Di bagian lain ada kesulitan tersendiri untuk menjelaskan dan memberikan jawaban yang memuaskan tentang doa mustajab dengan pengalaman manusia yang kelihatannya pertentangan (paradoks) dengan kenyataan yang acapkali menimbulkan pertanyaan berikut: “Mengapa orang yang tidak rajin beribadah atau jarang berdoa mustajab dan tidak pernah atau jarang bersedekah, bahkan kerapkali
melanggar ketentuan agama, hidupnya kelihatan melimpah dan bergelimang harta? Sebaliknya orang yang rajin beribadah dan bersedekah, berdzikir dan berdoa, seringkali hidupnya dalam keadaan kekurangan dan miskin?”. Akal budi manusia kadang-kadang sulit menerima kenyataan tersebut. Dengan menggunakan argumentasi agama (Islam), maka pertanyaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Dalam banyak hal Tuhan justru tidak akan membiarkan atau menerima begitu saja orang yang menyatakan dirinya beriman sebelum diuji. Salah satu bentuk ujian tersebut adalah ketika seseorang telah menyatakan beriman dan taat beribadah serta beramal salih, akan tetapi mengalami kesulitan dalam urusan ekonomi. Tuhan mengingatkan tentang kemungkinan tersebut.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
Al-Ankabut 2
- Kondisi yang tampaknya kontradiktif tersebut sesungguhnya merupakan bukti bahwa ketidaksempurnaan ciptaan tersebut justru menunjukkan kesempurnaan dan kemahakuasaan Tuhan. Karena mustahil bagi Tuhan hanya (dapat) menciptakan suatu ciptaan yang sempurna saja. Sekaligus ketidaksempurnaan dunia tersebut menguatkan bukti kebenaran kabar nubuwat tentang adanya Hari Akhir, yakni tempat tujuan akhir bagi segenap manusia untuk mempertanggungjawabkan dan menerima hasil perbuatannya selama hidup di dunia.
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
..dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat".
Al-Baqarah 4
يَوْمَئِذٍ يَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِّيُرَوْا أَعْمَالَهُمْ* فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ* وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula".
Az-Zalzalah 7-8 - Sifat Tuhan Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman) mengandaikan bahwa Tuhan memberikan segala kehidupan kepada sekalian manusia di dunia sebagai karunia, tak peduli mereka itu taat atau berlaku ingkar kepadaNya.
- Dalam kondisi tertentu Tuhan sengaja mengulur atau menangguhkan keadaan hingga suatu saat mata para pendurhaka itu terbelalak karena terkejut, ketika segalanya sudah terlambat dan hanya tinggal penyesalan.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّـهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ ۚ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.
Ibrahim 42
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui
Al-A'raf 182
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Azd-Zdariyat 49
إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللَّـهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat
An-Nisaa 58
Kontradiksi tersebut dapat pula dijumpai pada penciptaan dan kejadian manusia. Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya wujud, namun dalam waktu bersamaan manusia berpotensi untuk berubah menjadi seburuk-buruknya makhluk, bahkan lebih rendah dari binatang.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai
Al-A'raf 179
Kehadiran manusia di bumi, di mana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri, membawa misi untuk mengelola dan mewujudkan sikap Tuhan pada dunia dalam kondisi kehidupan penuh misteri dan unik, namun sekaligus dinamis. Dinamika kehidupan dunia itu —sebagaimana disebutkan dalam firman Tuhan— tak lebih hanyalah merupakan permainan dan gurauan. Dalam sebuah syair lagu dinamika kehidupan tersebut digambarkan dengan istilah “panggung sandiwara".
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Al-An'am 32
Hanya saja, satu hal yang lagi-lagi tampak bertolak belakang adalah segala upaya manusia untuk menuju tingkat peradaban yang lebih baik dan maju tak jarang malah mengalami kemunduran, sebab dalam kenyataannya kejahatan manusia di masa lalu tidak lebih keji bila dibandingkan dengan kajahatan masa kini. Oleh karena itu pulalah, Tuhan senantiasa mengingatkan sekaligus menjamin bahwa dunia ini tak akan hancur manakala atau selama di antara umat masih ada pihak atau kelompok yang selalu berjuang menegakan kalimat Tuhan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
Al-A'raf 96
Kiranya inilah rahasia yang dimaksudkan Tuhan dalam suatu dialog dengan para Malaikat pada saat Tuhan hendak menciptakan Nabi Adam as. Ketika para Malaikat mengungkapkan rasa kekhawatiran bahwa kehadiran Nabi Adam nanti hanya akan mendatangkan mudarat, Tuhan menjawab tanpa mengiyakan atau menolak apa yang menjadi kekhawatiran dan pertanyaan para Malaikat tersebut seraya menegaskan kepada mereka dengan firmanNya: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui tentang apa yang kalian tidak mengetahui".
