Sebagai ormas (organisasi masyarakat) besar setelah NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah telah mengalami beberapa kali “metamorfosis” sejak kelahirannya (jauh sebelum NU didirikan), agaknya tidak banyak diketahui masyarakat, termasuk boleh jadi oleh sebagian pengikutnya sendiri. Pada awalnya ia muncul sebagai sebuah gerakan budaya dengan misi utama untuk
mengikis habis sinkretisme dala beragama Islam, meliputi bid’ah, khurafat dan tahayul yang dianggap dapat merusak keimanan dan akidah Tauhid. Puncak atau klimaks dari gerakan tersebut adalah ketika Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Mas Mansur yang dengan berani menentang perintah melakukan shaikeire (menghadap matahari untuk memberi hormat kepada Tenno Heika) di masa pendudukan Jepang, hingga berujung pihak Jepang bersedia memahami dan menerima sikap tersebut. Selanjutnya, sepanjang era percaturan politik nasional yang penuh “hingar bingar” pada akhir periode kepemimpinan presiden Soekarno, Muhammadiyah semula sebagai ormas sosial keagamaan berubah menjadi orsospol (organisasi sosial yang berpolitik), pasca dibubarkannya Masjumi sebagai afiliasi politiknya. Pengalaman pahit selama terjun di kancah politik, membuat organisasi ini seperti mengalami disorientasi, sehingga akhirnya memberikan kebebasan bagi anggotanya untuk menentukan pilihan politiknya sendiri dengan tanggung jawab masing-masing. Dan pilihan tersebut benar-benar dilakukan melalui loby-loby, kendati kemudian tampaknya sulit berkembang. Pengalaman yang sama dan sebangun terjadi dalam ormas NU, dan berujung pada suatu keputusan dengan istilah yang sangat fenomenal “kembali ke khittah”.
Cara Mengenali Golongan Munafik
Hingga muncul seorang tokoh kontroversial, M. Amien Rais yang dikenal kemudian sebagai “Lokomotif Reformasi”. Dengan apa yang disebutnya sebagai politiktingkat tinggi (high politics) dan gaya khasnya, melalui kritik-kritiknya yang tajam acapkali membuat pemerintahan rezim Soeharto yang otoriter dan sentralistis serta korup merasa gerah dan berada pada posisi serba salah. Seiring dengan terjadinya krisis multi dimensi rezim Orde Baru pun jatuh, dan Sang Lokomotif melaju bersama gerbong reformasinya membawa Indonesia menuju babak baru kehidupan era demokrasi, desentralisasi, dan transparansi. Tak tahan dengan godaan kepentingan jangka pendek (low politics?), dan yang lebih penting ini: reformasi yang diharapkan, alih-alih membawa perbaikan justru membawa kondisi bangsa dan Negara Indonesia jauh lebih parah. Sang Lokomotif pun akhirnya harus “sumeleh”, entah sampai kapan, karena rakyat tak lagi mau mengikuti jejaknya. Terbukti pencalonannya sebagai presiden mengalami kegagalan total dan akhirnya harus “tutup buku”. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa tidak ada korelasi linear dan berbanding lurus antara beliau sebagai sarjana ilmu politik dengan keberhasilan dalam kancah percaturan politik. Akan halnya wadah (organisasi) di mana dulu ia berkiprah, terus menjalankan tugasnya “business as usual”, dalam arti sepertinya tidak lagi memiliki jiwa kepeloporan, di mana para punggawanya banyak terbuai dan terjebak pada dilema profesionalisme (asyik berbisnis di bawah naungan legalitas amal usaha yang kadang eksploitatif) dan idealisme (dakwah), sehingga kerapkali tampil lebih sebagai sebuah entitas usaha. Seperti diketahui, kegiatan oganisasi ini berkembang pesat utamanya di bidang pendidikan dan kesehatan, dua bidang kemasyarakatan yang memang vital dan strategis. Mungkin slogan lama “Hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari kehidupan dari Muhammadiyah” perlu diganti dengan slogan baru yang lebih menekankan atau mengedepankan dan mengutamakan misi keagamaan, bukan misi keorganisasian: “Hidupkanlah Dakwah, dan jangan mencari kehidupan dari Dakwah”, sebagaimana dicontohkan para wali sanga misalnya, atau malah Nabiyullah saw sendiri.
Munculnya kelompok radikal atau sempalan dalam tubuh paham Wahabi di Jazirah Arab yang merupakan inspirator lahirnya ormas Muhammadiyah adalah sebuah fakta sekaligus probabilitas atau dengan kata lain bukan “hil yang mustahal”. Demikian pula hal tersebut dapat terjadi dalam tubuh organisasi manapun, tak terkecuali boleh jadi Muhammadiyah. Sebagaimana berita terakhir menyebutkan bahwa kelompok radikal Wahabi tersebut telah melakukan tindakan bodoh dan aksi perusakan serta penghancuran situs-situs kuno bernilai sejarah dunia di Irak, dengan dalih untuk memusnahkan sumber-sumber syirik mengatasnamakan gerakan Wahabi yang bisa jadi di luar kendali.
Simak juga:
Golongan Munafik (I)
Golongan Munafik (I)