Terhitung sejak diselenggarakannya Pilpres 2014 yang menghadirkan dua calon presiden dengan tingkat persaingan yang sangat keras antara Jokowi dan Prabowo Subianto, issu di kalangan muslim tradisionil tentang hukum mengadakan peringatan hari lahir dan upacara pembacaan kisah nabi terasa (kembali) menguat. Di berbagai forum keagamaan, baik pada khutbah salat jumat maupun
ceramah dan tausiah di berbagai 'event' kemasyarakatan bahkan acara keluarga, acapkali digunakan oleh para kiai dan ustadz untuk mengingatkan dan menekankan kembali bahwa mengadakan dan menyelenggarakan acara peringatan maulid nabi itu bukan bid'ah yang selama ini dianggap sesat --tanpa penjelasan pihak mana yang menuduh, tetapi orang memaklumi bahwa yang dimaksud tak ada lain kecuali MD -- dan oleh karena itu hukumnya tentu saja dikategorikan haram. Peringatan dan penekanan yang berulang-ulang dilakukan tersebut bukanlah tiba-tiba muncul jika tanpa sebab. Kata peribahasa, tak ada asap kalau tak ada api. sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di Indonesia oraganisasi keagamaan Islam yang besar hanya ada dua, yakni Muhammadiyah (MD) yang didirikan lebih awal baru kemudian menyusul Nahdhatul Ulama (NU) yang sesungguhnya merupakan buntut dan bentuk reaksi karena perbedaan aliran dan pemahaman dalam keagamaan. Jika sedikit merunut sejarahnya, MD berawal dan didirikan dengan basis pengikut di kalangan masyarakat perkotaan yang dapat digolongkan sebagai kaum terdidik atau terpelajar. Sedangkan NU dengan basis pengikut dari kalangan masyarakat perdesaan dan digolongkan sebagai kaum tradisionil yang jumlahnya jauh berlipat lebih besar dibandingkan dengan MD.
Sebagaimana diketahui bahwa sejak awal berdirinya misi utama MD dengan mengadopsi gerakan Wahabi di Saudi Arabia saat itu adalah mengikis dan memberantas kemusyrikan dalam praktik keagamaan dalam bentuk sinkretisme di sebagian (besar) umat muslim yang masih belum dapat meninggalkan tradisi lama akibat pengaruh kuat ajaran Hindu-Budha yang telah dianut secara turun temurun dalam waktu lama, khususnya dalam berbagai upacara keluarga yang dikemas secara Islami seperti "tahlilan" dan termasuk di dalamnya adalah "pembacaan riwayat nabi (rowi)". Perbedaan paham dan persaingan bahkan menjurus pada friksi di antara kedua ormas keagamaan tersebut, baik di tingkat pimpinan maupun atau apalagi di tingkat akar rumput, sempat meruncing pada dekade 1950-an karena keduanya tak dapat terhindar dan terseret atau melibatkan diri ke dunia politik. Sebagai catatan dan gambaran situasi persaingan itu tercermin misalnya, hingga hari ini kedudukan dan jabatan menteri agama belum pernah dipegang oleh unsur dan kalangan MD. Dengan semakin majunya tingkat pendidikan sebagai buah dari kegiatan pembangunan di Indonesia, tak terkecuali masyarakat perdesaan yang merupakan basis umat muslim tradisionil, perbedaan paham dan persaingan dalam perebutan pengaruh di tengah masyarakat tersebut tak lagi tampak vulgar di permukaan --atau boleh jadi sengaja ditutup-tutupi dan sejenak dilupakan-- karena alasan kepentingan yang lebih besar, yakni apa yang disebut sebagai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan tidak mempersoalkan beda pemahaman hukum tentang penyelenggaraan acara peringatan maulid nabi seakan-akan terkesan bahwa MD hanya ingin memanfatkan atau 'mendompleng' kekuatan massa yang terhimpun tanpa harus menyelenggarakan sendiri acara maulid nabi sebagai sebuah ritual yang semula ditentangnya sebagai bagian dan bentuk bid'ah yang diharamkan.
Dinamika politik yang terjadi khususnya pasca rezim Orde Baru yang melahirkan era reformasi telah mempengaruhi hubungan kedua ormas terbesar d Indonesia tersebut lagi-lagi kembali mengalami panas dingin mengikuti perubahan situasi dan tuntutan zaman. Khusus mengenai penyelenggaraan upacara peringatan maulid nabi, jika semula dieksplorasi dan dipersoalkan sebagai sebuah perbedaan dalam konteks aliran pemahaman dan akidah terutama dari pihak atau kalangan MD, maka kini secara diam-diam perbedaan pemahaman tersebut tidak lagi mengemuka karena alasan strategi dan kebutuhan politik praktis. Hal itu dilakukan karena belakangan baru disadari bahwa melalui penyelenggaraan acara peringatan maulid nabi, bahkan kemudian berkembang dan muncul gagasan untuk menyelenggarakan acara maulid nabi sepanjang tahun, ternyata dapat digunakan sebagai wahana untuk menghimpun kekuatan massa dan pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan politik. Kesadaran baru semacam itulah yang dapat menjelaskan mengapa tokoh politik Partai Amanat Nasional setingkat Amien Rais bersedia dan mengharapkan dukungan atau bergabung dengan ormas Front Pembela Islam (FPI) utamanya pemimpin tertingginya Habib Riziek Shihab yang kontroversial, yang belakangan juga telah menimbulkan friksi dan koreksi dalam waktu bersamaan di dalam tubuh ormas MD dan partai PAN sendiri. Sementara di tingkat keumatan ('akar rumput'), acara peringatan maulid nabi