Nabi Musa as merupakan salah satu dari lima orang nabi yang disebut atau diberi gelar sebagai “ulul ‘azmi”, di samping Nuh as, Ibrahim as, Isa as dan Muhammad saw, karena berbagai ujian besar yang terjadi selama melaksanakan tugas kenabian dapat mereka hadapi dengan ketabahan yang luas biasa. Nabi Musa as yang berwatak keras banyak mengisi sejarah
panggung dunia. Karena wataknya yang keras ia pernah diperintahkan Tuhan untuk berguru kepada seseorang pemilik “ilmu laduni” yang diduga sebagai nabi Khidir sebagaimana diriwayatkan Alquran (QS 18:65-82).
Diawali dengan ayat 65.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami
Dan berakhir pada ayat 82.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Konon “ilmu laduni” adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui proses belajar atau dengan kata lain ilmu yang diberikan langsung dari Tuhan, seperti misalnya “ngerti sadurunge winarah” (Jawa) atau mengetahui sebelum terjadi.
Dalam sejarah tercatat nama Ken Arok, seorang tokoh terkenal, disebut sebagai pendiri kerajaan Mataram di Jawa. Sepak terjangnya telah memberikan gambaran dan pembelajaran yang baik sekali tentang apa makna ilmu dan hikmah. Sebuah fragmen perjalanan sejarah yang paling dramatis diawali ketika pada suatu hari Ken Arok tengah menggembala ternak milik majikannya, tiba-tiba melintas iring-iringan rombongan akuwu Tunggul Ametung bersama istrinya yang termashur kecantikannya, bernama Ken Dedes. Dalam satu episode dikisahkan, Ken Dedes ketika hendak turun dari kereta kudanya tersingkaplah kain busananya, dan sekejap nampak oleh Ken Arok betisnya yang mulus mencorong, membuat Ken Arok seketika terkesima dan bersumpah untuk mendapatkan dan memiliki sebagai istrinya. Dikisahkan selanjutnya, bagaimana Ken Arok memesan dan kemudian mendapatkan keris dari seorang brahmana bernama Empu Gandring, dengan membunuh sang penatah keris bertuah itu. Kisah selanjutnya adalah ketika keris keramat itu sengaja dipinjamkan kepada temannya bernama Kebo Ijo, sebelum ia gunakan untuk membunuh sang akuwu Tunggul Ametung, agar ia dapat merampas dan memiliki Ken Dedes. Celakanya, dalam proses pengungkapan fakta dan penegakan hukum kemudian, Kebo Ijolah yang dituduh sebagai pelaku pembunuhnya dan menerima hukuman mati, gara-gara sebelumnya ia seringkali memamerkan keris itu di depan khalayak ramai. Cerita berikut dapat memberikan ilustrasi yang mengusik hati dan pikiran untuk tidak berhenti bertafakur tentang apa makna ilmu dan hikmah.
Dalam sebuah riwayat tersebutlah seorang santri yang telah sepuluh tahun berguru di sebuah pondok pesantren di suatu pelosok kaki gunung berpamitan kepada sang kiai untuk “turun gunung”, guna mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Dalam perjalanannya bertepatan dengan hari Jumat, tibalah ia di sebuah dusun dan ia pun singgah di sebuah mesjid untuk melaksakan ibadah salat Jumat. Sebagai seorang fresh graduate, dengan khusyuk ia bersimpuh di baris pertama di depan mihrab. Tiba saatnya khatib naik mimbar untuk menyampaikan khutbahnya. Di tengah khutbah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara sergahan memecah keheningan, membuat para jamaah terkaget. Ternyata sauara tersebut berasal dari sang santri yang memrotes karena kebetulan ada materi khutbah yang dianggapnya tidak benar. Kejadian tersebut sempat membuat para jamaah resah dan penuh tanda tanya. Kejadian tersebut tak berlangsung lama. Sang khatib pun melanjutkan khutbahnya. Namun lagi-lagi, sang santri menyela dan melakukan protes karena ada lagi materi khutbah yang dinilai tidak sesuai dengan ilmu yang pernah ia gali sepuluh tahun lamanya itu. Menyaksikan hal yang demikian itu, para jamaah hampir kehilangan kesabaran dan hendak