Malu atau tidak malu, kedua-duanya merupakan bagian dari kepekaan dan kehalusan rasa. Orang yang tidak memiliki rasa malu secara umum dianggap sebagai pribadi yang rendah derajat dan martabatnya. Seperti misalnya, orang tidak merasa malu untuk melakukan perbuatan yang aib dan tercela bahkan jahat. Sudah menjadi pemandangan dan tontonan yang biasa ketika seorang pejabat dan petinggi negeri digelandang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengenakan baju rompi bewarna orange, alih-alih merasa malu malah tersenyum dan tertawa bangga. Oleh karena itulah kemudian Nabi Muhammad saw bersabda bahwa malu itu bagian dari iman.
Dalam sebuah Hadist diriwayatkan seorang gembong penjahat yang hampir semua tindak kejahatan seperti merampok, membunuh, berjudi dan mabok dilakukan, ingin bertemu dengan Nabi saw karena ia mendengar kabar tentang kemuliaan akhlak beliau. Setelah dari jauh-jauh ia berhasil menemui Nabi saw, ia menyatakan keinginannya untuk mengikuti ajaran beliau (masuk Islam). Untuk itu ia bertanya kepada beliau, tentang apa syaratnya untuk masuk Islam. Nabi saw menjawab singkat: “Jujur”. Maksudnya, orang tersebut disuruh untuk berlaku jujur. Seperti tidak percaya dengan apa yang ia dengar, ia pun kembali bertanya kepada beliau: “Semudah itukah, wahai Nabi?!”. “Iya”, jawab beliau singkat. Maka pulanglah orang tersebut dengan hati berbunga-bunga, penuh harap: “Mudah benar masuk Islam..!”. demikian katanya dalam hati. Dikisahkan, setelah menjelang tengah malam ia bersip-siap pergi keluar rumah dengan tujuan hendak merampok. Namun baru berapa belas meter ia melangkah dari pintu rumah, ia teringat nasihat dan pesan Nabi saw agar berlaku jujur. Sontak ia merenung seraya berpikir, kalau nanti bertemu orang di jalan dan ditanya mau kemana lalu ia berkata jujur mau merampok jelas tidak mungkin. Sementara ia berjanji dalam hati sendiri untuk bersikap jujur mengikuti nasihat Nabi saw. Seketika itu hatinya menjadi gamang, dan ia pun memilih dan memutuskan untuk kembali ke rumah, dan mengurungkan niatnya untuk merampok. Di malam lain ia berkemas hendak pergi keluar rumah dengan rencana untuk berjudi dan berzina. Kejadian sama berulang, baru beberapa meter melangkahkan kaki, ia teringat pesan dan nasihat Nabi saw, lagi-lagi ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan. Demikianlah, singkat cerita selang beberapa lama kemudian tanpa terasa dan tanpa disadari ia telah menjadi seorang muslim yang sejati. Dari uraian dan dua ilustrasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan iman adalah (rasa) malu, sedangkan landasan Islam adalah (sikap) jujur.
Sebagaimana dikatakan pada awal tulisan, malu dan tidak malu, kedua-duanya merupakan bagian dari kepekaan dan kehalusan rasa. Tidak malu untuk melakukan kebajikan justru menunjukkan ketinggian martabat dan derajat. Ayat berikut merupakan contoh bahwa Tuhan tidak malu untuk melakukan sesuatu.
