PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

April 19, 2020

Dari Perang Peradaban ke Perang Kepercayaan













Di penghujung abad 20 lalu Alfin Toffler, seorang futuris alumni Harvard University berpendapat bahwa sejarah perkembangan umat manusia terbagi dalam tiga “langkah besar” atau gelombang, yang dikenal sebagai “Wave Theory”. Gelombang pertama dimulai 10.000 tahun lalu, yaitu sebuah fase tatkala manusia hidup secara nomaden dengan berburu lalu beralih hidup berkelompok dan lebih lama menetap di suatu tempat dengan bercocok tanam atau bertani (agriculture). Sejak saat itulah budaya mulai tumbuh dan berkembang. Menyusul kemudian gelombang kedua bersamaan dengan ditemukannya mesin uap pada abad ke-18 pasca Perang Sipil di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai Revolusi Industri. Orang mulai meninggalkan profesi pertanian dan berduyun untuk bekerja di pabrik-pabrik di perkotaan. Inilah sebuah awal kebangkitan industri, dan memuncak pada saat meletus Perang Dunia II. Jika kedua gelombang tersebut lebih bertumpu atau mengandalkan pada “otot”, maka gelombang berikutnya lebih mendasarkan pada “otak”. Memasuki gelombang ketiga sebagaimana kita saksikan dan alami hingga hari ini, atau yang sering disebut sebagai Abad Teknologi Informasi (Information Technology), dunia mengalami lompatan fantastis dan spektakuler, kemajuan pesat tak terbayangkan pada beberapa dekade sebelumnya yang dianggap sudah mengalami perkembangan signifikan. Salah satu cirinya yang paling dominan menurut futuris itu adalah masyarakat dengan budaya materilistis-individualistis. Tuntutan kebebasan dan penegakan demokrasi di seluruh dunia semakin menguat.
Di Indonesia, lebih spesifik di tanah Jawa sebagai pulau paling banyak populasi penduduknya, perkembangan budaya dan peradaban juga bisa ditinjau melalui pendekatan “Wave Theory”. Gelombang pertama dimulai ketika berabad-abad sebelumnya masyarakat hidup dalam sistem kepercayaan animisme dan dinamisme disusul masuk dan berkembangnya agama Hindu (+Budha) di bumi Nusantara. Ajaran Hindu yang paling menonjol adalah pengakuan dan penerapan sistem kasta dalam masyarakat, di samping konsep budaya “adiluhung” yang sering diidentikkan dengan kehidupan keraton dengan budaya feodalismenya. Sebagian masyarakat Indonesia mungkin masih ingat salah satu ajaran kepemimpinan warisan budaya lama, yaitu “Hasta Brata” yang sempat dipopulerkan dan dijadikan pedoman kepemimpinan semasa pemerintahan Presiden RI ke-2 Soeharto. Sebuah ajaran yang mulia dan luhur, namun dalam praktiknya belum tentu seindah seperti yang digambarkan dalam konsep. Gelombang kedua terjadi dengan masuknya agama Islam ke bumi Nusantara. Ajaran pokok dari agama ini adalah kesamaan derajat di antara sesama manusia (di sisi Tuhan), sedangkan yang membedakan hanyalah perilakunya (ketakwaanya kepada Tuhan). Sebagaimana tercatat dalam sejarah, ajaran dan spirit inilah yang menjadi sumber energi dan motor penggerak utama bangsa Indonesia sehingga dapat mentas dari cengkeraman penjajah. Seiring dengan hadirnya gelombang ketiga di level dunia menurut teori Alfin Toffler, masyarakat Indonesia nampaknya telah terlalu jauh hanyut dan tenggelam dalam pengaruh materialisme dan individualisme. Kebebasan individu kerap dimaknai sebagai egoisme dan keserakahan tanpa batas. Pada tataran ini, kesediaan berkorban (tidak sama tetapi sebangun dengan kurban hewan seperti pada Hari Raya Iedul Adha) atau patriotisme menjadi satu barang langka dan mewah. Ditambah dengan budaya instan dan pragmatisme, maka lengkaplah sudah Indonesia menjadi lahan bagi tumbuh suburnya tindak pidana korupsi dan peredaran narkoba, yang tentu saja membuat kepentingan asing semakin bersorak sorai.

