PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Maret 10, 2020

Hikmah Salat Berjamaah

















Bagi umat muslim menunaikan salat wajib lima waktu secara berjamaah di mesjid hukumnya sunnat muakkad atau sunat yang sangat ditekankan. Berjamaah itu sendiri pada hakikatnya bertujuan dan berorientasi untuk kepentingan serta menciptakan kemaslahatan dunia. Di antaranya guna membangun kesatuan dan persatuan umat sebagai basis kekuatan  pembangunan di dunia sesuai dengan misi kekhalifahan yang dipikulkan di pundak manusia. Karena dalam kehidupan di akhirat kelak manusia tidak dapat lagi melakukan gotong royong dan tolong menolong, sekalipun antara anak dan orang tuanya. Di sana manusia benar-benar berdiri sendiri dan bertanggung jawab sesuai dengan amal pernuatam masing-masing selama hidup di dunia. 
Berikut sekelumit pengalaman pribadi dalam berkomunikasi antar sesama manusia yang benar-benar didasarkan pada pikiran yang jernih dengan hati yang terbuka dan tulus ikhlas ketika melakukan salat berjamaah di mesjid. Sebuah pengalaman nyata dan sederhana, tanpa disengaja dan diduga yang cukup menggugah hati dan menyentuh rasa.


Kejadian sederhana tersebut mengingatkan kebenaran akan sebuah pepatah Arab: "Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah".

Makna hakikinya, setinggi apapun ilmu bila tidak diamalkan akan sia-sia. Sebaliknya, sesederhana atau sekecil apapun perbuatan atau dalam terminologi agama disebut amal kebajikan pastilah lebih bermanfaat ketimbang berhenti sebatas teori.

Pada suatu hari sebagaimana secara rutin dilakukan penulis melaksanakan salat subuh berjamaah sebagai makmum di sebuah mesjid di dekat rumah. Usai mengucapkan salam tiba2 kaki kanan mengalami kram. Untuk mengatasinya, dalam posisi duduk di shaf yang cukup rapat secara buru-buru kaki terpaksa diselonjorkan ke depan meski tidak dapat sepenuhnya lurus.

Dengan sedikit manahan rasa sakit penulis bermaksud beranjak dan meninggalkan tempat (saja) seraya dengan berbisik berkata kepada seorang jamaah di sebelah kanan: "kaki saya kram", seakan meminta dimaklumi jika penulis tidak dapat mengikuti "wirid", yakni rangkaian kalimat suci yang biasa dilafalkan bersama-sama dipimpin imam sehabis melaksanakan salat wajib di mesjid-mesjid aliran tradisional.

Tetapi di luar dugaan saudara sejamaah tersebut malah memegang lalu menekan kuat-kuat kaki penulis layaknya pemberian pertolongan pada kasus kram sambil berkata dengan suara perlahan bahwa kalau mengalami kram kaki tidak boleh ditekuk!

Penulis hanya terdiam sementara kaki masih dipegang dan ditekan. Selang beberapa saat kemudian penulis dengan suara pelan berkata bahwa rasa sakit sudah mulai reda dan berterima kasih sambil bangkit berdiri untuk meninggalkan tempat.

Dua atau tiga hari kemudian saat menunaikan salat maghrib berjamaah, sehabis salat sunat "tahiyat mesjid", yakni penghormatan pada mesjid, tampak saudara sejamaah tersebut duduk di depan penulis juga usai melakukan salat sunat yang sama. Dilihat dari penampilan dia sepertinya seorang bapak muda usia 35-an tahun, kesannya orang kantoran, sangat taat beragama dan tekun beribadah.

Selama ini interaksi di antara jemaah pada umumnya hanya sebatas "tahu muka" (Jawa, "kenal kebo"), dan tidak (pernah) bertegur sapa, kecuali orang yang memang sudah saling mengenal sebelumnya. Mungkin hal seperti itu merupakan fenomena umum terutama di mesjid-mesjid perkotaan.

