PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Desember 05, 2019

Belajar Dari Imu Perbandingan



Simak dulu ini: Studi banding ala Cak Nun




Membandingkan atau di lingkungan pemerintahan dikenal dengan istilah studi banding antara sesuatu dengan yang lain guna memetik hikmah serta menarik pelajaran dari hasil sebuah perbandingan merupakan ilmu yang sah dan ilmiah. Sebagaimana diketahui bahwa baik di kalangan legislatif maupun eksekutif kegiatan studi banding kerapkali
dilakukan, meskipun belakangan efektivitas dan efesiensi dari kegiatan tersebut seringkali dipertanyakan di tengah masyarakat. Di sekolah agama yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI pada masa lalu "Ilmu Perbandingan Agama" masuk sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulumnya.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali hal-hal atau pengalaman hidup manusia dapat dijadikan bahan diperbandingkan dalam upaya untuk memetik hikmah dan menarik pelajaran sekaligus sebagai bahan evaluasi guna menata kehidupan yang lebih baik di masa depan. Sebagai contoh, dalam kehidupan nyata ada sepasang suami istri keduanya hanya tamatan Sekolah Dasar. Dari sejak muda suaminya bekerja sebagai pemulung. Di hari tuanya ternyata kehidupan mereka dapat dibilang mapan, dapat dilihat dari aset harta yang dimiliki berupa 6 unit rumah, 3 unit mobil dengan nilai masing-masing seharga ratusan juta rupiah, dapat menunaikan ibadah haji, dan anak-anaknya "jadi orang". Dalam pada itu ada orang (lain) lulusan S3 dari sebuah perguruan tinggi cukup ternama, ekonominya "biasa-biasa" saja, sedangkan anak-anaknya tidak ada satupun yang sempat menginjak jenjang pendidikan perguruan tinggi, malah ada yang "kerjanya" tukang kawin..!
Menyaksikan fenomena demikian yang bukan dari satu atau dua kasus dalam artian tidak dapat disebut kasuistis, maka orang lantas dapat berpikir dan mengatakan atau menyimpulkan "kalau mau sukses tidak perlu atau tidak usah sekolah {saja)"..

Cerita Cak Nun dalam video tersebut boleh jadi menarik hanya karena "menang merk" alias namanya yang sudah beken. Karena bahan perbadingan tentang kehidupan berikut bisa jadi lebih menarik dan bermakna untuk disimak.
Kisah berikut bisa dibilang sebuah contoh lain yang telak tentang perbandingan dan paradoksal tersebut. Kesuksesan seorang Ken Arok yang menurunkan raja-raja Jawa dimulai justru dari sebuah ironi. Bagi seorang muslim menyimak fenomena tersebut barangkali akan dipandang dan dikatakan secara singkat serta mudah sebagai sebuah takdir. Sekalipun sesungguhnya diperlukan penjelasan yang panjang. Bermula ia sebagai seorang berandalan penggembala kerbau. Berbekal otaknya yang brilian ia dapat memikat hati seorang perempuan pujaan nan cantik jelita yang notabene adalah istri dari Tunggul Ametung, seorang akuwu, setingkat jabatan wedana zaman kolonial. Singkat cerita, Ken Arok berhasil membunuh sang akuwu seraya bercuci tangan sebagai aksi awal rencana untuk dapat mempersunting istri Tunggul Ametung bernama Ken Dedes. Dari bukti dan catatan sejarah terungkap bahwa ternyata sesungguhnya Ken Dedes memang menaruh hati kepada sang petualang berandal Ken Arok, selain karena faktor fisiknya yang lebih muda usia dan gagah, Ken Dedes sendiri memiliki masalah rasa dendam kepada suaminya, Tunggul Ametung, gegara dahulu telah mengambilnya sebagai istri secara paksa dari orang tuanya.
Sehingga dari kisah tersebut dapat dipetik hikmah dan ditarik pelajaran akan dua faktor utama kesuksesan Ken Arok, sebagai berikut: (1) Ken mampu membaca dan mengambil momentum; (2) Pertemuan antara Ken Arok dan Ken Dedes sebagai suami istri merupakan pasangan yang serasi dan saling mengisi. Ken Arok sebelum menyunting Ken Dedes bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sebaliknya, Ken Dedes sebelum bertemu dan disunting Ken Arok hanyalah menjadi istri seorang akuwu yang kecewa dan tak berbahagia karena memendam rasa dendam.

Simak Juga:




Posting Komentar