Di saat-saat akhir pemerintahan presiden RI ke-2 Soeharto, sebagai seorang mantan prajurit tempur ia sempat menyebut krisis moneter (ekonomi) yang dihadapi pemerintahannya saat itu sebagai “musuh tidak kelihatan”, menurutnya lebih sulit untuk dilawan dan ditaklukkan, dibandingkan dengan melawan sesama tentara di medan perang militer. Indonesia saat ini selain menghadapi medan “perang ekonomi”, tak kalah pentingnya adalah gempuran “peradaban gelombang ketiga”, yang bukan saja tidak tampak, tetapi sangat membius bagaikan agama baru (pseudo-agama). Kalau mengikuti hukum “ekuilibrium”, atau teori “tesis, antitesis, dan sintesis”, maka akan ada saatnya datang (calon) pemimpin yang mau dan mampu merenung (kontemplasi) dan mawas diri tentang di mana peta keadaan dan posisi negeri tercinta saat ini berada, agar kemudian dapat memilih jalan dan strategi diagnostik untuk memenangkan pertarungan di era “perang peradaban” ini. Sebab bila tidak, berapa banyak sudah negara-negara besar terdahulu semisal kerajaan nabi Sulaiman atau Babilonia, Firaun di Mesir, dan kekaisaran Romawi, termasuk Majapahit musnah dan terhapus dari peta bumi karena ulah penduduknya sendiri. Draft artikel ini ditulis pada masa awal era reformasi lalu. Indonesia bahkan dunia sekarang sedang dihadapkan pada dua ujian berat dan tantangan besar sekaligus yang belum pernah terjadi dan dialami sepanjang sejarah manusia. Periode ini bisa disebut sebagai gelombang keempat, yakni “virus” kepercayaan yang telah mengobarkan “perang kosmik” --penulis sendiri menyebut "perang kepercayaan (iman) "--disusul dengan serangan telak berjangkitnya wabah pandemi covid-19 yang melanda hampir seluruh dunia.





Menurut Reza Aslan dalam bukunya tersebut, perang kosmik adalah sebuah pertempuran mengerikan yang abadi, tidak akan menghasilkan kalah atau menang, melainkan hanya kehancuran bumi. Karena perang kosmik terjadi bukan untuk penguasaan atau perebutan atas tanah atau politik tetapi untuk dan atas nama identitas. Lebih lanjut dikatakan bahwa yang dipertaruhkan dalam perang kosmik adalah perasaan diri seseorang dalam suatu dunia abstrak tak menentu. Dalam peperangan seperti itu, kehilangan berarti kehilangan iman, dan itu artinya sesuatu hal yang tidak terpikirkan. Tidak ada kompromi dalam perang kosmik. Tidak ada negosiasi, tidak ada penyelesaian, tidak ada istilah atau kata menyerah.
Ketimpangan dan ketidakadilan yang membelenggu dunia pasca Perang Dunia II dan selama berlangsungnya perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat pada abad lalu mendorong Bung Karno untuk membentuk wadah baru yang disebut The New Emerging Forces, terdiri dari negara-negara berkembang yang notabene bekas jajahan negara Barat, namun akhirnya kandas di tengah jalan. Di tengah situasi dan kondisi sosial-politik dunia yang semakin karut marut dan cenderung "zero sum game" ini diperlukan kesediaan dan sikap arif dari semua pihak untuk menemukan dan membentuk tatanan baru dunia yang lebih adil dan beradab di atas landasan kemanusiaan yang universal guna menyelamatkan bumi dari kehancuran peradaban.

Simak Juga:




Posting Komentar