dapat” melakukannya. Kemungkinan kedua, Tuhan “tidak ingin atau tidak mau” melakukannya. Kalau kita menerima pendapat kemungkinan pertama, berarti Tuhan tidak dapat disebut Maha Kuasa, sebab ada Zat lain yang sama atau lebih kuasa dari Tuhan. Mereka yang biasa berpikir mungkin akan mengajukan pertanyaan, bagaimana Tuhan Yang Maha Kuasa sekaligus Yang Maha Baik dapat membiarkan kejahatan dan penderitaan tetap berlangsung, padahal Dia tentu bisa mencegahnya? Kita bisa mengatakan mungkin Tuhan mempunyai maksud yang lebih tinggi. Kita tentu dapat mengerti bahwa cinta dan belas kasihan itu jelas tidak sama. Kalau kita mencintai anak-anak kita, kadang-kadang kita harus bersikap keras, dan memilih penghidupan berat demi anak-anak kita daripada hidup penuh kenikmatan. Bagaimanapun maksud Tuhan terhadap manusia, maksud tersebut tentunya tidak seperti maksud orang tua yang memanjakan anaknya pergi ke diskotik setiap malam dan membiarkan tidur sepanjang hari. Adanya kenyataan demikian tidak perlu mendorong kita untuk mengambil kesimpulan bahwa kekuasaan Tuhan itu terbatas atau tidak mutlak, kecuali kalau kita menganggap bahwa maksud Tuhan itu juga sebagai maksud kita.
Bersambung ke: Menguak Rahasia Doa(2) Kembali ke: (Sambungan Ketujuh)