Anda mengalami kesulitan ketika Mendidik Anak Salat di lingkungan keluarga Anda? Kesulitan itu biasanya mulai dirasakan orang tua pada anak laki-laki yang sudah mulai bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman bermain di luar rumah atau lingkungan keluarga terutama ibu. Atau mereka mau melaksanakan salat tetapi seperti terpaksa dan kurang
menghayati. Anda tak usah risau dan khawatir. Kini ada metode baru Mendidik Anak Salat yang inspiratis dan inovatif sesuai dengan kondisi psikologi serta tradisi budaya Nusantara. Jika Anda tertarik dan berminat dengan metode tersebut sehingga putra putri Anda melaksanakan ibadah salat dengan hati lega dan ceria, maka artikel ini tepat buat Anda, karena Anda tidak akan menemukan Mendidik Anak Salat di artikel manapun.
Dalam sebuah Hadist disebutkan bahwa salat merupakan pilar agama. Mendirikan salat sama nilainya dengan menegakkan agama. Sedangkan meninggalkan salat sama artinya dengan merobohkan agama. Atas dasar itulah maka setiap muslim yang telah berkeluarga dan mempunyai anak merasa memiliki kewajiban untuk mengajarkan salat kepada putra putrinya. Dan dalam Hadist lain disebutkan tentang cara mengajarkan salat kepada anak, yakni jika anak sudah menginjak usia sepuluh tahun tidak juga mau mengerjakan salat, maka hendaklah diberikan sanksi seperti dipukul atau dikucilkan. Hanya saja sayangnya, kebanyakan kaum skriptualis dan dogmatis memahami dan mempraktikkan sabda Nabi saw tersebut secara tekstual dan harfiah. Di era Hak Azasi Manusia dan Demokrasi dijunjung tinggi termasuk hak anak seperti sekarang, cara-cara tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kemjuan zaman. Tak ubahnya dulu Nabi saw bepergian naik onta atau kuda, zaman sekarang umat beliau mengendarai mobil atau pesawat. Kalau ada umat muslim seperti pada saat pergi haji naik onta maksudnya hanya untuk nostalgia tetapi tidak fungsional. Demikian pula urusan cara Mendidik Anak Salat, metode yang paling dapat diterima nalar sehat bagi umat muslim yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia adalah menyesuaikan dengan tradisi budaya Nusantara yang telah jauh lebih dulu maju dari pada bangsa Arab yang jahiliyah pada awal kenabian Muhammad saw. Sebagai contoh, belakangan kerajaan Brunai Darussalam memberlakukan hukum rajam bagi kaum pezina dan LGBT telah menuai kritik dan kecaman dari PBB. Sangat mungkin dan boleh jadi sabda Nabi saw tentang bentuk hukuman kepada anak yang tidak mau mengerjakan salat tersebut disesuaikan dengan karakter dan budaya bangsa Arab saat itu yang cenderung kasar dan tidak sensitif. Sehingga bagi umat muslim dari negara atau bangsa lain yang memiliki sifat dan karakter berbeda tentu saja apa yang dicontohlkan Nabi saw tentang bagaimana cara Mendidik Anak Salat tersebut tidak harus dipahami dan diikuti secara tekstual dan harfiah.
Sebagaimana diketahui bahwa budaya dan karakter bangsa Arab jahiliyah yang keras dan kasar terbentuk selain oleh lingkungan alam yang kering dan tandus juga karena peperangan antar kafilah yang melanda tanpa berkesudahan. Pengaruh budaya kekerasan tersebut masih terbawa hingga hari ini, bahkan jauh terbawa ke wilayah Nusantara. Lihat saja dapat diambil contoh misalnya, meski telah menyandang predikat sebagai ulama, bagaimana gaya dan cara komunikasi serta isi yang disampaikan Habib Riziek Shihab pemimpin ormas Front Pembela Islam(FPI) jelas tampak jauh berbeda dengan karakteristik masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat tanah Jawa yang rata-rata lemah lembut dan memiliki kepekaan rasa yang tinggi. Sehingga misalnya dalam soal memberikan peringatan atau teguran dilakukan secara gradual, mulai dari teguran halus seperti 'dipliriki', dan jika tidak berubah diberikan lebih keras 'dipleroki', atau 'dipenthelengi' hingga yang paling keras seperti 'digebug' (kosa kata ini pernah dipakai oleh presiden RI ke-2 Soeharto dan ditiru presiden Joko Widodo dalam suatu kesempatan). Cara dan budaya gradual bukan hanya diterapkan di lingkungan keluarga tetapi juga di tingkat negara atau pergaulan politik. Ketika gelombang reformasi menggulung rezim Orde Baru, SBY waktu itu selaku Kasospol ABRI di bawah Panglima Jenderal Wiranto menyerukan agar perubahan dilakukan secara gradual, tidak secara revolusioner.
Metode Mutakhir Mendidik Anak Salat
Cara yang dimaksud di sini khususnya ditujukan untuk menghadapi dan mengatasi anak yang membandel, malas dan tidak mau mengerjakan salat wajib lima waktu biasanya ketika masih dalam usia antara 5-7 tahun. Karena menurut psikologi perkembangan pada usia tersebut seorang anak mengalami periode pertama kondisi kejiwaan di persimpangan jalan. Di satu sisi secara emosi ia masih memiliki keterikatan dengan lingkungan keluarga. Namun di sisi lain, ia sudah mulai mengenal dan memiliki keterikatan emosi dengan dunia atau pergaulan di luar rumah. Pada periode itu seorang anak mulai menyadari akan egonya dan mengenal jati dirinya. Nah, dalam memberikan latihan dan pelajaran salat, para orang tua harus dapat mengeksplorasi sisi emosi (pertama), yakni keterikatan emosional dengan keluarga, sebagai contoh misalnya membujuk dan menyadarkan sang anak dengan mengatakan bila kamu (adik atau kakak) tidak mengerjakan salat, di akhirat kelak (kalau sudah mati, karena semua orang pasti mengalami mati), maka kamu (adik atau kakak) tidak akan dapat berkumpul dengan keluarga. Analoginya, kita sedang bepergian jauh (jalan-jalan atau piknik keluarga), mau tidak kamu (adik atau kakak) terpisah dari rombongan, sehingga kalun tidak dapat pulang kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga..?. Dengan cara mengajak sang anak berpikir demikian, ternyata cukup efektif serta membuat sang anak tersentak dan tergugah hatinya, sehingga kemudian mereka mau mengerjakan salat dengan suka cita dan jiwa yang bersemangat.
Bagaimana? Bila Anda setuju, silakan dicoba. Semoga berhasil. Dan kalau upaya berhasil dengan inovasi tersebut Anda tak perlu ragu dan atau merasa resah gelisah karena telah mengingkari dan tidak mengikuti sunnah Rasul. Mengapa? Karena sesungguhnya beliau telah memberikan pedoman 'sapu jagad' dengan arahan dan sabda beliau: 'Kalian lebih mengetahui tentang perkara dunia kalian'.