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan menjawab: "Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui".
Al-Baqarah 30
Reaktualisasi dan Revitalisasi Makna Doa
Saat ini umat manusia telah memasuki abad teknologi tinggi dan tidak ada lagi jalan untuk mundur. Performa kemampuan otak dan akal pikiran manusia telah mencapai suatu fase yang sangat menakjubkan dan tak terbayangkan sebelumnya. Ciri zaman modern adalah berpikir ilmiah dan bertindak rasional, bertolak dari suatu tujuan serta alasan tertentu. Hanya saja, penguasaan sain dan teknologi tidak serta merta mampu mengantarkan manusia menuju kemajuan peradaban. Sejak ribuan tahun yang lalu, baik pada zaman kerajaan Nabi Sulaiman maupun imperium Mespotamia, Babilonia dan Mesir kuno, persoalan ekonomi telah menjadi pusat perhatian dan kepentingan manusia, bahkan tak jarang menjadi ajang perebutan dan sumber pertikaian. Bedanya, dalam sistem pemerintahan paling kuno yang berbentuk monarchi (kerajaan) di mana rakyat dianggap sebagai bagian dari asset Negara dan jumlahnya di permukaan bumi relatif masih sedikit, persaingan di bidang ekonomi di samping politik berkisar dan didominasi oleh para penguasa kerajaan. Sedangkan setelah dunia memasuki abad modern dengan ciri demokrasi sebagai pilihan sistem pemerintahan seiring dengan ledakan jumlah penduduk bumi mengakibatkan persaingan dalam penguasaan sumber ekonomi kian tajam, bukan hanya antar Negara namun juga merasuk hingga ke dalam jantung kehidupan individu.
Nilai Ekonomi Sebagai Tolok Ukur Keberhasilan
Tuntutan dan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dewasa ini terasa semakin meningkat, lebih-lebih ketika negara-negara di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia, sulit membendung derasnya pengaruh globalisasi dengan segala eksesnya, terutama dalam hal pergeseran tata nilai. Egoisme dan budaya konsumerisme telah merasuk kedalam aliran darah serta tarikan nafas tiap individu dan seakan-akan telah menjelma menjadi “agama” baru, dimana harta dianggap segala-galanya dan menjadi tolok ukur sebuah keberhasilan. Kebaikan hanya ditakar sebatas atau terletak pada nilai ekonomi semata
Tuntutan dan keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dewasa ini terasa semakin meningkat, lebih-lebih ketika negara-negara di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia, sulit membendung derasnya pengaruh globalisasi dengan segala eksesnya, terutama dalam hal pergeseran tata nilai. Egoisme dan budaya konsumerisme telah merasuk kedalam aliran darah serta tarikan nafas tiap individu dan seakan-akan telah menjelma menjadi “agama” baru, dimana harta dianggap segala-galanya dan menjadi tolok ukur sebuah keberhasilan. Kebaikan hanya ditakar sebatas atau terletak pada nilai ekonomi semata
Meskipun hampir semua orang mengetahui bahwa kaya dan miskin itu merupakan ketetapan Tuhan. Dan boleh jadi mereka mengetahui pula tentang janji Tuhan untuk memberikan jaminan rezeki bagi setiap makhlukNya yang hidup di muka bumi ini. Seraya diingatkan bahwa sangat keliru jika orang yang diberi nikmat banyak harta merasa karena Tuhan mengasihinya. Sementara orang yang miskin merasa bahwa kemiskinanannya karena Tuhan membencinya.
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّـهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)
Hud 6
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ
عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَان
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku".
Al-Fajr 15-16
Namun siapa yang mau hidup miskin? Bagaikan histeria, sekarang ini semua orang memimpikan harta, semua berlomba-lomba ingin menjadi orang kaya. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menghalalkan segala cara. Kondisi dan perkembangan psikologi sosial yang demikian diperburuk oleh suatu penafsiran dari sementara ahli agama atas beberapa firman Tuhan yang agaknya kurang tepat. Sebut saja misalnya, pemahaman tentang menafkahkan harta dalam ayat berikut.
