Sebuah ungkapan bermakna dalam dari falsafah budaya Jawa yang telah lama tak terdengar bahkan hampir dilupakan orang berbunyi ‘Menang Tanpo Ngasorake’ (menang tanpa merendahkan atau mengejek, apalagi menghina pihak yang kalah) kini tiba-tiba muncul kembali dan
seakan menjadi suara dan seruan gaib dari alam lain yang menyeruak di tengah hiruk pikuk suhu politik yang masih juga memanas di segenap penjuru tanah air. Disebut gaib karena hampir dapat dipastikan rakyat Indonesia pada umumnya apalagi generasi milenial alih-alih mengerti serta memahami makna dan maksud dari ungkapan tersebut, justru belum pernah mendengar ungkapan tersebut. Semua itu gegara diselenggarakannya ritual demokrasi lima tahunan pemilihan presiden 2019 yang secara kebetulan terkonsolidasi menjadi hanya dua pasang calon presiden, yakni pasangan nomor urut 01 Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Satu hal istimewa yang membedakan dengan Pilpres sebelumnya adalah kali ini kedua pasang kandidat bertemu dan berhadapan secara ‘head to head’ untuk kali kedua bak di arena ‘adu ayam jago’, sehingga pertarungannya menguras emosi banyak orang karena seolah-olah sebuah pertarungan 'antara hidup atau mati" dua musuh bebuyutan , dimana secara kebetulan kedua ‘ayam jago’ tersebut mendapat dukungan suara dengan jumlah kekuatan yang hampir seimbang.
Persaingan itu sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat naluriah dan alamiah. Sebagaimana dimaksudkan menurut teori ‘Survival of the fittest’ –di samping teori ‘Evolusi’-- dari anthropolog tersohor Charles Darwin yang berlaku dan berlangsung sejak bumi ini berpenghuni dibuktikan melalui penelitian dan temuan arkeologi tentang musnahnya binatang-binatang purba seperti mastodon, gajah mamood dan dinosaurus yang tidak mampu survive (bertahan) terhadap lingkungan alam. Di dalam perkembangannya, persaingan tersebut berlangsung bukan hanya terhadap kondisi alam, tetapi terjadi antara sesama penghuni bumi tak terkecuali di kalangan manusia. Persaingan antar sesama manusia itu kerapkali melibatkan pertaruhan antara hidup dan atau mati, seperti pada bangsa Jerman dan Yahudi pada zaman Nazi berkuasa atau antara Israel dan Palestina sejak puluhan tahun yang lalu hingga hari ini. Kendati demikian, dalam tata pergaulan manusia yang beradab persaingan itu bermacam-macam dengan karakteristiknya masing-masing, seperti misalnya mulai dari persaingan untuk mendapatkan pasangan hidup, persaingan dalam dunia usaha, persaingan dalam dunia olah raga hingga persaingan dalam dunia politik untuk merebut kekuasan dan menjadi pemimpin yang sesungguhnya berlaku juga di beberapa jenis satwa seperti singa, gajah atau kerbau hutan. Di berbagai bidang kehidupan tersebut, kerasnya persaingan yang terjadi berbanding lurus dengan kepentingan dan pertaruhan dari pihak-pihak yang bersaing, Dalam suatu negara seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi, sesungguhnya persaingan itu diatur dengan spirit untuk bersikap ‘siap menang, siap kalah’ atau dengan bahasa lain berjiwa satria, gentlemen dan sportif kurang lebih seperti halnya dalam dunia olah raga. Pertaruhan yang paling kecil seperti dalam dunia olah raga adalah harus siap menanggung perasaan malu bagi pihak yang kalah bersaing. Secara psikologis intensitas rasa malu akan semakin kuat jika persaingannya ‘satu lawan satu’ seperti dalam arena adu jago, karena pusat perhatian penonton fokus tertuju pada satu figur pemeran, sedikit berbeda seperti dalam permainan sepak bola, misalnya. Meskipun demikian dalam kasus pemilihan presiden tak dapat dipungkiri bahwa bagi pihak yang mengalami kekalahan bukan saja hanya rasa malu yang harus ditanggung, tetapi juga menyangkut jumlah sumber daya yang telah dikeluarkan dan ‘dipertaruhkan’. Sedangkan risiko yang paling besar dan berat yang harus diterima adalah pupusnya ambisi ataupun harapan untuk menduduki singgasana kekuasaan. Sehingga jika ditinjau dari perspektif psikoanalisis hal tersebut dapat dimengerti dan dipahami bila kemudian paslon nomor 02 rupanya terpaksa harus menerapkan jurus --dalam dialek Jawa apa yang dikenal dalam arena permainan adu jago sebagai-- ‘jago nglentheng’ ( huruf ‘e’ dieja seperti kata ‘gepeng’). Tipologi jenis ayam jago ‘nglentheng’ dalam arena pertarungan biasanya memang tidak berani berhadapan secara frontal dan lebih kerap mencari-cari alasan (peluang) untuk menghindar (dengan sering melakukan 'clinch' seperti dalam olah raga tinju), karena menyadari kelemahan sendiri dan dalam waktu bersamaan sesungguhnya mengakui keunggulan pihak lawan.
