PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Mei 17, 2017

Ramadan Suci dan NKRI






Renungan Kebangsaan


Nabi Muhammad saw (Islam) tidak pernah mengajarkan dan menentukan mengenai bentuk ketika mendirikan sebuah negara, apakah kerajaan, republik, khilafah atau lainnya.Hal tersebut sepenuhnya diserahkan pada kesepakatan para pendiri bangsa dan negara, sebagaimana diperkuat dengan sebuah sabda Rasul saw: “Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. Bertepatan dengan bulan suci Ramadan 70 tahun lalu para pendiri bangsa (the founding fathers) yang mewakili berbagai suku, ras dan agama, dimana embrionya adalah Sumpah Pemuda 1928, telah bersepakat untuk mendirikan dan memproklamirkan sebuah bangsa dan Negara bernama Indonesia. Para tokoh ulama visioner waktu itu yang mewakili kaum muslimin bersedia untuk mundur setapak demi meraih tujuan yang lebih besar dengan menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, sekaligus merupakan sebuah keputusan sudah final untuk Republik ini. Menggugat atau mengutak-atik sumbangan pemikiran para ulama besar dan para pendahulu dan pemimpin bangsa tersebut sama saja artinya dengan mendurhakai orang tua (ibu dan ayah) atau malah lebih besar dari itu. Bukan sebaliknya, menghargai dan berterima kasih kepada keduanya, sekalipun kita tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Bahkan lebih berat lagi dapat diragukan iman dan islamnya karena tidak mau menauladani Rasulullah saw khususnya dalam riwayat perjanjian Hudaibiyah yang akhirnya melahirkan Piagam Madinah sebagai fondasi terbentuknya apa yang kemudian dikenal sebagai masyarakat madani atau civil society. Yaitu sebuah mesyarakat plural yang mengakui bahwa keberagaman adalah sebuah keniscayaan dunia dan kodrat ilahiah, sebagaimana ditegaskan dalam Aquran surat Al-Hujuraat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّـهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Maka menjadi sangat aneh dan irionis sekali, kedurhakaan bahkan mungkin pengkhianatan itu justru dilakukan oleh oknum atau kelompok yang merasa memiliki ilmu (ulama), seperti misalnya Rizieq dalam kasus pelecehan terhadap ideologi Pancasila sebagai dasar Negara dan ormas Hizbul Tahrir dengan ideologi khilafahnya yang akan mengobrak-abrik Bhineka Tunggal Ika yang ujungnya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika demikian halnya, maka sesungguhnya sikap dan tindakan mereka tersebut adalah ahistoris atau mengingkari realitas sejarah, karena sepertinya mereka sama sekali tidak menghargai bahkan menegasikan pengurbanan harta, darah dan ribuan nyawa rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah Belanda dari Bumi Pertiwi. Salah satu dari ribuan pahlawan tanpa nama (dan ribuan lain tanpa tanda jasa) itu adalah paman penulis sendiri yang baru berusia 19 tahun rela mengorbankan jiwa dan gugur dalam pertempuran sengit di Jerakah, sebuah kota kecil di sebelah barat Semarang, yang untuk mengingat jasa para kesuma bangsa tersebut kemudian didirikan Tugu Pemuda di pusat kota Semarang. Sementara itu, jika dirunut alih-alih sumbangan dan kontribusi yang mereka berikan kepada bangsa dan negara ini ketika ujug-ujug atau tiba-tiba malah ingin membajak dan mendirikan Negara di dalam Negara dengan mengatasnamakan agama. Pikiran-pikiran sesat terutama dalam konteks tatanan berbangsa dan Negara seperti yang pernah dilakukan oleh gerombolan Darul Islam (DI) dan Tentara Islam Indonesia (TII) yang memahami Islam secara menyimpang adalah merupakan barang (ideologi) sudah usang yang kini seyogianya dibuang jauh dan tak perlu lagi didaur ulang. Karena jika tidak demikian, maka lagi-lagi hal tersebut tak lain merupakan sikap ahistoris sekaligus mencerminkan ketidakmampuan menangkap salah satu spirit dasar ajaran Alquran yang 60%-an kandungan isinya merupakan riwayat dan sejarah.

Simak Juga:




Posting Komentar