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّـهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّـهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللَّـهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Al-Baqarah 261
Masalah muncul ketika firman tersebut ditafsirkan secara terlampau kreatif dan harfiah, bahwa hasil tanaman itu akan diterima “kontan” di dunia, dalam bentuk fisik pula. Setidak-tidaknya demikian yang dicerna dan dipahami umat. Pemahaman seperti itu boleh jadi akan meningkatkan gairah bersedekah. Namun disadari atau tidak, berpotensi mendidik atau mendorong masyarakat bermental transaksional dan pragmatis serta instan yang dalam jangka panjang dampaknya cenderung kontraproduktif. Lagi pula penafsiran semacam itu sama halnya memperhadapkan dikotomi sain dan agama secara aksiomatis. Bahayanya, bila suatu saat dihadapkan pada suatu kenyataan tidak seperti yang diharapkan, justru dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan frustasi dan goyahnya iman. Pengalaman empiris berikut dapat menjadi ilustrasi untuk mencari jawaban tentang adanya campur tangan langsung Tuhan atau sesungguhnya merupakan suatu bentuk kompleksitas dari sunnatullah yang belum sepenuhnya dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia, yang dalam bahasa sehari-hari kerap disebut sebagai “kebetulan”. Berawal ketika secara tak sengaja, dalam arti tanpa melalui upaya tertentu, rumah milik seseorang yang terletak di kawasan pantai disambangi sejumlah kawanan burung. Hari-hari berikutnya burung-burung tersebut tampak masuk ke dalam langit-langit rumah, dan sejenak bercengkerama, lalu pergi. Selang beberapa minggu kemudian rupanya mereka mulai membuat sarang. Dalam hitungan bulan mereka sudah berubah menjadi kawanan burung dalam jumlah besar. Belakangan, setelah seseorang memberitahukan pemilik rumah bahwa burung-burung tersebut tak lain adalah burung walet yang sarangnya mahal harganya, barulah ia tersadar dan tertarik. Selanjutnya, dengan segala daya upaya ia pun berusaha untuk merenovasi rumahnya secara khusus agar sarang burung walet itu terus menetap dan berkembang biak. Sebelumnya ia tak pernah bermimpi apalagi berdoa untuk mendapatkan harta yang berlimpah dengan cara seperti itu. Tetapi fakta itu begitu saja terjadi dan menerimanya sebagai fenomena alam. Kita boleh berpikir dan mengatakan bahwa peristiwa seperti itu kemungkinannya hanya dapat terjadi pada satu berbanding seratus, seribu atau barangkali satu juta. Pengalaman nyata lain terjadi pada enam orang anak sekolah dengan beasiswa yang sama-sama sedang belajar di tingkat menengah pertama dan sama-sama tinggal di sebuah rumah kos, jauh dari kampung halaman. Saat menghadapi ujian akhir, lima orang anak dari mereka sangat rajin belajar bahkan berpuasa sunah Senin-Kamis dengan harapan dapat lulus ujian akhir dengan hasil sebaik mungkin. Sementara satu orang lainnya hanya belajar ala kadarnya dan tidak pula ikut melakukan ibadah puasa. Namun ketika hasil ujian diumumkan, malah satu orang anak tersebut yang berhasil lulus dengan nilai tertinggi dan mendapat ranking pertama. Dari dua pengalaman nyata tersebut menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Kasih dan Pemurah senantiasa melimpahkan karuniaNya, diminta ataupun tidak diminta, sebagaimana kelahiran manusia. Sebaliknya, seringkali kita menemukan banyak peristiwa atau hal-hal yang disangka sebagai bencana alam, belakangan diketahui merupakan akibat dari kejahatan manusia. Berbagai macam bencana, mulai dari banjir lumpur panas, bencana kelaparan sampai penyakit menular yang menyengsarakan rakyat ternyata akibat dari politik pemerintahan yang tidak bertanggung jawab dan tidak bijaksana, seperti kurangnya perhatian pada masalah demografi dan kesehatan masyarakat. Ke depan tampaknya perlu dipikirkan dan dirumuskan tentang penafsiran yang lebih rasional tanpa kehilangan dimensi spiritual khusunya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan rezeki, sehingga mampu mendorong umat kepada pemikiran dan sikap yang lebih realistis dan produktif, bukan sebaliknya cenderung utopis dan kontraproduktif. Sehingga terjemahan “kabulkan” akan lebih tepat jika diganti dan diartikan dengan “jawab” atau “tanggapi” atau “perhatikan”.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku jawab (perhatikan) bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina
Ghafir 60
Pengertian Doa Mustajab, Doa Makbul, dan Doa Mabrur (Berkah)
Berbeda dengan makna yang dipahami selama ini, maka maksud dari ayat tersebut adalah —ibarat sebuah proposal— bahwa semua doa yang dipanjatkan niscaya dijawab dan ditanggapi oleh Tuhan, dalam pengertian tidak ada doa yang di-”deponering” atau dibuang begitu saja ke dalam “keranjang sampah”, sebagai bukti sekaligus merupakan wujud dan bentuk kasih serta kemurahan Tuhan yang bersifat Rahman dan Murah. Adapun isi jawaban atau tanggapannya, — lepas dari soal alasannya— , hanya dua kemungkinan, yakni dikabulkan atau tidak dikabulkan. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan artikulasi Nabi Ibrahim as dalam salah satu doanya yang dipanjatkan secara eksplisit dengan memilih dan menggunakan kosa kata “kabulkanlah”, bukannya “jawablah” atau “tanggapilah”.
