Kumbokarno |
Dalam mitologi wayang, dikisahkan seorang satria Wibisana merupakan adik Rahwana, raja Alengkadiraja yang jahat, telah membelot ke pihak musuh,yakni Prabu Ramayana yang dikategorikan sebagai raja bijaksana. Sementara adik yang lain dari Rahwana bernama Kumbokarno yang berujud raksasa (citra jahat) namun hatinya suci ia memilih untuk tetap berpihak pada kakaknya, meski pemerintahannya zalim, dengan niat dan tekad untuk mengabdi serta mencintai negerinya. Sikap dan pendirian tetsebut di dalam dunia nyata dapat disamakan dengan sebuah slogan yang pertama kali dicetuskan oleh Perdana Menteri Inggris, Winston Churcill pasca perang dunia kedua berbunyi: 'right or wrong is my country, yang kemudian diadopsi bangsa Amerika'.
Di episode lain dikisahkan adipati Karno yang merupakan saudara seibu dari keluarga Pandawa (dari kerajaan Amartapura yang dicitrakan sebagai pemerintahan yang adil dan bijaksana), ia memilih untuk mengabdi dan membela kerajaan Hastinapura (citra pemerintahan zalim yang bermusuhan dengan kerajaan Amartapura), karena ia merasa berutang budi gegara semasa jabang bayi ia "dibuang" dari keluarga karena alasan malu, yang kemudian direngkuh oleh keluarga Kurawa, pemilik dan penguasa kerajaan Hastinapura. Demikian pula resi Bisma yang merupakan saudara kakek dari keluarga dua kerajaan yang saling bermusuhan tersebut, dan prabu Salya (menantu resi Bagaspati, mereka memilih bergabung dan membela keluarga Kurawa, meskipun mereka mengetahui pemerintahannya zalim.
Akan halnya yang dialami dan dihadapi pejudo Miftahul Jannah asal Aceh, pilihannya mungkin benar untuk tidak mengikuti pertandingan di Asia Paragame 3018 karena niat dan alasan demi menegakkan syariat Islam, dari pada --meski untuk sementara-- harus menanggalkan jilbab! Namun bagaimana jika kemudian sikap dan tindakannya tersebut justru dinilai sebagai bentuk lebih sekadar mengejar dan mengutamakan 'kesalihan pribadi' seraya meninggalkan atau mengabaikan 'kesalihan sosial'..?
Di episode lain dikisahkan adipati Karno yang merupakan saudara seibu dari keluarga Pandawa (dari kerajaan Amartapura yang dicitrakan sebagai pemerintahan yang adil dan bijaksana), ia memilih untuk mengabdi dan membela kerajaan Hastinapura (citra pemerintahan zalim yang bermusuhan dengan kerajaan Amartapura), karena ia merasa berutang budi gegara semasa jabang bayi ia "dibuang" dari keluarga karena alasan malu, yang kemudian direngkuh oleh keluarga Kurawa, pemilik dan penguasa kerajaan Hastinapura. Demikian pula resi Bisma yang merupakan saudara kakek dari keluarga dua kerajaan yang saling bermusuhan tersebut, dan prabu Salya (menantu resi Bagaspati, mereka memilih bergabung dan membela keluarga Kurawa, meskipun mereka mengetahui pemerintahannya zalim.
Akan halnya yang dialami dan dihadapi pejudo Miftahul Jannah asal Aceh, pilihannya mungkin benar untuk tidak mengikuti pertandingan di Asia Paragame 3018 karena niat dan alasan demi menegakkan syariat Islam, dari pada --meski untuk sementara-- harus menanggalkan jilbab! Namun bagaimana jika kemudian sikap dan tindakannya tersebut justru dinilai sebagai bentuk lebih sekadar mengejar dan mengutamakan 'kesalihan pribadi' seraya meninggalkan atau mengabaikan 'kesalihan sosial'..?
Bukankah sebuah hadis menyebutkan bahwa 'menyintai tanah air itu bagian dari iman' atau akidah yang lebih mendasar..?! Sangat disayangkan sikap dan tanggapan dari salah seorang anggota Legislatif dari fraksi PKS, yakni A. Djuwaeni, yang tidak atau kurang mendidik tentang makna ajaran Islam yang lebih hakiki dan substansi dengan memberikan penghargaan tiket umroh kepada sang atlet.
2 komentar
Menurut pendapat saya, berjilbab itu adalah hubunganya sama akidah. tdk ada sangkut pautnya sama cinta tanah air. cinta tanah air msh bisa kita lakukan dibanyak bidang, tanpa hrs menenggerkan akidah kita.
Mungkin pendapat itu benar dlm kondisi normal. Sang atlet dihadapkan pd situasi dilematis. Di sana dibutuhkan kearifan.
Kritik tsb sebenarnya lebih ditujukan pd anggota DPR, A.Djuwaeni, yg kurang mendidik tentang nilai Islam yg sejati, dg memberikan prize umroh. Sementara, mana mungkin kalau mengharapkan kearifan dari seorang Miftah yg masih bocah?
Syariat atau hukum hakikatnya adalah syarat minimalis. Di atas itu ada moral, akhlak. Kalau tinjauannya akidah, seperti disebutkan bukankah 'cinta tanah air' lebih dekat pd soal akidah (sesuai dg hadist tsb)..?
Mungkin perlu juga referensi tambahan ini:
https://doa-logika.blogspot.com/2018/10/politik-mengapa-nkri-seperti-jeri.html?m=1
Bagaimanapun, saya hargai pendapat Anda.
Terima kasih atas atensi dan responnya.
Dari: zaerudy (penanggung jawab).