Sebagai sebuah permainan kondisi demikian sesungguhnya kurang menarik. Namun apapun risiko yang harus ditanggung oleh pihak yang kurang beruntung sebagai sebuah permainan dalam sistem demokrasi yang sudah menjadi konsensus nasional, utamanya bagi umat muslim yang teguh dan konsisten seharusnya tetap berpegang dan mengikuti tuntunan Alquran sebagai petunjuk hidup, salah satunya adalah mengenai makna dan hakikat kehidupan dunia yang tak lain sesungguhnya hanyalah merupakan gurauan dan permainan semata. Mengorbankan keselamatan dan keutuhan negara dan bangsa demi memenuhi ambisi pribadi sungguh tidak sejalan dengan peringatan dari ayat tersebut.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Al-An'am 32
Sedangkan bagi pihak yang sedang beruntung diimbau untuk bertenggang rasa sebagai sesama anak bangsa dan bersikap bijak dengan ‘menang tanpo ngasorake’. Falsafah dasar dari ajaran atau ungkapan tersebut mengandung makna yang dalam dan arif, yakni agar tidak mempermalukan atau membuat malu pihak yang kalah ataupun kurang beruntung. Sikap tersebut biasanya disandingkan dengan sikap ‘tepo sliro’ atau empati. Dalam ajaran Islam adab tidak mempermalukan orang di depan umum ditunjukkan oleh Nabi saw. Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi saw melihat seorang sahabat melakukan kesalahan rukun ketika mengambil air wudlu. Mengetahui hal tersebut beliau memanggil sahabat tersebut, lalu berbicara secara empat mata sehingga tidak didengar oleh orang ketiga dengan maksud agar tidak mempermalukannya seraya memberitahukan tentang kesalahan yang telah dilakukannya tadi, Itulah salah satu manifestasi nyata kemuliaan akhlak Nabi saw dalam kehidupan sehari-hari yang layak dan patut diteladani.
seakan menjadi suara dan seruan gaib dari alam lain yang menyeruak di tengah hiruk pikuk suhu politik yang masih juga memanas di segenap penjuru tanah air. Disebut gaib karena hampir dapat dipastikan rakyat Indonesia pada umumnya apalagi generasi milenial alih-alih mengerti serta memahami makna dan maksud dari ungkapan tersebut, justru belum pernah mendengar ungkapan tersebut. Semua itu gegara diselenggarakannya ritual demokrasi lima tahunan pemilihan presiden 2019 yang secara kebetulan terkonsolidasi menjadi hanya dua pasang calon presiden, yakni pasangan nomor urut 01 Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan nomor urut 02 Prabowo-Sandi. Satu hal istimewa yang membedakan dengan Pilpres sebelumnya adalah kali ini kedua pasang kandidat bertemu dan berhadapan secara ‘head to head’ untuk kali kedua bak di arena ‘adu ayam jago’, sehingga pertarungannya menguras emosi banyak orang karena seolah-olah sebuah pertarungan 'antara hidup atau mati" dua musuh bebuyutan , dimana secara kebetulan kedua ‘ayam jago’ tersebut mendapat dukungan suara dengan jumlah kekuatan yang hampir seimbang.
Rasa Malu itu Bagian dari Iman
Persaingan itu sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat naluriah dan alamiah. Sebagaimana dimaksudkan menurut teori ‘Survival of the fittest’ –di samping teori ‘Evolusi’-- dari anthropolog tersohor Charles Darwin yang berlaku dan berlangsung sejak bumi ini berpenghuni dibuktikan melalui penelitian dan temuan arkeologi tentang musnahnya binatang-binatang purba seperti mastodon, gajah mamood dan dinosaurus yang tidak mampu survive (bertahan) terhadap lingkungan alam. Di dalam perkembangannya, persaingan tersebut berlangsung bukan hanya terhadap kondisi alam, tetapi terjadi antara sesama penghuni bumi tak terkecuali di kalangan manusia. Persaingan antar sesama manusia itu kerapkali melibatkan pertaruhan antara hidup dan atau mati, seperti pada bangsa Jerman dan Yahudi pada zaman Nazi berkuasa atau antara Israel dan Palestina sejak puluhan tahun yang lalu hingga hari ini. Kendati demikian, dalam tata pergaulan manusia yang beradab persaingan itu bermacam-macam dengan karakteristiknya masing-masing, seperti misalnya mulai dari persaingan untuk mendapatkan pasangan hidup, persaingan dalam dunia usaha, persaingan dalam dunia olah raga hingga persaingan dalam dunia politik untuk merebut kekuasan dan menjadi pemimpin yang sesungguhnya berlaku juga di beberapa jenis satwa seperti singa, gajah atau kerbau hutan. Di berbagai bidang kehidupan tersebut, kerasnya persaingan yang terjadi berbanding lurus dengan kepentingan dan pertaruhan dari