Berbeda dengan makna yang dipahami selama ini, maka maksud dari ayat tersebut adalah —ibarat sebuah proposal— bahwa semua doa yang dipanjatkan niscaya dijawab dan ditanggapi oleh Tuhan, dalam pengertian tidak ada doa yang di-”deponering” atau dibuang begitu saja ke dalam “keranjang sampah”, sebagai bukti sekaligus merupakan wujud dan bentuk kasih serta kemurahan Tuhan yang bersifat Rahman dan Murah. Adapun isi jawaban atau tanggapannya, — lepas dari soal alasannya— , hanya dua kemungkinan, yakni dikabulkan atau tidak dikabulkan. Hal tersebut dapat dibandingkan dengan artikulasi Nabi Ibrahim as dalam salah satu doanya yang dipanjatkan secara eksplisit dengan memilih dan menggunakan kosa kata “kabulkanlah”, bukannya “jawablah” atau “tanggapilah”.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Wahai Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah (kabulkanlah) doaku (Ibrahim 40)
Dalam konteks yang berbeda, penilaian terhadap suatu ibadah (demikian pula doa) dapat dianalogikan dengan pelaksanaan ibadah haji. Dalam pelaksanaan ibadah haji sah, namun ada predikat haji yang diterima (haji mabrur) dan ada pula haji ditolak (haji mardud, analog dengan doa yang tidak dikabulkan). Oleh karenanya dianjurkan untuk banyak berdoa dengan harapan agar supaya minimal salah satu di antara doa yang dipanjatkan bukan hanya menjadi doa mustajab, melainkan doa makbul. Dan jika doa yang dikabulkan (makbul) tersebut sesuai dengan irodat (kehendak) Allah swt, maka akan menjadi doa yang berkah.
Doa yang boleh dikatakan fenomenal dan monumental (karena mengubah dunia) adalah doa Nabi Ibrahim. Dalam doanya ia memohon kepada Tuhan agar anak cucu dan keturunannya kelak senantiasa diberi rezeki di negerinya yang tandus itu.Dan terbukti Tuhan mengabulkannya dengan ditetapkan ibadah haji dalam rukun Islam. Lain halnya dengan doa Nabi Nuh ketika ancaman azab banjir besar tak lama lagi tiba, anaknya menolak untuk bergabung dalam satu perahu penyelamat yang telah disiapkannya. Nabi Nuh as berdoa dan memohon kepada Tuhan agar anaknya diselamatkan. Namun Tuhan tidak memenuhi doanya, bahkan Nabi Nuh as diperintahkan untuk melupakan anaknya. Seiring dengan sunnatullah dan misi kemanusiaannya di bumi, ke depan tampaknya manusia harus semakin dewasa dan mandiri. Dalam artian, harus lebih dapat mendayagunakan dan mengoptimalkan kemampuan akal pikirannya.
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Yunus 100
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوافِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّـهُ لَكُمْ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Tuhan akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…
Al-Mujadilah 11
Hanya saja, kemajuan di bidang ilmu dan teknologi itu dapat membinasakan alam dan manusia itu sendiri bila tidak diimbangi dan dibarengi dengan kemajuan akhlak.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِوَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“…….dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Al-Baqarah 195
Bersambung ke: Doa Mustajab: Menguak Rahasia Doa (3)
Kembali ke: Doa Mustajab: Menguak Rahasia Doa (1)