beranjak dari tempat duduk untuk mengusir orang asing tersebut. Namun sang kiai yang sekaligus bertindak selaku khatib itu dengan isyarat mengimbau agar jamaah dapat menahan diri. Namun ketika protes sang santri berulang untuk ketiga kalinya, kesabaran jamaah sudah tidak dapat dikendalikan. Dan ketika sang khatib juga seperti memberikan aba-aba, maka serempak mereka bangkit mengeroyok, ada yang menampar lalu menyeret serta melemparkannya keluar dari mesjid. Beberapa waktu berselang usai pelaksanaan salat Jumat, dan tak satu orang pun tampak di halaman mesjid, sang santri mulai siuman dari pingsannya. Dengan tubuh terhuyung-huyung ia mencoba berdiri, sepertinya belum menyadari apa yang baru saja terjadi atas dirinya. Masih merasakan sakit-sakit di sekujur tubuhnya, barulah ia mulai teringat dan menyadari peristiwa yang menimpa dirinya. Antara sedih, pilu, dan menyesal, dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa ilmu yang telah dituntut dengan susah payah selama sepuluh itu hasilnya seperti ini? Pertanyaan itu terus menggelayut dan seperti menyesak di dalam dada. Tanpa menunggu lama, maka ia pun bergegas pergi dan berketetapan hati untuk kembali menemui gurunya dan menceritakan tentang apa yang dialaminya tersebut.
Di hadapan gurunya sang santri diperintahkan agar kembali bermukim di pondok pesantren untuk melanjutkan menunut ilmu. Tanpa terasa waktu berlalu, delapan tahun sudah sang santri bermukim dan tiba saatnya berpamitan untuk kedua kalinya meninggalkan pondok pesatren. Dalam perjalanannya kali ini juga bertepatan dengan hari Jumat kembali ia singgah di mesjid di mana dulu dia pernah mendapat pengalaman buruk diusir oleh jamaah salat Jumat. Hari itu lagi-lagi sengaja ia duduk bersimpuh di depan mihrab, menunggu khutbah dimulai. Ia tampak berdiam diri dengan tekun mendengarkan khutbah hingga selesai, hingga dilanjutkan pelaksanaan salat Jumat. Tak lama setelah imam usai membaca salam penutup salat, dengan sigap dan tak disangka-sangka, sang santri menyambar gagang mikrofon yang ada di dekatnya, dan langsung berbicara layaknya pengurus mesjid membacakan pengumuman. Dengan singkat dia menyampaikan maklumat bahwa barang siapa memiliki satu lembar rambut pak kiai, maka ia dijamin masuk sorga. Mendengar pengumuman itu, serentak seluruh jamaah mesjid secara spontan bangkit berdiri, berlari menuju mihrab, dan berebut mengambil atau lebih tepat mencabut satu lembar rambut sang kiai. Belum lagi sempat menyadari apa yang tengah dan baru saja terjadi, dalam hitungan detik rambut sang imam pun ludes, dan kepalanya berubah menjadi gundul!
Dua episode peristiwa tersebut di atas merupakan dua kisah yang berbeda. Yang satu terjadi di dunia nyata, dan yang satunya lagi di dunia cerita. Namun nilai pelajarannya tak jauh berbeda. Ken Arok, selain ilmu ia memiliki hikmah, yakni suatu kearifan agar ilmu yang dimilikinya bermanfaat. Hanya saja, sayangnya manfaat yang dicapai bukan hanya sebatas untuk kepentingan dirinya, tetapi seraya mencelakai orang lain. Sementara, Kebo Ijo sebagai sosok orang yang memiliki ilmu tanpa hikmah, alih-alih bermanfaat, tidak jarang malah justru mencelakai diri sendiri. Lain halnya dengan sang santri yang harus rela belajar lagi selama delapan tahun untuk menemukan sebuah hikmah, setelah sepuluh tahun belajar menuntut ilmu. Dalam dunia pendidikan dikenal istilah Intelectual Quotions (IQ), Emotional Quotions (EQ), dan Spiritual Quotions (SQ). Dengan kata lain EQ dan SQ sering disebut sebagai hikmah atau kearifan (wisdom), yakni kemanfaatan atau keberkahan ilmu. Semakin luas kemanfaatan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia dan kehidupan, maka semakin tinggi nilai tambah serta keberkahan dari suatu ilmu.