Dalam sebuah Hadist diriwayatkan seorang gembong penjahat yang hampir semua tindak kejahatan seperti merampok, membunuh, berjudi dan mabok dilakukan, ingin bertemu dengan Nabi saw karena ia mendengar kabar tentang kemuliaan akhlak beliau. Setelah dari jauh-jauh ia berhasil menemui Nabi saw, ia menyatakan keinginannya untuk mengikuti ajaran beliau (masuk Islam). Untuk itu ia bertanya kepada beliau, tentang apa syaratnya untuk masuk Islam. Nabi saw menjawab singkat: “Jujur”. Maksudnya, orang tersebut disuruh untuk berlaku jujur. Seperti tidak percaya dengan apa yang ia dengar, ia pun kembali bertanya kepada beliau: “Semudah itukah, wahai Nabi?!”. “Iya”, jawab beliau singkat. Maka pulanglah orang tersebut dengan hati berbunga-bunga, penuh harap: “Mudah benar masuk Islam..!”. demikian katanya dalam hati. Dikisahkan, setelah menjelang tengah malam ia bersip-siap pergi keluar rumah dengan tujuan hendak merampok. Namun baru berapa belas meter ia melangkah dari pintu rumah, ia teringat nasihat dan pesan Nabi saw agar berlaku jujur. Sontak ia merenung seraya berpikir, kalau nanti bertemu orang di jalan dan ditanya mau kemana lalu ia berkata jujur mau merampok jelas tidak mungkin. Sementara ia berjanji dalam hati sendiri untuk bersikap jujur mengikuti nasihat Nabi saw. Seketika itu hatinya menjadi gamang, dan ia pun memilih dan memutuskan untuk kembali ke rumah, dan mengurungkan niatnya untuk merampok. Di malam lain ia berkemas hendak pergi keluar rumah dengan rencana untuk berjudi dan berzina. Kejadian sama berulang, baru beberapa meter melangkahkan kaki, ia teringat pesan dan nasihat Nabi saw, lagi-lagi ia akhirnya mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan. Demikianlah, singkat cerita selang beberapa lama kemudian tanpa terasa dan tanpa disadari ia telah menjadi seorang muslim yang sejati. Dari uraian dan dua ilustrasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa landasan iman adalah (rasa) malu, sedangkan landasan Islam adalah (sikap) jujur.
Sebagaimana dikatakan pada awal tulisan, malu dan tidak malu, kedua-duanya merupakan bagian dari kepekaan dan kehalusan rasa. Tidak malu untuk melakukan kebajikan justru menunjukkan ketinggian martabat dan derajat. Ayat berikut merupakan contoh bahwa Tuhan tidak malu untuk melakukan sesuatu.
إِنَّ اللَّـهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْوَوَأَمَّاالَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّـهُ بِهَـٰذَا مَثَلً يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًاوَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.
Al-Baqarah 26
Berkaitan dengan rasa malu, berikut penuturan seorang diaspora.
Sebagai orang Indonesia, saya cukup akrab dan kerap mendengar penilaian dan anggapan sebagai bangsa yang ramah dan murah senyum. Demikian terutama persepsi asing terhadap bangsa Indonesia selama itu dan tanpa disadari seakan menjadi sebuah kebenaran. Sementara sejak kecil telah tertanam pula anggapan bahwa bangsa bule atau ‘orang barat’ adalah manusia pemuja kebebasan, individualisme, dingin dan 'cuwek', dan sederet stereotipe yang bertolak-belakang dengan kehangatan 'budaya timur'. Namun, berbagai fakta yang terjadi dan tersaji sehari-hari saat bermukim di Amerika, telah mengusik hati kecil saya dan memunculkan berbagai pertanyaan, masih relevankah persepsi-persepsi tersebut? Benarkan sederetan enilaian, persepsi dan stereotipe tersebut? Saya yakin, saya tidak seorang diri yang memiliki pemikiran dan mempertanyakan hal tersebut. Semua bermula dan bertolak dari rangkaian kejadian sehari-hari.
Kutahan Pintu Untukmu
Di Amerika, kebanyakan pintu tidak memiliki kenop, tetapi hanya pegangan, sehingga harus didorong atau ditarik dengan tenaga ekstra karena cukup berat. Setiap kali memasuki gedung, ketika orang Amerika yang terlebih dahulu masuk, biasanya mereka menahan pintu tetap terbuka agar orang lain di belakangnya, termasuk saya, bisa turut masuk.
Kejadian pintu ditahan terbuka ini, awalnya saya kira hanya kebetulan, tetapi ketika terjadi setiap hari di berbagai tempat dengan orang yang berbeda, saya tertegun dan malu sendiri karena tidak pernah melakukannya untuk orang lain.
Saya merasa sangat egois, karena seumur hidup jarang sekali hal ini dilakukan. Kalau masuk ruangan, ya masuk saja, buka pintu untuk diri sendiri. Meskipun awalnya agak canggung, tetapi untuk menghapus rasa malu tak ada cara lain kecuali saya putuskan untuk melakukan hal yang sama pada orang lain.Eskalator “Kiri-Kanan”
Keteraturan adalah salah satu bentuk saling menghargai. Hal tersebut juga terlihat saat mereka menggunakan eskalator. Di stasiun Metro, setiap badan eskalator seakan memiliki batasan semu, bagian kiri dan kanan. Sisi kanan untuk pengguna yang tidak terburu-buru dan sisi kiri bagi yang bergegas sehingga bisa terus bergerak. Alhasil, siapapun yang terburu-buru tidak kesal jika orang di depannya seakan tidak bergerak. Demikian pula bagi orang yang ingin berjalan santai tidak merasa terganggu oleh orang di belakangnya yang hendak memotong jalan. Mungkin terlihat sederhana, tetapi dari hal-hal kecil inilah keteraturan hidup sebuah masyarakat berawal dan dimulai.
Bising “Terima Kasih”
Ucapan terima kasih terdengar di mana-mana. Misalnya ketika turun bus, penumpang mengantri turun, lalu satu persatu menggaungkan terima kasih kepada sang sopir layaknya sebuah ritual. Hal-hal demikian sepertinya mustahil terjadi di Indonesia: bus langsung tancap gas, bahkan sebelum penumpang yang hendak turun sempat menginjakkan kaki di jalan.
Budaya Antri
Budaya mengantri sendiri sudah mendarah daging, termasuk untuk hal remeh-temeh seperti antri berfoto di tempat wisata. Perilaku tersebut mereka lakukan atas inisiatif sendiri, tanpa ada petugas yang mengatur atau penjagaan. Saya sempat mengurut dada karena nyaris kehabisan kesabaran ketika harus mengantri hampir setengah jam hanya untuk berfoto di lambang Las Vegas. Sempat terlintas dalam benak saya bahwa keadaan ini sudah keterlaluan. Namun jika semua orang berpikir seperti saya dan memutuskanuntuk berfoto di sudut mana pun yang kita suka, kekacauanlah yang akan terjadi. Oleh karenanya kemudian saya seperti tersadar, pantaslah jika di negeri Paman Sam itu jarang terdengar kabar dan terjadi orang pingsan bahkan mati terinjak-injak karena mengantri.
Sapaan Semu?
Kehangatan juga menembus dimensi kata-kata. Telah menjadi kebiasaan di Amerika untuk bertegur sapa, bertanya kabar ketika berpapasan, “How are you?” “I’m good, thanks?” bahkan dengan orang tak dikenal sekalipun. Saya sempat berpikir negatif, menuding ada kemunafikan di tengah kebiasaan ini. Semuram apapun kondisi hati seseorang, mereka cenderung menjawab “baik-baik saja”. Ini sikap yang tidak jujur, apa gunanya? Namun, lama-lama, ketika melaksanakan sendiri sapaan tersebut setiap hari, saya mulai mengerti bahwa budaya yang sangat sederhana ini memiliki makna filosofi yang dalam: betapa setiap orang selalu peduli dan siap menjadi pendengar cerita dan keluhan orang lain, termasuk yang tidak dikenalnya.Selain itu, yang mungkin sudah sering kita dengar, setiap perpisahan berujung saling mengucap “Have a good day!” dan “You, too.” Jika direnungkan, mungkin maksudnya sama tetapi dengan kalimat dan cara yang berbeda dengan ucapan salam Assalamualaikum-Wa’alaikum salam.
Silakan Lewat
Budaya Antri
Budaya mengantri sendiri sudah mendarah daging, termasuk untuk hal remeh-temeh seperti antri berfoto di tempat wisata. Perilaku tersebut mereka lakukan atas inisiatif sendiri, tanpa ada petugas yang mengatur atau penjagaan. Saya sempat mengurut dada karena nyaris kehabisan kesabaran ketika harus mengantri hampir setengah jam hanya untuk berfoto di lambang Las Vegas. Sempat terlintas dalam benak saya bahwa keadaan ini sudah keterlaluan. Namun jika semua orang berpikir seperti saya dan memutuskanuntuk berfoto di sudut mana pun yang kita suka, kekacauanlah yang akan terjadi. Oleh karenanya kemudian saya seperti tersadar, pantaslah jika di negeri Paman Sam itu jarang terdengar kabar dan terjadi orang pingsan bahkan mati terinjak-injak karena mengantri.
Sapaan Semu?
Kehangatan juga menembus dimensi kata-kata. Telah menjadi kebiasaan di Amerika untuk bertegur sapa, bertanya kabar ketika berpapasan, “How are you?” “I’m good, thanks?” bahkan dengan orang tak dikenal sekalipun. Saya sempat berpikir negatif, menuding ada kemunafikan di tengah kebiasaan ini. Semuram apapun kondisi hati seseorang, mereka cenderung menjawab “baik-baik saja”. Ini sikap yang tidak jujur, apa gunanya? Namun, lama-lama, ketika melaksanakan sendiri sapaan tersebut setiap hari, saya mulai mengerti bahwa budaya yang sangat sederhana ini memiliki makna filosofi yang dalam: betapa setiap orang selalu peduli dan siap menjadi pendengar cerita dan keluhan orang lain, termasuk yang tidak dikenalnya.Selain itu, yang mungkin sudah sering kita dengar, setiap perpisahan berujung saling mengucap “Have a good day!” dan “You, too.” Jika direnungkan, mungkin maksudnya sama tetapi dengan kalimat dan cara yang berbeda dengan ucapan salam Assalamualaikum-Wa’alaikum salam.
