قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّ
Katakanlah kebenaran walaupun itu pahit (Hadis riwayat Baihaqi).
Fakta adalah sebuah kebenaran dalam arti nyata adanya dan bukan fiksi atau karangan. Mengatakan fakta bukanlah suatu perbuatan dosa, bahkan dalam kondisi tertentu dianjurkan sebagaimana nasihat dalam hadis tersebut.
Mengatakan bahwa bung Karno yang berperan penting
dan besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan RI dan bukan Nabi saw adalah mengatakan kebenaran fakta.
Sama seperti mengatakan bahwa Nelson Mandela merupakan seorang pemimpin negara Afrika Selatan yang berjuang untuk kemerdekaan rakyatnya dari cengkeraman penjajahan Inggris yang menerapkan politik apartheid dengan pengorbanan harus mendekam dalam penjara selama 25 tahun dan diperlakukan secara sangat tidak manusiawi bahkan lebih rendah dari binatang adalah sebuah fakta sekaligus lebih dari cukup untuk menggambarkan sebuah puncak dari segala penderitaan.
Jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami oleh Nabi Muhammad saw sebagaimana selama ini kerapkali disampaikan oleh para ustadz dalam berbagai kesempatan sebagai bukti untuk menunjukkan salah satu akhlak mulia beliau sebagai contoh tauladan sosok pribadi yang pemaaf, sebenarnya tidak cukup valid. memang Nelson Mandela bersama rakyatnya mampu memaafkan dan selanjutnya hidup bersama dengan kaum penjajah sekaligus penindasnya dengan tulus dalam suasana damai.
Inilah bedanya tafsir tekstual dan kontekstual.
Ketika menjelaskan keteladanan Nabi saw tentang salah satu ajaran akhlak yakni memaafkan, intinya tidak terletak pada seberapa besar derita yang dialami Nabi saw sebagai akibat atau risiko dari aktivitas berdakwa, tetapi seharusnya merujuk budaya Arab yang jahiliyah pada waktu itu yang menganggap bahwa memaafkan merupakan sikap dan tindakan yang tidak dikenal. Sehingga ketika Nabi saw dalam posisi kuat dan dapat melakukan tindakan pembalasan atas perlakuan buruk dan jahat yang dilakukan kaum kafir, namun beliau justru memaafkan. Maka di sanalah sesungguhnya letak nilai keagungan akhlak beliau.
Akhirnya dari perspektif tersebut dapat juga menjadi pembelajaran bagi para dai dan mubaligh dari sudut pandang dan cara menguraikan korelasi antara "derita" dan "tauladan akhlak khususnya sifat pemaaf dari Nabi saw".
Kesannya terlalu cengeng jika derita yang dimaksud dan digambarkan oleh para dai dan juru dakwah tentang "derita" yang dialami Nabi saw selama ini, ketika ada fakta lain seperti dialami Nelson Mandela yang sempat dikagumi dan menjadi model untuk perdamaian dunia.
Jadi persoalannya bukan salah "derita" Nabi saw, tetapi yang salah adalah penceramah dalam cara mengemas dan menjelaskannya.
Hal itu sama dengan bagian Alquran yang menggambarkan nikmatnya sorga dengan menggunakan pendekatan kondisi masyarakat Arab saat itu. Disebutkan bahwa sungai dengan air yang mengalir abadi dan bidadari yang cantik. Secara tekstual Alquran sesungguhnya memang diturunkan pada masyarakat dan bangsa Arab.
Inilah bedanya tafsir tekstual dan kontekstual.
Ketika menjelaskan keteladanan Nabi saw tentang salah satu ajaran akhlak yakni memaafkan, intinya tidak terletak pada seberapa besar derita yang dialami Nabi saw sebagai akibat atau risiko dari aktivitas berdakwa, tetapi seharusnya merujuk budaya Arab yang jahiliyah pada waktu itu yang menganggap bahwa memaafkan merupakan sikap dan tindakan yang tidak dikenal. Sehingga ketika Nabi saw dalam posisi kuat dan dapat melakukan tindakan pembalasan atas perlakuan buruk dan jahat yang dilakukan kaum kafir, namun beliau justru memaafkan. Maka di sanalah sesungguhnya letak nilai keagungan akhlak beliau.
Akhirnya dari perspektif tersebut dapat juga menjadi pembelajaran bagi para dai dan mubaligh dari sudut pandang dan cara menguraikan korelasi antara "derita" dan "tauladan akhlak khususnya sifat pemaaf dari Nabi saw".
Kesannya terlalu cengeng jika derita yang dimaksud dan digambarkan oleh para dai dan juru dakwah tentang "derita" yang dialami Nabi saw selama ini, ketika ada fakta lain seperti dialami Nelson Mandela yang sempat dikagumi dan menjadi model untuk perdamaian dunia.
Jadi persoalannya bukan salah "derita" Nabi saw, tetapi yang salah adalah penceramah dalam cara mengemas dan menjelaskannya.
Hal itu sama dengan bagian Alquran yang menggambarkan nikmatnya sorga dengan menggunakan pendekatan kondisi masyarakat Arab saat itu. Disebutkan bahwa sungai dengan air yang mengalir abadi dan bidadari yang cantik. Secara tekstual Alquran sesungguhnya memang diturunkan pada masyarakat dan bangsa Arab.