Melalui proses berpikir dan pencerapan inderawi manusia memperoleh pengetahuan dan ilmu. Secara epistemologi Prof.S.I. Poeradisasrra mendefinisikan pengetahuan sebagai kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu, misalnya mengenai obat-obat herbal, sejarah, dan struktur kependudukan. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah disusun secara sistematik dan teratur mengenai sesuatu bidang tertentu, jelas batas-batas maksud dan tujuan sasarannya maupun tahap serta tata cara kerja (modus operandi)-nya, untuk menghasilkan kebenaran “yang benar” dan dapat diuji atau diverifikasi. Jikalau pengetahuan terkadang belum diikat secara ketat oleh suatu tata tertib atau prosedur tertentu, maka ilmu justeru harus tunduk pada kesamaan tata kerja yang disebut metodologi yang merupakan disiplin untuk dapat dikategorikan ilmiah. Pengetahuan belum tentu lengkap dan menyeluruh, sebaliknya ilmu baru dapat disebut ilmu kalau telah lengkap dan menyeluruh. Oleh karenanya, ilmu memerlukan pemutakhiran data dan informasi serta perbaikan metodologi secara terus menerus, misalnya dari segi kalkulatif, komparatif, ferivikatif, deduktif, dan induktif.
Jika ilmu (pengetahuan) seseorang tidak (bisa) hilang, maka tidak demikian dengan hikmah. Selain berpikir yang merupakan fungsi utamanya, akal juga memiliki apa yang disebut memori, imaginasi atau inspirasi, dan intuisi. Ilmu diperoleh melalui kerja pikir, sedangkan hikmah dicapai melalui fungsi apa yang dalam ilmu jiwa sering disebut sebagai "indera keenam". Presiden RI ke-2 Soeharto mampu berkuasa selama hingga lebih dari tiga warsa kabarnya karena memiliki hikmah itu, yakni dalam ilmu kejawen disebut “wangsit” atau “pulung” yang konon saat itu jatuh pada atau diterima oleh ibu Tien Soeharto.
panggung dunia. Karena wataknya yang keras ia pernah diperintahkan Tuhan untuk berguru kepada seseorang pemilik “ilmu laduni” yang diduga sebagai nabi Khidir sebagaimana diriwayatkan Alquran (QS 18:65-82).
Diawali dengan ayat 65.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami
Dan berakhir pada ayat 82.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".
Konon “ilmu laduni” adalah ilmu yang diperoleh tanpa melalui proses belajar atau dengan kata lain ilmu yang diberikan langsung dari Tuhan, seperti misalnya “ngerti sadurunge winarah” (Jawa) atau mengetahui sebelum terjadi.
Dalam sejarah tercatat nama Ken Arok, seorang tokoh terkenal, disebut sebagai pendiri kerajaan Mataram di Jawa. Sepak terjangnya telah memberikan gambaran dan pembelajaran yang baik sekali tentang apa makna ilmu dan hikmah. Sebuah fragmen perjalanan sejarah yang paling dramatis diawali ketika pada suatu hari Ken Arok tengah menggembala ternak milik majikannya, tiba-tiba melintas iring-iringan rombongan akuwu Tunggul Ametung bersama istrinya yang termashur kecantikannya, bernama Ken Dedes. Dalam satu episode dikisahkan, Ken Dedes ketika hendak turun dari kereta kudanya tersingkaplah kain busananya, dan sekejap nampak oleh Ken Arok betisnya yang mulus mencorong, membuat Ken Arok seketika terkesima dan bersumpah untuk mendapatkan dan memiliki sebagai istrinya. Dikisahkan selanjutnya, bagaimana Ken Arok memesan dan kemudian mendapatkan keris dari seorang brahmana bernama Empu Gandring, dengan membunuh sang penatah keris bertuah itu. Kisah selanjutnya adalah ketika keris keramat itu sengaja dipinjamkan kepada temannya bernama Kebo Ijo, sebelum ia gunakan untuk membunuh sang akuwu Tunggul Ametung, agar ia dapat merampas dan memiliki Ken Dedes. Celakanya, dalam proses pengungkapan fakta dan penegakan hukum kemudian, Kebo Ijolah yang dituduh sebagai pelaku pembunuhnya dan menerima hukuman mati, gara-gara sebelumnya ia seringkali memamerkan keris itu di depan khalayak ramai. Cerita berikut dapat memberikan ilustrasi yang mengusik hati dan pikiran untuk tidak berhenti bertafakur tentang apa makna ilmu dan hikmah.
