Seperti halnya persaingan, bersilisih pendapat dalam berbagai bentuknya selain merupakan gejala naluriah dan alamiah sesungguhnya juga merupakan derivasi atau turunan dari gejala persaingan itu sendiri. Perselisihan pendapat (mulai) timbul dan muncul ketika satu pihak mengajukan pikiran dan pendapat tanpa dilandasi dalil atau alasan yang sesuai kaidah penalaran yang sah dan dapat diterima akal sehat sebagaimana dikenal dan diakui dalam ilmu filsafat, atau bahkan tanpa dilandasi alasan sama sekali. Menurut Ibnu Taimiyyah, kebenaran yang dilandasi argumen yang kokoh tidak dapat diingkari kecuali oleh orang yang bodoh ('jahil'). Berkaitan dengan soal berselisih pendapat tersebut sebagian orang merujuk pada sebuah hadist berikut yang memunculkan pertanyaan.
Benarkah di Balik Berselisih Pendapat Terdapat Rahmat?
Hadist berikut kerapkali dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
Perbedaan umatku adalah rahmat
Selain hadist mengenai berselisih pendapat tersebut sebenarnya tidak ada sanad dan matannya, substansinya jelas tidak senafas bahkan justru bertentangan dengan ayat Alquran berikut yang menyebutkan bahwa pada intinya mereka yang senantiasa berselisih pendapat itu tidak mendapat rahmat dari Tuhan kecuali hanya sedikit, yakni mereka yang dapat mengajukan argumen yang kuat.
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ ۚوَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka
Hud 118-119
Jika dianalogikan dengan perspektif hukum (fiqih) yang menyebutkan bahwa muslim yang terlibat perkelaian yang mengakibatkan pembunuhan, maka yang membunuh dan dibunuh sama-sama menjadi ahli neraka, bedanya si pembunuh masih memiliki kesempatan untuk melakukan taubat. Dalam kasus perselisihan pendapat, mereka yang terlibat sama-sama tidak mendapatkan rahmat Tuhan. Bedanya, pihak yang bodoh ('jahil', menurut Ibnu Taimiyyah) akan tergolong manusia yang didiamkan Tuhan di hari perhitungan kelak, karena tidak mau menggunakan nalarnya. Sementara pihak yang mau menggunakan nalar sehatnya diangkat martabatnya beberapa derajat di sisi Tuhan. Dan satu hal yang perlu dicatat dan diingat bahwa pihak yang memulai dan atau mengajak kepada kemungkaran, dalam ini perselisihan, nilai keburukannya sudah barang tentu bertambah atau lebih besar dari perbuatan mungkar itu sendiri. Lebih-lebih jika perselisihan pendapat itu timbul dan dimulai dengan lontaran bernada dan bernuansa kebencian serta fitnah sebagaimana biasa dilakukan kaum Yahudi, seperti contohnya tuduhan berzina kepada Maryam yang merupakan ibu dari nabi Isa as.
وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَىٰ مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا
Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa) dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina),
An-Nisaa 156
Fenomena Trump (Post Truth)
Fenomena taktik dan strategi siraman fitnah dan hate speech yang marak dalam kancah perpolitikan di negeri Indonesia akhir-akhir ini sesungguhnya merupakan buah dari 'berguru' kepada kaum Yahudi, yang berbasis pada perselisihan pendapat.Itulah kira-kira logika, timbangan dan nalar hukumnya, ditinjau dari nilai positif dan negatifnya sebagaimana dimaksudkan dan disebutkan dalam ayat berikut.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ* وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula
Az-Zalzalah 7-8