PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

April 09, 2019

Izin dan Kehendak Allah dalam Pandangan Sufi


Gambar: faktakah.com



Dalam berbagai kesempatan kerapkali kita mendengar ungkapan atau istilah 'dengan izin Allah', 'atas izin Allah' dan atau 'insyaAllah' yang diucapkan dengan ringan sebagai gambaran tentang tingkat keimanan seseorang dalam beragama, akan tetapi pada umumnya mereka tidak  mengetahui dan
menyadari hakikat serta makna sesungguhnya dari apa yang diucapkan tersebut. Sehingga --sebagaimana banyak hal lain dalam keberagamaan (Islam)-- hal demikian dianggap lumrah bahkan akhirnya berubah menjadi salah kaprah. Satu hal yang tampaknya sepele dan sederhana, namun karena  ungkapan tersebut menyangkut soal keimanan dan pengetahuan mengenai Tuhan (ilmu tauhid atau ilmu kalam atau theologi), maka tentu saja menjadi fundamental yang wajib diketahui dan dipahami secara benar bagi setiap mukmin ataupun seseorang yang mengaku dirinya beriman. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai fenomena salah kaprah dalam agama tersebut, sebaiknya lebih dahulu mengungkap latar belakang perkembangan ajaran Islam di wilayah Nusantara, karena berkaitan erat dengan persoalan tersebut.

Sejarah Penyebaran Aliran Sufisme di Nusantara


Selama periode satu dua abad terakhir ini kebanyakan umat muslim lebih 'tertarik' dan asyik atau lebih tepat mungkin 'terbelenggu' pada persoalan-persoalan hukum (syariat) yang secara spesifik dan sistematik terangkum dalam satu bidang ilmu yang dikenal dengan ilmu fiqih, utamanya hasil karya ulama besar yang dikenal sebagai imam mazhab yang empat (Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali). Perkembangan tersebut sesungguhnya tak lepas dari sejarah awal masuknya Islam ke wilayah Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, mula-mula ajaran agama Islam masuk ke wilayah Nusantara melintasi jalur daratan benua Asia yang dibawa oleh para pedagang Gujarat asal India. Kontak dagang dengan orang-orang dari wilayah Persia telah membawa pengaruh ajaran Islam kepada para pedagang Gujarat tersebut. Ajaran Islam dari ulama Persia yang beraliran sufi dan kebetulan senafas dengan pandangan hidup kaum Gujarat yang berlatar belakang agama Hindu itulah disebarkan di wilayah Nusantara. Metodologi pendekatan dakwah penuh damai yang dilakukan oleh jajaran Walisongo yang dikenal sangat kental dengan pengaruh sufisme adalah merupakan jejak sejarah yang paling autentik  penyebaran dan perkembangan  agama Islam ke arah timur. Namun setelah menyusul kedatangan koloni bangsa Arab asal Hadramut, Yaman, dengan tujuan utama mengais rezeki dengan berdagang untuk mendapatkan penghidupan dan kehidupan baru yang lebih baik seraya meyebarkan ajaran agama Islam ke wilayah Nusantara. Berbeda dengan pendekatan dan pemahaman Islam yang disebarkan oleh para pedagang Gujarat yang menganut sufisme, Imam Ghozali merupakan tokoh sentral dan terkenal dari aliran ini. Sementara Islam yang dibawa dan disebarkan oleh para pedagang koloni asal Hadramaut adalah pemahaman dan pendekatan hukum. Sehingga semenjak saat itu secara perlahan tetapi pasti, hampir sebagian besar umat muslim di Nusantara sibuk dan asyik mempelajari serta memperdalam ilmu fiqih dengan berbagai cabang ilmunya. Di tingkat akar rumput pemahaman ajaran Islam dengan pendekatan dan perspektif hukum itu pun tampaknya lebih 'mengena', ketika mereka lebih asyik dan akrab dengan terminologi halal, haram, wajib, sunah makruh, dan seterusnya. Dari 'mind set' dan paradigma pendekatan hukum itu pula muncul istilah 'takfiri' yang dipraktikkan dalam dunia politik namun sesungguhnya sangat berpotensi mendorong umat muslim terjerumus pada perpecahan dan menjadi terkotak-kotak, sebagaimana telah 'diprediksi' dan diperingatkan oleh Nabi saw yang semestinya dihindari.


