Tasawuf: Jalan Pintas Menuju Tuhan
Tahukan anda dan sadarkah anda bahwa sebelum zikir (mengingat dan mendekat) kepada Alllah swt, Muhammad melakukan pikir (perenungan dan kontemplasi) dalam rangka menjernihkan hati dan jiwa, dengan
mengamati dan memahami kehidupan? Dengan sering berkhalwat di gua Hira untuk menjaga jarak antara diri beliau dan kehidupan nyata sehari-hari. Apa artinya ini? Kebanyakan para ahli agama tidak atau kurang menaruh perhatian tentang hal dan momentum ini. Pengertiannya, Tuhan Maha Suci, maka hampir tidak mungkin hati dan jiwa yang (masih) belum bersih dan jernih mampu menangkap sinyal, transmit, message, pesan atau kabar dari Tuhan melalui utusanNya. Itulah sesungguhnya tangga dan tahapan menuju Tuhan yang telah dilakukan sekaligus dicontohkan oleh Nabi. Itu yang dilalui dan dilakukan pada tataran nabi. Maka dapat dibayangkan, apa dan bagaimana kira-kira yang harus dilewati dan dilakukan oleh manusia biasa untuk berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tak ada pilihan lain kecuali meretas dan mengikuti jejak serta tradisi Nabi saw, yakni belajar memahami makna kehidupan. Jika tidak demikian, maka ibarat minum obat ia telah termakan obat dengan dosis (keliwat) tinggi. Alih-alih tujuan (kesembuhan) dapat dicapai malah dapat berakibat fatal. Oleh karena itu pulalah dalam pandangan sufi secara implisit dan simbolik disebutkan bahwa tanda orang mukmin yang jauh dari Tuhannya adalah ketika berzikir hatinya merasa tenteram dan tenang. Ketika usai melaksanakan ibadah salat hatinya merasa lega, karena telah menunaikan kewajiban. Karena dengan demikian tanpa disadari sesungguhnya ia telah terjebak pada cara atau ritual (zikir dan ibadah salat) yang menjadi tujuan pokoknya, bukan Tuhan. Sehingga tanpa terasa dan tanpa disadari sesungguhnya ia telah terjebak dan tergelincir ke dalam persolan ritual ansich semata.
mengamati dan memahami kehidupan? Dengan sering berkhalwat di gua Hira untuk menjaga jarak antara diri beliau dan kehidupan nyata sehari-hari. Apa artinya ini? Kebanyakan para ahli agama tidak atau kurang menaruh perhatian tentang hal dan momentum ini. Pengertiannya, Tuhan Maha Suci, maka hampir tidak mungkin hati dan jiwa yang (masih) belum bersih dan jernih mampu menangkap sinyal, transmit, message, pesan atau kabar dari Tuhan melalui utusanNya. Itulah sesungguhnya tangga dan tahapan menuju Tuhan yang telah dilakukan sekaligus dicontohkan oleh Nabi. Itu yang dilalui dan dilakukan pada tataran nabi. Maka dapat dibayangkan, apa dan bagaimana kira-kira yang harus dilewati dan dilakukan oleh manusia biasa untuk berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tak ada pilihan lain kecuali meretas dan mengikuti jejak serta tradisi Nabi saw, yakni belajar memahami makna kehidupan. Jika tidak demikian, maka ibarat minum obat ia telah termakan obat dengan dosis (keliwat) tinggi. Alih-alih tujuan (kesembuhan) dapat dicapai malah dapat berakibat fatal. Oleh karena itu pulalah dalam pandangan sufi secara implisit dan simbolik disebutkan bahwa tanda orang mukmin yang jauh dari Tuhannya adalah ketika berzikir hatinya merasa tenteram dan tenang. Ketika usai melaksanakan ibadah salat hatinya merasa lega, karena telah menunaikan kewajiban. Karena dengan demikian tanpa disadari sesungguhnya ia telah terjebak pada cara atau ritual (zikir dan ibadah salat) yang menjadi tujuan pokoknya, bukan Tuhan. Sehingga tanpa terasa dan tanpa disadari sesungguhnya ia telah terjebak dan tergelincir ke dalam persolan ritual ansich semata.
Lebih dari itu, jika ditanyakan dan dibandingkan serta harus memilih mana lebih utama antara zikir dan pikir dalam upaya untuk komunikasi dan mendekatkan diri kepada Tuhan? Ini adalah pertanyaan sufistik. Zikir bersifat fisik dan indrawi, karena ukurannya rasa, kepuasan hati yang berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan diri manusia.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّـهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu
Muhammad 7
وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
...dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya
Untuk sekadar contoh, bagaimana fikir itu digunakan dalam memaknai dan memahami Alquran berikut ini.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara...
Al-Hujurat 10
Al-Hujurat 10
Ayat tersebut secara kontekstual sesungguhnya sangat tepat dan ditekankan untuk menyasar kepada masyarakat atau umat, khususnya masyarakat Arab jahiliyah yang ketika Alquran diturunkan dalam kondisi peperangan hampir tak ada hentinya antar suku dan kabilah, bahkan terus menerus hingga hari ini. Hal itu sangat jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di bumi Nusantara, khususnya di Jawa, Islam datang di tengah masyarakat yang sudah mencapai tingkat peradaban dan kebudayaan serta mengenal nilai-nilai kebajikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Arab jahiliyah.
Sebagai sebuah teks wahyu Ilahiah ayat tersebut tentu tidak dapat diganggu gugat. Namun dalam tataran kebutuhan dan implementasinya umat muslim dapat (saja) memilih sesuai dengan keperluan. Ayat tersebut barangkali kurang relevan dan mendesak, paling tidak selama masyarakat Indonesia masih bisa bersatu dan berdamai dalam bingkai NKRI yang menjunjung tinggi nilai budaya dan tidak sedang terlibat dalam perang saudara. Dalam kondisi demikian lebih tepat kalau moral yang dianjurkan adalah 'ta'awun', saling tolong menolong dan membantu dalam kebajikan, bergotong royong untuk bersama-sama membangun negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan menuju ideologi masyarakat madani seperti di zaman Rasulullah saw.
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
...maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...
al Maidah 48
Akhirnya, dari perspektif ilmu hikmah secara operasional maka jelaslah bahwa dari 'pikir' terjadi proses yang berorientasi dan berdimensi sosial dan horisontal. Sedangkan 'zikir' lebih pada berdimensi vertikal yang berorientasi dan kepentingan individual