Adakalanya dalam kehidupan sehari-hari masa kini mudah ditemukan perilaku antara orang (-orang) yang berilmu (berpendidikan) dan orang (-orang) yang tidak berilmu (kurang pendidikan) hanya berbeda tipis saja, bahkan hampir tidak ada bedanya. Tak sedikit orang yang berilmu melakukan sesuatu (kesalahan atau kesengajaan?) justru karena dengan ilmu yang dimiliki mereka merasa menguasai seluk beluk masalah sehingga dianggap mudah (nggampangke, Jawa) dengan mengakali
solusi hukumnya. Sementara orang yang tidak berilmu melakukan suatu (kesalahan dan ketidakpatutan) lebih karena ketidaktahuan atau kebodohannya. Tipologi kedua orang (-orang) tersebut ternyata tak hanya terbatas pada pelaku, tetapi juga orang (-orang) di sekitarnya selaku pengikut duplikator. Benarkah demikian? Dapat disaksikan misalnya, orang yang notabene biasanya relatif tidak berilmu atau berkemampuan rendah menawarkan diri sebagai joki kepada pengendara mobil yang notabene biasanya relatif orang berilmu atau berkemampuan lebih tinggi berkolaborasi untuk menerobos peraturan larangan melintas kawasan “three in one” ketika masih diberlakukan di Jakarta, demi mencapai tujuan pribadi. Contoh lain dapat disebutkan misalnya, menerobos pintu lintasan kereta rel yang ditutup saat kereta rel segera lewat sesungguhnya adalah sebuah tindakan pidana yang sanksinya di atas 10 tahun penjara. Tetapi masih saja ada orang (-orang) yang melakukan bahkan harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Ironisnya, (kesalahan dan ketidakpatutan) yang dilakukan bukan hanya berkaitan dengan hal-hal yang dikira atau dianggap bersifat umum (non-agama), tetapi justru juga sangat erat dengan nilai-nilai ajaran agama, seperti menebar fitnah, caci maki, kebencian, perpecahan (bangsa), menghina (ideologi pemersatu bangsa), sok suci (moralis), membuang sampah sembarangan, dan banyak lagi lainnya. Di atas semua itu, tindak pidana korupsi yang masih terus bahkan kian marak di negeri tercinta ini merupakan bukti nyata yang sulit terbantahkan atas kebenaran tesis dalam tulisan ini.
Cara Selamat dari Api Neraka
Sedikit hari lagi hari raya Iedul Fitri tiba. Pada momen suci ini banyak orang yang memiliki kemampuan berlebih memanfaatkan untuk menyucikan harta melalui mekanisme zakat. Lagi-lagi dalam soal ini umat atau dunia Islam di Indonesia harus menerima kekecewaan ketika dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa potensi zakat harta kekayaan di Indonesia yang menurut Baznas mencapai Rp250 triliun per tahun, tetapi kenyataan sejauh ini zakat yang terhimpun hanya Rp25 triliun atau 10% saja. Mengapa demikian, memang belum ada penelitian yang menemukan faktor penyebabnya. Berdasarkan tesis ini muncul teori dan spekulasi,salah satunya adalah calon pembayar zakat memilih dan menempuh jalan akal-akalan. Sebagaicontoh misalnya, seorangwajib zakat sengaja menjual emas miliknya minimal 100 gram sebelum cukup genap nisab satu tahun dengan maksud untuk menggugurkan kewajiban zakatnya. Sementara di bagian lain, boleh jadi penjahat koruptor yang menilap uang rakyat sebesarRp1 M misalnya, kemudian menyedekahkan sebagian hasil korupsi senilai Rp100 juta ke rumah ibadah atau yayasan yatim-dhuafa seraya berharap dan merasa dapat bebas dari api neraka dengan mencari pembenaran dari Alquran surat Hud 114:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat