PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 08, 2018

Cara Membaca dan Mencerna Informasi



Sudah menjadi aksioma bahwa pemahaman seseorang dengan orang lain atas obyek yang sama atau sesuatu hal yang sama dapat berbeda karena perbedaan latar belakang di antara keduanya dalam pemikiran dan perasaan karena bebagai faktor, baik lingkungan budaya, keluarga, maupun
tingkat pendidikan. Demikian pula dalam era kemajuan teknologi digital dan dunia maya dewasa ini, kemampuan literasi masyarakat netizen dihadapkan pada cara membaca dan mencerna informasi agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang benar. Berikut adalah contoh kasusnya.


Sate Domba Afrika H. Ismail


Tanah Abang


Pemiliknya adalah seorang warga kulit hitam asal benua hitam Afrika beragama Islam, ditandai dengan kopiyah putih khas haji menutup kepalanya. Ketika ditanya tentang keunggulan sate buatannya ia menjelaskan bahwa selain cita rasanya yang lezat juga sehat dimakan karena rendah kolesterol. Ketika lebih jauh ditanyakan tentang dari mana ia mengetahui sate buatannya rendah kolesterol, ia menjawab singkat dari cara memasaknya. Kemudian ia menerangkan seraya memperagakan cara memasaknya. Dari cara memasaknya itu kemudian ia tunjukkan limbah cair berasal dari lemak domba cukup banyak tampak menggenang di dasar alat masaknya.

Sate Kambing H. Abu Salim


Depok


Pemiliknya paroh baya seperti juga H. Ismai, asal WNI peranakan arab, juga kopiyah putih khas haji menutup kepalanya. Pertanyaan2 yang sama diajukan kepada sang pemilik. Sedikit berbeda dengan H. Ismail, ia menjelaskan bahwa sate buatannya sangat lezat disantap karena dagingnya empuk yang diambil dari kambing (jawa) muda dan hanya bagian has-nya saja. Namun giliran menerangkan tentang sate buatannya sehat disantap sang pemilik menceritakan bahwa Nabi saw juga menyantap daging kambing. InsyaAllah memakan daging kambing tetap sehat dan tak perlu ada yang dikhawatirkan, lanjutnya.


Kesimpulan:

Setelah mendengarkan penjelasan dari H. Ismail yang rasioanal, obyektif dan faktual  tentang pernyataannya bahwa sate afrika sehat dimakan, hampir semua dapat menerima penjelasannya, tanpa reserve. Namun sebaliknya H. Abu Salim menerangkan soal yang sama mendasarkan alasan Nabi saw juga menyantap daging kambing, yang tentu saja menyisakan sederet pertanyaan kritis. Seperti misalnya, apakah di tanah Arab zaman Nabi saw ada kambing jenis jawa? Seberapa sering Nabi saw mengkonsumsi daging kambing (atau domba?). Untuk itu perlu penelitian tersendiri yang tidak mudah dan murah. Lagi pula Nabi saw sendiri kiranya bukan tipe ideal untuk tingkat harapan hidup menurut standar hidup abad ini.
Bagi sebagian (mayoritas) kalangan muslim yang tidak terbiasa bahkan tidak mau  atau tidak mampu menggunakan akal pikiran (yang wajib hukumnya), namun begitu mendengar nama nabi disebut (hahkan dalam kesempatan lain kata suci seperti yell takbir atau tulisan huruf arab atau serba arab lainnya) membuat orang langsung percaya dan dianggap benar. Padahal apa sulitnya mengucapkan satu kata jikalau tidak mengandung sesuatu jaminan apapun. Sedangkan dalam peristiwa Shiffin, yaitu perang saudara pertama umat muslim antara pendukung Muawiyah dan Ali bin Abu Thalib ra yang menelan korban hingga lebih dari 100 ribu jiwa itu, mushaf Alquran diangkat tinggi-tinggi tidak lantas membuat pihak pasukan lawan langsung percaya begitu saja sebelum dicek kebenarannya melalui prosses akal pikiran. Ini baru satu contoh perkara kecil. Apa jadinya jika informasi itu menyangkut hal yang abstrak dan lebih kompleks?
Celah pemahaman lemah seperti inilah yang acapkali dimanfaatkan oleh pihak tertentu demi kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan, baik demi keuntungan ekonomi maupun lainnya, seperti misalnya dalam kasus agen haji umrah First Travel, atau Pilkada DKI.

Simak Juga:




Posting Komentar