Cegah Salah Kaprah: Alone in Crowded


Terlepas dari soal sejarah penyebaran dan perkembangan ajaran Islam khususnya di Nusantara, memahami Islam dengan pendekatan hukum dalam hal tertentu mungkin dinilai memiliki nilai tambah dan kelebihan. Namun dalam kenyataan sedikitnya ada tiga kelemahan dapat dikemukakan. Pertama, dari sudut pandang teori hukum menghendaki agar hukum dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan dan menghilangkan esensi tujuan dan spirit dasar untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian pernyataan ajaran Islam berlaku sepanjang masa dapat diwujudkan. Sebagai contoh, 'teori pembalasan' (analog dengan hukum qisas) sudah ditinggalkan dan berganti dengan teori 'pemasyarakatan'.  Kedua, memahami Islam dengan pendekatan hukum sesungguhnya merupakan doktrin minimalis yang rentan disusupi manipulasi. Sebagai contoh, peraturan 'three in one' di kawasan tertentu di wilayah DKI Jakarta dengan mudah dapat dimanipulasi dan 'diakali' para joki. Sedangkan dalam tataran nasional seperti tindak pidana korupsi, alih-alih tertib hukum yang terjadi justru dijadikan lahan subur bagi para pelaku kriminal dan advokat nakal. Ketiga, memahami Islam melalui pendekatan hukum membuat Islam menjadi dangkal dan kering seperti simbol pengadilan dalam bentuk sosok perempuan yang tertutup kedua matanya dengan sebilan pedang dan timbangan di kedua tangannya. Padahal sifat kelembutan sosok perempuan itulah seharusnya lebih diperlihatkan sebagai wajah Islam yang sesungguhnya. Sebaliknya, memahami Islam dengan pendekatan sufisme pada intinya adalah untuk menghadirkan sikap penyerahan yang lebih genuine dan spontan muncul dari jiwa paling dalam, suci dan jujur hanya tertuju kepada Sang Khalik, sebagaimana tercermin dalam spirit ibadah puasa maupun menurut definisi Al-Ihsan yang disampaikan dalam suatu dialog antara Nabi saw dan malaikat Jibril. Sebagaimana diriwayatkan bahwa dalam dialog tersebut dijelaskan definisi Al-Ihsan sebagai sikap pengabdian kepada Tuhan disertai imaginasi seakan-akan sang makhluk melihat Sang Khalik. Tetapi jika upaya imaginasi itu belum berhasil, maka harus memiliki keyakinan bahwa Tuhan senantiasa melihat dan mengawasi sang makhluk. Pada tingkat di mana moral, etika, dan akhlak mulia telah merasuk dan menyatu ke dalam sukma, serta berdiri di atas hukum, maka hukum seakan-akan sudah tidak diperlukan dan tidak juga membelenggu, karena hukum sudah berjalan dengan sendirinya, Dari perspektif sufisme, pendekatan dan penegakan hukum menganut sebuah prinsip sebagai berikut: (1) di bidang ibadah ritual adalah semua dilarang kecuali yang diperintahkan; (2) di bidang muamalah (non ibadah ritual), adalah semua boleh kecuali yang dilarang. Sedangkan dalam spirit pengamalannya pada prinsipnya aliran sufisme berlandaskan pada dua hadist berikut.

انّما بعثت لاتمّم مكارم الاخلاق

Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak

Nalar Pemahaman Hadist Tentang Misi Profetik


Dalam hadist tersebut kata 'menyempurnakan' mengandung pengertian bahwa (1) Nabi Muhammad saw tidak datang di ruang hampa atau mulai dari nol, tetapi nilai-nilai akhlak mulia telah ada sebelum kedatangan beliau (yang akan disempurnakan). (2) Dalam kenyataannya beliau lahir dan hadir di tengah masyarakat yang jahiliyah atau dengan kata lain tidak memiliki akhlak mulia atau tidak beradab.
Atas dasar dua hal tersebut jika seluruh perilaku Nabi saw yang merupakan suri tauladan itu dipahami sebagai tidak ada lain kecuali satu-satunya tuntunan akhlak mulia, maka kata 'menyempurnakan' seharusnya diganti atau berbunyi membawa atau menghadirkan atau kata lain apapun yang mengandung pengertian mendatangkan akhlak mulia yang belum pernah ada sebelum Nabi saw. Sehingga pemahaman 'baru' atas teks hadist tersebut benar demikian dan agak berbeda dengan penafsiran yang dipahami selama ini, maka misi dan peran (Islam) dalam menyempurnakan akhlak mulia menjadi lebih fungsional dan fleksibel untuk diterapkan di segala tempat dan waktu. Salah satu contoh implementasinya adalah munculnya pemahaman Islam (di) Nusantara terkandung makna, misi kehadiran Islam di Nusantara adalah untuk menyempurnakan nilai-nilai luhur (budaya) yang sudah ada ribuan tahun sebelumnya.