Melihat kesempatan itu tiba-tiba saja muncul gagasan dalam pikiran penulis untuk menyenangkan hatinya hitung-hitung sebagai balasan atensi yang telah ditujukan kepada diri penulis pada hari yang lalu.

Penulis pun bergeser dari tempat duduk semula dan menyambanginya untuk menyapa lantas bertanya:"Saya seringkali mengalami kram kaki, hampir tiap malam kenapa ya?".

Penulis sengaja tidak membahasakan pak, mas atau bang karena merasa kesulitan untuk mencari kata yang tepat sehubungan dengan performa saudara sejamaah tersebut, dari pada salah. Dengan senang hati dan penuh perhatian dia mengatakan bahwa bisa jadi karena asam urat. Lalu penulis bercerita pernah dites di laboratorium hasilnya normal. Masa? Sahutnya.

Karena qamat sudah dikumandangkan, maka pembicaraan pun terputus dan giliran untuk melaksanakan salat berjamaah. Kali ini kembali kami duduk bersebelahan dalam satu shaf. Begitu usai mengucapkan salam tanpa diduga dengan suara perlahan ia langsung melanjutkan kembali pembicaraan tentang kram!

Terlihat betul dari gesturnya begitu senang dan bahagianya ketika dimintai pendapat, ingin berbagi dan menolong kepada sesama. apalagi oleh orang yang dilihatnya telah berkumis dan berjenggot putih seperti penulis. Dan yang lebih mengharukan dan mengherankan, sejak kejadian itu saudara sejamaah tersebut setiap bertemu dan bersalaman dengan penulis selalu bersikap layaknya "sungkem" (Jawa, sangat hormat), sehingga membuat penulis merasa jengah. Namun dalam kurun waktu yang sama, di mesjid yang sama ada juga seorang tokoh muda muslim setempat, berpendidikan S2 di bidang agama yang kerap juga mengisi khutbah dan imam salat jum'at, dalam bermasyarakat sikapnya terkesan angkuh. Kesan itu muncul karena penulis pernah bertemu di sebuah rumah sakit untuk berobat, bahkan kebarengan melaksanakan salat magrib berjamaah di musholla rumah sakit. Tetapi di lain hari penulis bertemu di mesjid yang biasa melakukan salat berjamaah dan menanyakan lebih jauh tentang tujuan kedatangannya ke rumah sakit beberapa hari lalu, dia "berlagak" seperti tak pernah bertemu dengan penulis di rumah sakit.


Dalam perjalanan menuju pulang penulis bermenung dan bertanya dalam hati, demikian mudah dan begitu sederhanakah untuk membuat hati orang lain merasa nyaman dan bahagia, sementara di dunia maya banyak orang sibuk menebar dan menanamkan kebencian?

Tetapi dari sekelumit pengalaman tak sengaja tersebut bagi penulis ternyata menyisakan sejumput rasa bersalah atau mungkin berdosa, karena telah berpura-pura tidak mengetahui sedikit tentang kram dan penangannya, sehingga mungkin saja telah membuat saudara sejamaah tersebut menjadi kurang konsentrasi dan khusyu dalam salatnya. Karena sebenarnya dengan adanya asuransi jaminan kesehatan BPJS boleh dibilang hampir setiap warga negara Indonesia sekarang ini sudah "melek seluk beluk berobat", utamanya mereka yang sebelumnya tidak pernah berurusan dengan dokter karena faktor biaya.

Penulis pikir pola dan spirit komunikasi semacam itu mengapa tidak diterapkan dalam kehidupan rumah tangga bersama pasangan kita? Lebih dari itu tentu bisa. Dalam berbagai telaah tentang komunikasi dengan pasangan dalam rumah tangga juga seringkali dikemukan semacam anjuran perlunya "sedikit berbohong" demi menyenangkan dan membahagiakan pasangan.

Kebenaran "resep" itu sendiri akhirnya terpulang kepada masing-masing individu. Meskipun dalam kasus pengalaman penulis ketika salat berjamaah di mesjid itu awalnya memang tidak disengaja untuk berbohong.

Simak Juga: