Menjaga keseimbangan
Pembahasan mengenai hukum sebuah acara tahlilan ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) hukum mengenai mengadakan atau menyelenggarakan tahlilan, dan (2) hukum tentang menghadiri acara tahlilan. Sebelum membahas lebih lanjut tentang acara tahlilan, lebih dahulu perlu diketahui tentang makna 'tahlilan' itu sendiri. Tahlilan merupakan kata bentukan (kata kerja yang dibendakan) dari akar kata 'tahlil'. Secara etimologi (bahasa), kata 'tahlil' berarti membaca kalimah tauhid, yakni 'laa ilaaha ill Allah' yang artinya 'tiada tuhan (zat yang patut disembah atau mengabdikan diri)selain Allah'. Sedangkan secara
istilah, kata tahlilan mengacu pada sebuah acara membaca doa bersama yang diselenggarakan oleh suatu keluarga mengiringi atau karena peristiwa meninggalnya anggota keluarganya. Dalam acara tahlilan biasanya diikuti oleh 30-50 orang terdiri dari para tetangga dekat yang sengaja diundang oleh pihak keluarga yang sedang berduka, dan anggota keluarga itu sendiri. Pada umumnya tahlilan diadakan sejak hari pertama terhitung dari saat meninggalnya seseorang anggota keluarga hingga tujuh hari ke depan, kemudian disusul pada hari ke empat puluh, pada keseratus hari terakhir pada keseribu hari. Dalam acara tahlilan tersebut sudah dibakukan bersumber dari sebagian ulama secara bersama-sama membacakan berbagai 'kalimah thoyyibah' atau kalimat-kalimat suci, mulai dari Alquran surat Yasin, beberapa surat dari juz 'Amma, awal surat Al-Baqarah, tahlil dan ditutup dengan doa khususnya untuk jenazah dan keluarga yang ditinggalkan.
Ditilik dari sejarahnya, acara tahlilan itu merupakan spesifik hanya dikenal dan diadakan di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Meskipun belakangan justru masyarakat Betawi yang paling 'getol' menyelenggarakan acara tahlilan, karena bukan hanya mengiringi saat peristiwa kematian anggota keluarga, tetapi dilakukan pada acara-acara lain, seperti pada momen pernikahan atau arisan dengan format baru, yakni pembacaan doa ahli kubur. Jika dirunut lebih jauh, acara tahlilan tersebut merupakan praktik sinkretisme ajaran Islam dengan tradisi masyarakat pemeluk agama Hindu di lingkungan kerajaan Jawa. Praktik sinkretisme tersebut merupakan hasil ijtihad sekaligus strategi dakwah yang dilakukan para Walisongo, khususnya Sunan Kalijogo, dalam menyebarkan ajaran Islam di lingkungan masyarakat yang telah berabad-abad tertanam dalam sanubari memeluk agama Hindu dan Budha dengan paham dan kepercayaan dinamisme yang penuh dengan berbagai upacara dan sesaji bagi arwah leluhur, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran monotheisme atau tauhid dari Islam. Berhadapan dengan masyarakat dengan tradisi dinamisme tersebut, Sunan Kalijogo tidak bersikap konfrontatif dan 'membabat habis', tetapi secara perlahan (mengikuti dan menyontoh strategi yang dilakukan Nabi saw seperti misalnya dalam peneraparan hukum minuman keras) disesuaikan dengan tradisi lama yang telah mengakar, sehingga hasilnya ajaran Islam dapat diterima dalam masyarakat tersebut dengan damai tanpa resistensi yang berarti.
istilah, kata tahlilan mengacu pada sebuah acara membaca doa bersama yang diselenggarakan oleh suatu keluarga mengiringi atau karena peristiwa meninggalnya anggota keluarganya. Dalam acara tahlilan biasanya diikuti oleh 30-50 orang terdiri dari para tetangga dekat yang sengaja diundang oleh pihak keluarga yang sedang berduka, dan anggota keluarga itu sendiri. Pada umumnya tahlilan diadakan sejak hari pertama terhitung dari saat meninggalnya seseorang anggota keluarga hingga tujuh hari ke depan, kemudian disusul pada hari ke empat puluh, pada keseratus hari terakhir pada keseribu hari. Dalam acara tahlilan tersebut sudah dibakukan bersumber dari sebagian ulama secara bersama-sama membacakan berbagai 'kalimah thoyyibah' atau kalimat-kalimat suci, mulai dari Alquran surat Yasin, beberapa surat dari juz 'Amma, awal surat Al-Baqarah, tahlil dan ditutup dengan doa khususnya untuk jenazah dan keluarga yang ditinggalkan.
Ditilik dari sejarahnya, acara tahlilan itu merupakan spesifik hanya dikenal dan diadakan di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Meskipun belakangan justru masyarakat Betawi yang paling 'getol' menyelenggarakan acara tahlilan, karena bukan hanya mengiringi saat peristiwa kematian anggota keluarga, tetapi dilakukan pada acara-acara lain, seperti pada momen pernikahan atau arisan dengan format baru, yakni pembacaan doa ahli kubur. Jika dirunut lebih jauh, acara tahlilan tersebut merupakan praktik sinkretisme ajaran Islam dengan tradisi masyarakat pemeluk agama Hindu di lingkungan kerajaan Jawa. Praktik sinkretisme tersebut merupakan hasil ijtihad sekaligus strategi dakwah yang dilakukan para Walisongo, khususnya Sunan Kalijogo, dalam menyebarkan ajaran Islam di lingkungan masyarakat yang telah berabad-abad tertanam dalam sanubari memeluk agama Hindu dan Budha dengan paham dan kepercayaan dinamisme yang penuh dengan berbagai upacara dan sesaji bagi arwah leluhur, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran monotheisme atau tauhid dari Islam. Berhadapan dengan masyarakat dengan tradisi dinamisme tersebut, Sunan Kalijogo tidak bersikap konfrontatif dan 'membabat habis', tetapi secara perlahan (mengikuti dan menyontoh strategi yang dilakukan Nabi saw seperti misalnya dalam peneraparan hukum minuman keras) disesuaikan dengan tradisi lama yang telah mengakar, sehingga hasilnya ajaran Islam dapat diterima dalam masyarakat tersebut dengan damai tanpa resistensi yang berarti.