PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

September 25, 2019

Agama vs Industrialisasi








Dalam sebuah penelitian sosial keagamaan terungkap bahwa ajaran untuk hidup sederhana dan berhemat atau asketisme dari agama Katholik telah melahirkan kapitalisme. Namun di saat yang sama kapitalisme itu pula yang telah memisahkan dan membuat masyarakat benua Eropa
yang beragama Nasrani jauh dari Tuhan mereka, meskipun setiap minggu mereka mendatangi gereja. Mengapa demikian? Karena karakter kapitalisme yang berorientasi profit dan hanya mengejar keuntungan semata telah melahirkan budaya konsumerisme dengan "iming-iming" kemudahan dan kenikmatan hidup dari produk yang diciptakan, yang kemudian menumbuhkan dan mendorong terjadinya industrialisasi. Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok orang yang melakukan konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dengan sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia sebagai pecandu dari suatu produk, sehingga ketagihan dan ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan atau ditinggalkan. Sifat konsumtif yang melekat akan menimbulkan penyakit jiwa yang tanpa disadari telah menjangkit dalam kehidupan manusia. Salah satu sinyal dan ciri gejala penyakit jiwa tersebut adalah membuat manusia hidup dalam lancung dan kepalsuan seakan-akan sebagai sosok pribadi yang sangat sopan, lembut dan berhati-hati namun sesungguhnya abai dengan hidup dan kehidupan orang lain. Kapitalisme dengan karakter industrialisasinya disadari atau tidak disadari telah memisahkan manusia dari Tuhan, karena perdagangan tak akan meraup banyak untung bila manusia masih memperhitungkan Tuhan sebagai pagar atau batasan. Selubung gelap produk industri dengan beraneka mitos di dalamnya yang memang sengaja diciptakan tak akan laku ketika manusia mengenal kebutuhannya yang sejati. Di mana kebutuhan hidup yang paling sejati sesungguhnya dapat diperoleh melalui interaksi antar sesama manusia dalam bungkus serta sentuhan kemesraan dan cinta. Oleh karena itu, industri yang tak pernah berhenti berproduksi itu tak ingin bangkrut dan gulung tikar senantiasa menyusun siasat dan strategi sebelum akhirnya mereka memproduksi barang secara massal, diciptakanlah sebuah iklim konsumsi yang nyaman bagi masyarakat. Itulah yang terjadi dan dialami masyarakat Eropa pada abad yang lalu. Di sana perselisihan pandang antara agama dan industrialisasi sesungguhnya sudah sejak lama terjadi. Para agamawan memandang para industrialis adalah bayi tua yang selalu lapar dan ingin dipuaskan. Sementara para industrialis memandang para agamawan adalah pemegang dan penjaga nilai-nilai lama yang kolot dan ortodoks; mengajak manusia jadi patung penuh sawang dan berdebu di sudut gereja. Dan ketika Eropa sebagai representasi dunia Barat telah dikuras habis, maka pada saat itulah para industrialis melirik dan mengarahkan pandangannya ke Timur.

