Salah satu aspek terpenting dalam mendidik (mengajar) adalah komunikasi. Dan komunikasi berhasil bila komunikator mengetahui (menguasai) latar dan pola pikir komunikan.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka..
Ibrahim 4
Ekses rezim Orde Baru telah melahirkan generasi materialistis. Puncaknya adalah sebagaimana disaksikan sekarang, generasi serba instan, pragmatis, dan ketergantungan lebih hanya sebagai pengguna (penikmat) teknologi (dengan karakteristiknya yang kaku dan gersang). Di sisi lain, seseorang (suatu generasi) akan mencintai warisan budaya (“heritage”) bila ia (mereka) mencintai (ilmu) sejarah. Di dalam penjurusan, ilmu sejarah masuk dalam kurikulum IPS (humaniora), karena pendalaman (rasa) menjadi faktor yang lebih dominan, yang notabene lebih kompleks sekompleks jiwa manusia. Untuk menyintai, seseorang tentu terlebih dahulu harus tertarik sebagai rangsang rasa “ingin tahu”. Sebagaimana “minat (cinta) baca” masyarakat Indonesia yang rendah disebabkan karena kurang (tidak) adanya rasa tertarik untuk membaca. Menggunakan teknologi mutakhir dalam metode mengajar dikhawatirkan alih-alih membawa anak didik menjadi tertarik, dengan kondisi komunikan sebagai tersebut di atas malah gagal membuat anak didik tertarik. Dan lebih ironis lagi, kalau para orang tua atau pendidik sendiri justru sama terjebaknya dengan anak didik pada sikap “mengagulkan” dan ketergantungan pada teknologi, lupa pada sejarah heroik bangsa sendiri “dengan senjata bambu runcing dapat mengalahkan tank penjajah” semasa revolusi dulu. Sikap “kebarat-baratan” yang ditunjukkan saat ini sesungguhnya sudah menjadi polemik panjang pada masa Sutan Takdir Alisyahbana dulu. Dalam banyak hal mereka sepertinya “menaruh minat besar” pada warisan budaya bangsa lain (seperti Indonesia), jangan-jangan lebih karena dorongan “memiliki”(menguasai) bukan “menjadi”, meminjam istilah filosof (Jerman?) Erick Fomm. Snock Horgronye, sosiolog zaman penjajahan Belanda dulu adalah sebuah contoh; ia mempelajari dan mendalami (ilmu) Islam dalam konteks “memiliki”, bukan “menjadi”. Benar, kehalusan rasa harus dimulai dari sejak kecil, ketika sang ibu memiliki waktu untuk bertutur dan mendongeng sebelum tidur untuk mengasah memori dan imajinasi sang buah hati. DIRGAHAYU HARI GURU NASIONAL..!!