Renungan Periode Maghfiroh Ramadan
Salah satu hikmah paling besar dan monumental periode Maghfiroh Ramadan adalah momen pertama kali wakyu Alquran diturunkan. Turunnya wahyu Alquran merupakan anugerah sekaligus menunjukkan sifat Maha Pengampun dan Rahmat Tuhan pada manusia agar meneruskan dan menebarkan rahmat itu kepada segenap alam semesta. Dengan turunnya wahyu Alquran pula Tuhan menghendaki agar derajat manusia terangkat setinggi-tingginya, antara lain melalui ibadah puasa. Seperti diketahui, wahyu pertama yang diturunkan adalah
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَـٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّـهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati
Kedua, perintah membaca tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa obyek yang dibaca. Obyek bacaan dalam pengertian umum adalah bahan-bahan tertulis, contohnya seperti teks Alquran atau tulisan yang sedang dibaca ini. Sedangkan obyek bacaan dalam arti luas adalah segala tanda-tanda, isyarat, dan fenomena alam yang menunjukkan Wujud, Ke-Esaan dan Kebesaran Tuhan.
Salah satu hikmah paling besar dan monumental periode Maghfiroh Ramadan adalah momen pertama kali wakyu Alquran diturunkan. Turunnya wahyu Alquran merupakan anugerah sekaligus menunjukkan sifat Maha Pengampun dan Rahmat Tuhan pada manusia agar meneruskan dan menebarkan rahmat itu kepada segenap alam semesta. Dengan turunnya wahyu Alquran pula Tuhan menghendaki agar derajat manusia terangkat setinggi-tingginya, antara lain melalui ibadah puasa. Seperti diketahui, wahyu pertama yang diturunkan adalah
sebuah kata yang berbunyi “bacalah”. Satu kata tersebut setidaknya mengandung dua makna dan pengertian. Pertama, kata tersebut merupakan kata perintah. Secara harfiah itu artinya bahwa “membaca” atau dalam arti luas menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim, bukan saja ilmu agama yang membahas tentang hal-hal yang bersifat metafisik, tetapi juga ilmu yang bermanfaat lainnya tentang fisika. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa seorang muslim yang tidak gemar membaca dan atau tidak menyukai bahan bacaan sesungguhnya sama saja artinya dengan tidak (mau) mendengarkan seruan Alquran. Bahkan lebih celaka lagi jika seorang muslim alih-alih ikut menyebarluaskan (tabligh) yang merupakan kewajiban setiap muslim, malah menutup atau menghalangi disampaikannya apa yang diturunkan Allah swt dan ilmu yang bermanfaat dengan cara menyia-nyiakan atau mencampakkan bahan bacaan seperti tulisan ini misalnya, sebagaimana tersebut dalam Alquran surat Al-Baqarah 159:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِن بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَـٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّـهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati
Kedua, perintah membaca tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa obyek yang dibaca. Obyek bacaan dalam pengertian umum adalah bahan-bahan tertulis, contohnya seperti teks Alquran atau tulisan yang sedang dibaca ini. Sedangkan obyek bacaan dalam arti luas adalah segala tanda-tanda, isyarat, dan fenomena alam yang menunjukkan Wujud, Ke-Esaan dan Kebesaran Tuhan.
Hanya saja sayangnya, sudah sejak lama hingga terakhir ini berbagai penelitian menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia pada umumnya rendah sekali. Oleh karenanya, wajar sekali jika banyak kaum muslimin yang wawasan dan pemahaman keagamaannya terbatas untuk tidak mengatakan sempit. Akibatnya, mereka tidak mampu berpikir independen atau mandiri dan cenderung bersikap taklid dan fanatik, yang pada gilirannya rentan sekali terhadap kemungkinan eksploitasi dan manipulasi dalam berbagai bentuknya untuk semata-mata tujuan dan kepentingan duniawi. Gerakan gemar membaca yang dikampanyekan dan disosialisasikan para pegiat peningkatan minat baca masyarakat akhir-akhir ini semestinya kaum musliminlah yang paling merasa terpanggil untuk mempelopori dan berada di baris terdepan. Bukankah kemajuan pesat yang dialami manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban sejauh ini sejatinya merupakan kinerja dan peran besar dari (budaya) tulisan dan bukan (budaya) lisan?
Suka atau tidak suka adanya kenyataan dan sesungguhnya dapat dimengerti, jika sebagian besar masyarakat Indonesia yang berlatar belakang pendidikan tertinggi –khususnya di bidang agama-- rata-rata setingkat sekolah lanjutan pertama masih kurang mengapresiasi dan menghargai ilmu pengetahuan. Minat baca yang rendah adalah menjadi salah satu indikatornya. Indikator lain dapat disebutkan misalnya, baik pemberi maupun penerima sedekah, pada umumnya lebih tertarik dan menghargai sedekah bahan kebutuhan pokok daripada sedekah ilmu. Padahal seperti diketahui, bahan kebutuhan pokok bersifat jangka pendek. Sekali dikonsumsi hilang tak berbekas, dan kalaupun berbekas –maaf— hanya sebagai pengisi bak tabungan “kuningan”. Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat jangka panjang. Sekali dikonsumsi manfaatnya dapat membekas seumur hidup bahkan dapat ditularkan atau dibagikan (share) kepada saudara lainnya.