Kisah Berburu Ilmu dan Hikmah
Dalam sebuah riwayat tersebutlah seorang santri yang telah sepuluh tahun berguru di sebuah pondok pesantren di suatu pelosok kaki gunung berpamitan kepada sang kiai untuk “turun gunung”, guna mengamalkan ilmunya kepada masyarakat. Dalam perjalanannya bertepatan dengan hari Jumat, tibalah ia di sebuah dusun dan ia pun singgah di sebuah mesjid untuk melaksakan ibadah salat Jumat. Sebagai seorang fresh graduate, dengan khusyuk ia bersimpuh di baris pertama di depan mihrab. Tiba saatnya khatib naik mimbar untuk menyampaikan khutbahnya. Di tengah khutbah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara sergahan memecah keheningan, membuat para jamaah terkaget. Ternyata sauara tersebut berasal dari sang santri yang memrotes karena kebetulan ada materi khutbah yang dianggapnya tidak benar. Kejadian tersebut sempat membuat para jamaah resah dan penuh tanda tanya. Kejadian tersebut tak berlangsung lama. Sang khatib pun melanjutkan khutbahnya. Namun lagi-lagi, sang santri menyela dan melakukan protes karena ada lagi materi khutbah yang dinilai tidak sesuai dengan ilmu yang pernah ia gali sepuluh tahun lamanya itu. Menyaksikan hal yang demikian itu, para jamaah hampir kehilangan kesabaran dan hendak beranjak dari tempat duduk untuk mengusir orang asing tersebut. Namun sang kiai yang sekaligus bertindak selaku khatib itu dengan isyarat mengimbau agar jamaah dapat menahan diri. Namun ketika protes sang santri berulang untuk ketiga kalinya, kesabaran jamaah sudah tidak dapat dikendalikan. Dan ketika sang khatib juga seperti memberikan aba-aba, maka serempak mereka bangkit mengeroyok, ada yang menampar lalu menyeret serta melemparkannya keluar dari mesjid. Beberapa waktu berselang usai pelaksanaan salat Jumat, dan tak satu orang pun tampak di halaman mesjid, sang santri mulai siuman dari pingsannya. Dengan tubuh terhuyung-huyung ia mencoba berdiri, sepertinya belum menyadari apa yang baru saja terjadi atas dirinya. Masih merasakan sakit-sakit di sekujur tubuhnya, barulah ia mulai teringat dan menyadari peristiwa yang menimpa dirinya. Antara sedih, pilu, dan menyesal, dalam hati ia bertanya-tanya, mengapa ilmu yang telah dituntut dengan susah payah selama sepuluh itu hasilnya seperti ini? Pertanyaan itu terus menggelayut dan seperti menyesak di dalam dada. Tanpa menunggu lama, maka ia pun bergegas pergi dan berketetapan hati untuk kembali menemui gurunya dan menceritakan tentang apa yang dialaminya tersebut.
Di hadapan gurunya sang santri diperintahkan agar kembali bermukim di pondok pesantren untuk melanjutkan menunut ilmu. Tanpa terasa waktu berlalu, delapan tahun sudah sang santri bermukim dan tiba saatnya berpamitan untuk kedua kalinya meninggalkan pondok pesatren. Dalam perjalanannya kali ini juga bertepatan dengan hari Jumat kembali ia singgah di mesjid di mana dulu dia pernah mendapat pengalaman buruk diusir oleh jamaah salat Jumat. Hari itu lagi-lagi sengaja ia duduk bersimpuh di depan mihrab, menunggu khutbah dimulai. Ia tampak berdiam diri dengan tekun mendengarkan khutbah hingga selesai, hingga dilanjutkan pelaksanaan salat Jumat. Tak lama setelah imam usai membaca salam penutup salat, dengan sigap dan tak disangka-sangka, sang santri menyambar gagang mikrofon yang ada di dekatnya, dan langsung berbicara layaknya pengurus mesjid membacakan pengumuman. Dengan singkat dia menyampaikan maklumat bahwa barang siapa memiliki satu lembar rambut pak kiai, maka ia dijamin masuk sorga. Mendengar pengumuman itu, serentak seluruh jamaah mesjid secara spontan bangkit berdiri, berlari menuju mihrab, dan berebut mengambil atau lebih tepat mencabut satu lembar rambut sang kiai. Belum lagi sempat menyadari apa yang tengah dan baru saja terjadi, dalam hitungan detik rambut sang imam pun ludes, dan kepalanya berubah menjadi gundul!