Pada abad lalu sebahagian masyarakat Timur mengira bahwa masyarakat Barat melirik ke Timur karena kebosanan dan rasa muak mereka pada kehidupan palsu yang dialami dan dalam saat bersamaan mengagumi serta merindukan keagungan falsafah dan kebudayaan Timur. Dan dari pandangan tersebut sempat membuat bangsa-bangsa Timur berbusung dada dan besar kepala. Namun kemudian terbukti pandangan tersebut salah besar! Dalam kenyataan yang menyakitkan bagi orang Timur adalah industrialis barat ingin membuat orang-orang timur jadi gelandangan yang senang berbelanja. Dan hal ini membutuhkan siasat dan upaya sistematis yang memerlukan waktu tidak sebentar. Secara psikologi, sebelum manusia digerakkan untuk melakukan sesuatu, ia harus lebih dulu dibongkar isi kepalanya. Agar menuju ke arah sana, tentu saja dibutuhkan cara dan sarana yang efektif, antara lain dengan tak bosan untuk bertanya terlebih dahulu tentang apa yang mereka pikirkan. Penjajahan yang berlangsung lama telah meninggalkan rasa lelah berkepanjangan, kehilangan orientasi hidup dan kehilangan jati diri pada jiwa bangsa dijajah. Luka paling membekas dari penjajahan yang dialami bangsa-bangsa Timur khususnya penduduk muslim tersebut menjadi modal dasar dan gagasan besar bagi dunia Barat untuk meraih kemenangan dan kesuksesan mega proyek kapitalisme di dunia Timur. Era penjajahan fisik dengan persenjataan sudah lama berlalu. Sejarah mencatat bahwa penjajahan bersenjata hanya merupakan awal dari masuknya penjajahan, sedangkan penjajahan model baru yang oleh Bung Karno disebut sebagai Neo Kolonialisme tidak kalah mengenaskan. Dalam era neokolonialisme, senjata yang ditodongkan di kepala bangsa-bangsa jajahan dalam hal ini bangsa Timur bukan lagi bedil atau meriam, akan tetapi dalam bentuk ideologi untuk mendikte isi kepala bangsa jajahan. Setelah kehilangan identitas, bangsa-bangsa Timur menjadi manusia yang haus untuk mencari figur teladan untuk ditiru. Karena figur Muhammad saw dalam praktuk rupanya kerapkali kurang menarik dan efektif. Mereka tanpa kecuali lebih berminat dan tertarik untuk berbelanja impian dan rela membayar mahal pada label-label yang dirasa mewakili kehidupan mereka. Kontainer-kontainer berisi aneka mimpi dan software yang gagal terinstal di kepala orang-orang Timur menciptakan beraneka "korsleting" menciptakan kekosongan di kepala dan hati orang-orang Timur. Inilah proses dan tahapan "brain washing" atau cuci otak. Kekosongan massal adalah titik nol sebelum seseorang digerakkan menuju sesuatu. Agar jiwa-jiwa yang kosong ini tidak mengorganisir diri dan saling menyembuhkan lewat interaksi sosial yang sehat, saat itulah media sosial muncul dan dibutuhkan. Terlebih bangsa Timur tak dapat hidup tanpa berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja interaksi yang dibuat harus palsu. Media sosial hanya sebuah ilusi optik murahan agar manusia berpikir bahwa mereka telah menjalankan tugas kemanusiaan, yakni melakukan interaksi sosial atau dalam terminologi agama disebut 'silaturahim' yang paling diharapkan media sosial menggerakkan motivasi seseorang. Kerumunan manusia dalam dunia maya itu sulit dan tak mampu membedakan lagi antara "memposting yang penting" dan "yang penting memposting" dalam memanifestasikan dan mengekspesikan dirinya.
Setelah lelah mencari tahu siapa aku, di saat yang sama konsumen media sosial butuh identitas sementara. Identitas itu tentu saja harus berkilau agar kekosongan dalam dirinya tertutupi dan dianggap telah menjadi sesuatu. Untuk menuju ke sana, seseorang harus berbelanja. Memilih diantara sekian banyak kelimpahruahan dan membanjirnys barang produksi hasil industrialisasi untuk ditempelkan dan menjadi label dirinya. Tentu saja karena media sosial terus bertanya: apa yang kita pikirkan dan orang lain (audience) — yang juga mengalami kekosongan yang sama — menunggu kabar dari kita. Inilah puncak dari sebuah kepandiran! Media sosial tak pernah mempersoalkan kesalahan jawaban kita. Ia bertanya apa yang kita pikirkan, tapi kita jarang menjawab pertanyaan media sosial dengan benar.

Kita terus menciptakan kamuflase penutup kekosongan diri dengan terus berperilaku konsumtif, terus berbelanja. Kita tak bosan mengisi sampah visual yang tolol agar dianggap sesuatu. Dan sialnya, audience kita percaya. Mengapa? Karena mereka juga melakukan ketololan yang sama.

Sekalipun dibandingkan dengan ajaran Kristen, dalam ajaran Islam cukup banyak peringatan dan rambu tentang makna dan hakikat kehidupan dunia, namun tak sedikit kalangan umat muslim yang tak mampu membentengi diri dari serangan dan gempuran serta membanjirnya produk hasil industri yang menjanjikan berbagai kemudahan dan kenikmatan duniawi tersebut, sehingga benar-benar membuat jiwa mereka sejatinya terpisah dan jauh dari Tuhan.
Berikut beberapa ayat ajaran Islam tentang makna dan hakikat kehidupan dunia dan hubungannya dengan kehidupan akhirat.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ * حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu * sampai kamu masuk ke dalam kubur

At-Takatsur 1-2

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ * الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ *يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela *yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung *dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya

Al-Humazah 1-3

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?

Al-An'am 32

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّـهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi..

Al-Qasas 77

Perjuangan bung Karno melawan kolonialis hingga neokolonialis ternyata harus mengalami kandas dan terhenti sebagai pesakitan dalam pengasingan di karantina hingga akhir hayatnya. Hal itu tak lain akibat dari permainan tingkat tinggi dari badan intelejen Amerika Serikat CIA yang belakangan terungkap sesungguhnya merupakan penjahat yang terorganisir, sebagaimana diungkapkan oleh dua orang penulis asal Amerika Serikat, Douglas Valentine dalam bukunya berjudul "The CIA as Organized Crime", dan Jeff J. Brown dalam bukunya berjudul "The CIA is Global Capitalism's Secret Gangster Army". Salah satu contoh jejak kejahatan CIA adalah sebagai otak sekaligus terlibat dalam tragedi pembunuhan presiden Amerika serikat, John Foster Kennedy dalam memperebutkan kekayaan sumber daya alam di bumi Papua.

Setelah puluhan tahun Indonesia mencapai kemerdekaan, namun sebagian rakyatnya masih merasa belum dapat mengenyam arti kemerdekaan bahkan merasa dijajah oleh bangsa sendiri, hal itu tak lain dan tak bukan tanpa disadari sesungguhnya merupakan bagian dari permainan dan siasat neoimperialisme dari neokolonialisme tersebut.


Simak Juga:




Posting Komentar