Di mana lagi tempat di bumi ini, mobil berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki menyeberang di hadapannya terlebih dahulu? Saya sangat akrab dengan jalanan Ibukota yang kadang terasa sangat brutal. Nyawa seakan menjadi barang murah dan acapkali dipertaruhkan di setiap langkah. Pengemudi mobil dan motor menjadi raja jalanan. Pejalan kaki termajinalkan. Di Amerika, pejalan kaki bagai makhluk mulia. Seringkali ketika hendak menyeberang, saya berhenti karena ada mobil yang akan lewat. Tetapi yang terjadi kemudian sebaliknya di luar perkiraan, malah mobilnya yang berhenti dan mempersilahkan saya menyeberang.Betapa orang menghargai satu sama lain, bahkan bisa dilihat saat menggunakan lift. Siapapun yang masuk lebih dulu, dipersilahkan keluar terlebih dahulu jika lantai tujuan sama, meskipun orangnya berdiri jauh dari pintu lift.
Manusia Setengah Dewa
Yang paling menyentuh adalah bagaimana Amerika memperlakukan orang-orang berkebutuhan khusus selayaknya manusia, yang berhak merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan. Di lapangan parkir, lampu rambu-rambu lalu lintas, toilet, jalan masuk ke gedung, kendaraan umum, bahkan bioskop, memiliki tempat bagi orang berkebutuhan khusus. Ini bukan untuk mengistimewakan, tapi agar mereka bisa menjadi manusia seutuhnya, memperoleh haknya terlepas dari apapun kekurangan mereka.Saya semakin terkesima dan tertegun ketika tahu perhatian ini merambah dunia pekerjaan. Ketika membeli tiket film di bioskop, tidak jarang saya dilayani oleh seorang tuna-rungu atau petugas yang duduk di kursi roda.
Quo Vadis Bangsaku Tercinta?
Apa yang saya lihat sedikit banyak memberikan jawaban, mengapa tidak sedikit orang Indonesia yang pernah tinggal atau mengenyam pendidikan di luar negeri, tidak ingin kembali ke tanah air. Selain karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang lebih luas dan layak di luar negeri, kenyamanan dan rasa dihargai sebagai individu, tidak melihat warna kulit, agama dan asal negara, tidak dapat dipungkiri ikut menjadi alasannya. Saya sempat berpikir, apakah sebutan dunia luar terhadap kita sebagai bangsa yang ramah, masih relevan? Apakah kita dinilai sebagai bangsa yang berbudaya timur oleh orang asing, sementara alih-alih ramah bahkan lupa dan tak peduli terhadap bangsa sendiri?Saya masih ingat, jika ada turis asing datang ke kampung, saya dan anak-anak kecil lainnya berlari untuk bisa menyapa mereka dengan bahasa Inggris, “Good morning, Sir!” minta bersalaman. Turis-turis pun diberikan pelayanan ekstra dengan senyum sumringah. Mereka diperlakukan selayaknya, bahkan seakan dimuliakan. Mungkin dari sinilah mereka menilai kita sebagai orang-orang yang hangat.
Ironis, keramahan yang sama kerap terlupakan untuk orang dekat sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru konon terkenal dengan berbagai aturan adat, norma kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat dan menopang berbagai sendi kehidupan. Jika bangsa Indonesia sejak berabad lalu dikenal dengan budaya "adiluhung", mungkin karena dorongan dan pengaruh ajaran agama Hindu-Budha, semestinya budaya dan akhlak itu lebih maju ketika agama Islam masuk ke wilayah Nusantara. Karena seperti diketahui, inti ajaran Islam sesungguhnya adalah memuliakan akhlak manusia.Memang tidak adil membanding-bandingkan dua kebudayaan yang telah terbangun berabad-abad dengan karakter dan keunikannya masing-masing. Tambah tidak adil lagi membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang telah lama diamini dunia sebagai negara maju dari berbagai bidang.Namun, saya yakin tetap ada celah untuk mengkritisi dan memperbaiki persepsi tentang “budaya barat” dan “budaya timur”. Keramahan rupanya bukanlah soal timur dan atau barat, soal ras dan warna kulit, bahkan agama. Namun, keramahan adalah wujud penghargaan manusia terhadap manusia lainnya, yang tak pandang buluh dan asal usul (konon falsafah dan spirit tersebut tertuang dan terpampang dalam ritual ibajah haji). Keramahan, yang saya rasakan janggal ketika menyebut Indonesia sebagai representasi budaya “timur”, karena praktik budaya dan peradaban “timur” itu ternyata berada nun di jauh di negeri Paman Sam.