خيرالنّاس انفعهم للنّاس

Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesama manusia (makhluk)

Perbedaan Makna Esensial Antara 'Izin' dan 'Kehendak' (Allah)


Akan halnya dua ungkapan 'atas izin Allah' dan 'insyaAllah' selama ini pengertiannya memang seringkali dicampuradukkan, karena keduanya mengandung pengertian dan makna yang hampir serupa. Sedangkan sesungguhnya kata 'izin' berkaitan dengan salah satu sifat Tuhan yang dua puluh, yakni 'kodrat' atau Maha Kuasa. Sedangkan 'kehendak' (syaa dari insya) berkaitan dengan sifat Tuhan 'irodat' atau Maha Berkendak. Pengertian dasar dari dua kata tersebut adalah bahwa apa yang diizinkan Tuhan belum tentu dikehendaki oleh Tuhan. Sedangkan apa yang dikehendaki Tuhan pasti atas izin Tuhan. Di samping itu, sifat 'kodrat' (Maha Kuasa) Tuhan bersifat lahiriah, dalam arti mudah dan dapat disaksikan bahkan secara kasat mata dan akurasi yang cukup tinggi. Sedangkan sifat 'iradah' (Maha Berkehendak) Tuhan sifatnya batiniah. Satu hal yang mudah dinalar, karena kehendak manusia saja ada ungkapan 'dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu'. Sehingga lebih mustahil manusia dapat mengetahui apalagi mengenai kehendak Tuhan. Dua ayat Alquran berikut merupakan contoh mengenai pengertian kata 'izin' tersebut. Dalam ayat 97 Al-Baqarah Tuhan mengizinkan terjadinya hal yang baik, sementara di ayat 102 Al-Baqarah Tuhan mengizinkan terjadinya hal yang buruk yang tentu saja sesungguhnya tidak Tuhan kehendaki.

...فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ..

..Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah..

Al-Baqarah 102

قُلْ مَن كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَىٰ قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّـهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ

Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman

Al-Baqarah 97

Apakah dengan demikian lalu Tuhan dapat dikatakan tidak berkuasa mencegah? Tidak, karena justru yang demikian itu merupakan bagian kesempurnaan dan satu kesatuan tak terpisahkan dari sifat Tuhan yang lain, yakni Maha Pengasih (Ar-Rahman). Karena bersifat Maha Pengasih atau Maha Pemberi dan Pemurah, maka Tuhan memberikan apa saja yang menjadi kebutuhan kehidupan di dunia tanpa melihat atau membedakan makhlukNya, baik yang taat maupun yang ingkar. Termasuk hal yang sesungguhnya tidak dikehendakiNya, bahkan hal yang dimurkaiNya.

Contoh dalam dunia politik


Tahun 1938 rakyat Jerman mendukung tampilnya Hitler dalam penggung politik nasional. Mereka memiliki andil dan kontribusi sekaligus tanggung jawab karena telah mengantarkan Jerman menjadi negara totaliter dan ultra nasionalis di bawah pimpinan Hitler, yang akhirnya terjerumus ke dalam jurang kehancuran, bukan saja negara Jerman yang terbelah, namun juga banyak negara di dunia. Itu semua (dapat) terjadi karena dengan izin (sifat kodrat) Tuhan, tetapi sesungguhnya dan tentu saja hal tersebut tidak dikehendaki Tuhan.

Sehingga salah satu rukun iman, yakni 'takdir' adalah mengimani takdir Allah swt dalam arti Tuhan Maha Kuasa menciptakan yang baik dan yang buruk.

خيره وشرّه من اللّه

baik dan buruk, semua adalah ciptaan dan datang dari Allah swt

Pencampuradukan antara dua kata yang memiliki dan mengandung pengertian yang hampir serupa tapi tak sama tersebut ternyata juga dilakukan dalam penerjemahan salah satu Alquran online yang tergolong canggih berikut kiranya patut pula dipertanyakan kecermatannya.

Al-Baqarah 213

Simak Juga:




Posting Komentar