Dua episode peristiwa tersebut di atas merupakan dua kisah yang berbeda. Yang satu terjadi di dunia nyata, dan yang satunya lagi di dunia cerita. Namun nilai pelajarannya tak jauh berbeda. Ken Arok, selain ilmu ia memiliki hikmah, yakni suatu kearifan agar ilmu yang dimilikinya bermanfaat. Hanya saja, sayangnya manfaat yang dicapai bukan hanya sebatas untuk kepentingan dirinya, tetapi seraya mencelakai orang lain. Sementara, Kebo Ijo sebagai sosok orang yang memiliki ilmu tanpa hikmah, alih-alih bermanfaat, tidak jarang malah justru mencelakai diri sendiri. Lain halnya dengan sang santri yang harus rela belajar lagi selama delapan tahun untuk menemukan sebuah hikmah, setelah sepuluh tahun belajar menuntut ilmu. Dalam dunia pendidikan dikenal istilah Intelectual Quotions (IQ), Emotional Quotions (EQ), dan Spiritual Quotions (SQ). Dengan kata lain EQ dan SQ sering disebut sebagai hikmah atau kearifan (wisdom), yakni kemanfaatan atau keberkahan ilmu. Semakin luas kemanfaatan ilmu bagi kemaslahatan umat manusia dan kehidupan, maka semakin tinggi nilai tambah serta keberkahan dari suatu ilmu.
Melalui proses berpikir dan pencerapan inderawi manusia memperoleh pengetahuan dan ilmu. Secara epistemologi Prof.S.I. Poeradisasrra mendefinisikan pengetahuan sebagai kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu, misalnya mengenai obat-obat herbal, sejarah, dan struktur kependudukan. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah disusun secara sistematik dan teratur mengenai sesuatu bidang tertentu, jelas batas-batas maksud dan tujuan sasarannya maupun tahap serta tata cara kerja (modus operandi)-nya, untuk menghasilkan kebenaran “yang benar” dan dapat diuji atau diverifikasi. Jikalau pengetahuan terkadang belum diikat secara ketat oleh suatu tata tertib atau prosedur tertentu, maka ilmu justeru harus tunduk pada kesamaan tata kerja yang disebut metodologi yang merupakan disiplin untuk dapat dikategorikan ilmiah. Pengetahuan belum tentu lengkap dan menyeluruh, sebaliknya ilmu baru dapat disebut ilmu kalau telah lengkap dan menyeluruh. Oleh karenanya, ilmu memerlukan pemutakhiran data dan informasi serta perbaikan metodologi secara terus menerus, misalnya dari segi kalkulatif, komparatif, ferivikatif, deduktif, dan induktif.
Jika ilmu (pengetahuan) seseorang tidak (bisa) hilang, maka tidak demikian dengan hikmah. Selain berpikir yang merupakan fungsi utamanya, akal juga memiliki apa yang disebut memori, imaginasi atau inspirasi, dan intuisi. Ilmu diperoleh melalui kerja pikir, sedangkan hikmah dicapai melalui fungsi apa yang dalam ilmu jiwa sering disebut sebagai "indera keenam". Presiden RI ke-2 Soeharto mampu berkuasa selama hingga lebih dari tiga warsa kabarnya karena memiliki hikmah itu, yakni dalam ilmu kejawen disebut “wangsit” atau “pulung” yang konon saat itu jatuh pada atau diterima oleh ibu Tien Soeharto.