Sumber: Rafki Hidayat
Email : rhidayat@voanews.com
Manusia Setengah Dewa
Yang paling menyentuh adalah bagaimana Amerika memperlakukan orang-orang berkebutuhan khusus selayaknya manusia, yang berhak merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan. Di lapangan parkir, lampu rambu-rambu lalu lintas, toilet, jalan masuk ke gedung, kendaraan umum, bahkan bioskop, memiliki tempat bagi orang berkebutuhan khusus. Ini bukan untuk mengistimewakan, tapi agar mereka bisa menjadi manusia seutuhnya, memperoleh haknya terlepas dari apapun kekurangan mereka.Saya semakin terkesima dan tertegun ketika tahu perhatian ini merambah dunia pekerjaan. Ketika membeli tiket film di bioskop, tidak jarang saya dilayani oleh seorang tuna-rungu atau petugas yang duduk di kursi roda.
Quo Vadis Bangsaku Tercinta?
Apa yang saya lihat sedikit banyak memberikan jawaban, mengapa tidak sedikit orang Indonesia yang pernah tinggal atau mengenyam pendidikan di luar negeri, tidak ingin kembali ke tanah air. Selain karena ketersediaan lapangan pekerjaan yang lebih luas dan layak di luar negeri, kenyamanan dan rasa dihargai sebagai individu, tidak melihat warna kulit, agama dan asal negara, tidak dapat dipungkiri ikut menjadi alasannya. Saya sempat berpikir, apakah sebutan dunia luar terhadap kita sebagai bangsa yang ramah, masih relevan? Apakah kita dinilai sebagai bangsa yang berbudaya timur oleh orang asing, sementara alih-alih ramah bahkan lupa dan tak peduli terhadap bangsa sendiri?Saya masih ingat, jika ada turis asing datang ke kampung, saya dan anak-anak kecil lainnya berlari untuk bisa menyapa mereka dengan bahasa Inggris, “Good morning, Sir!” minta bersalaman. Turis-turis pun diberikan pelayanan ekstra dengan senyum sumringah. Mereka diperlakukan selayaknya, bahkan seakan dimuliakan. Mungkin dari sinilah mereka menilai kita sebagai orang-orang yang hangat.
Ironis, keramahan yang sama kerap terlupakan untuk orang dekat sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru konon terkenal dengan berbagai aturan adat, norma kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat dan menopang berbagai sendi kehidupan. Jika bangsa Indonesia sejak berabad lalu dikenal dengan budaya "adiluhung", mungkin karena dorongan dan pengaruh ajaran agama Hindu-Budha, semestinya budaya dan akhlak itu lebih maju ketika agama Islam masuk ke wilayah Nusantara. Karena seperti diketahui, inti ajaran Islam sesungguhnya adalah memuliakan akhlak manusia.Memang tidak adil membanding-bandingkan dua kebudayaan yang telah terbangun berabad-abad dengan karakter dan keunikannya masing-masing. Tambah tidak adil lagi membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang telah lama diamini dunia sebagai negara maju dari berbagai bidang.Namun, saya yakin tetap ada celah untuk mengkritisi dan memperbaiki persepsi tentang “budaya barat” dan “budaya timur”. Keramahan rupanya bukanlah soal timur dan atau barat, soal ras dan warna kulit, bahkan agama. Namun, keramahan adalah wujud penghargaan manusia terhadap manusia lainnya, yang tak pandang buluh dan asal usul (konon falsafah dan spirit tersebut tertuang dan terpampang dalam ritual ibajah haji). Keramahan, yang saya rasakan janggal ketika menyebut Indonesia sebagai representasi budaya “timur”, karena praktik budaya dan peradaban “timur” itu ternyata berada nun di jauh di negeri Paman Sam.
Sumber: Rafki Hidayat
Email : rhidayat@voanews.com