pihak-pihak yang bersaing, Dalam suatu negara seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi, sesungguhnya persaingan itu diatur dengan spirit untuk bersikap ‘siap menang, siap kalah’ atau dengan bahasa lain berjiwa satria, gentlemen dan sportif kurang lebih seperti halnya dalam dunia olah raga. Pertaruhan yang paling kecil seperti dalam dunia olah raga adalah harus siap menanggung perasaan malu bagi pihak yang kalah bersaing. Secara psikologis intensitas rasa malu akan semakin kuat jika persaingannya ‘satu lawan satu’ seperti dalam arena adu jago, karena pusat perhatian penonton fokus tertuju pada satu figur pemeran, sedikit berbeda seperti dalam permainan sepak bola, misalnya. Meskipun demikian dalam kasus pemilihan presiden tak dapat dipungkiri bahwa bagi pihak yang mengalami kekalahan bukan saja hanya rasa malu yang harus ditanggung, tetapi juga menyangkut jumlah sumber daya yang telah dikeluarkan dan ‘dipertaruhkan’. Sedangkan risiko yang paling besar dan berat yang harus diterima adalah pupusnya ambisi ataupun harapan untuk menduduki singgasana kekuasaan. Sehingga jika ditinjau dari perspektif psikoanalisis hal tersebut dapat dimengerti dan dipahami bila kemudian paslon nomor 02 rupanya terpaksa harus menerapkan jurus --dalam dialek Jawa apa yang dikenal dalam arena permainan adu jago sebagai-- ‘jago nglentheng’ ( huruf ‘e’ dieja seperti kata ‘gepeng’). Tipologi jenis ayam jago ‘nglentheng’ dalam arena pertarungan biasanya memang tidak berani berhadapan secara frontal dan lebih kerap mencari-cari alasan (peluang) untuk menghindar (dengan sering melakukan 'clinch' seperti dalam olah raga tinju), karena menyadari kelemahan sendiri dan dalam waktu bersamaan sesungguhnya mengakui keunggulan pihak lawan.
Sebagai sebuah permainan kondisi demikian sesungguhnya kurang menarik. Namun apapun risiko yang harus ditanggung oleh pihak yang kurang beruntung sebagai sebuah permainan dalam sistem demokrasi yang sudah menjadi konsensus nasional, utamanya bagi umat muslim yang teguh dan konsisten seharusnya tetap berpegang dan mengikuti tuntunan Alquran sebagai petunjuk hidup, salah satunya adalah mengenai makna dan hakikat kehidupan dunia yang tak lain sesungguhnya hanyalah merupakan gurauan dan permainan semata. Mengorbankan keselamatan dan keutuhan negara dan bangsa demi memenuhi ambisi pribadi sungguh tidak sejalan dengan peringatan dari ayat tersebut.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?
Al-An'am 32
Ilustrasi
- Tipologi ayam jago aduan 'nglentheng' tersebut diperankan secara karikaturis dan apik dalam panggung Ketoprak Humor oleh sosok pelawak bernama Edi Geyol. Ciri-cirinya, ketika berdiam diri tampak seperti pria berkepribadian lelaki jantan. Tetapi begitu melakukan sedikit saja gerakan, tiba-tiba saja langsung berubah dan tampak gerakannya seperti perempuan yang lemah gemulai.
- Euphoria yang berbalik 180% dengan semangat dan falsafah 'Menang tanpo ngasorake' dipertunjukkan secara ekstrem karikaturis dan artistik dalam episode tayangan iklan produk 'OKE PLAST'. Tampak Si pemeran meluapkan emosi dan melampiaskan kegembiraan atas kemenangannya dengan teriakan super kencang yang nyaris merobekkan pita suaranya (telaknya, Jawa):"...Suwek telakku, pemirsaaa...!!". Begitu kira-kira sebelum akhirnya ia menyadari bahwa telaknya benar-benar robek..!!
Sedangkan bagi pihak yang sedang beruntung diimbau untuk bertenggang rasa sebagai sesama anak bangsa dan bersikap bijak dengan ‘menang tanpo ngasorake’. Falsafah dasar dari ajaran atau ungkapan tersebut mengandung makna yang dalam dan arif, yakni agar tidak mempermalukan atau membuat malu pihak yang kalah ataupun kurang beruntung. Sikap tersebut biasanya disandingkan dengan sikap ‘tepo sliro’ atau empati. Dalam ajaran Islam adab tidak mempermalukan orang di depan umum ditunjukkan oleh Nabi saw. Dalam sebuah hadist diriwayatkan bahwa suatu ketika Nabi saw melihat seorang sahabat melakukan kesalahan rukun ketika mengambil air wudlu. Mengetahui hal tersebut beliau memanggil sahabat tersebut, lalu berbicara secara empat mata sehingga tidak didengar oleh orang ketiga dengan maksud agar tidak mempermalukannya seraya memberitahukan tentang kesalahan yang telah dilakukannya tadi, Itulah salah satu manifestasi nyata kemuliaan akhlak Nabi saw dalam kehidupan sehari-hari yang layak dan patut diteladani.