Sebagaimana biasa sebuah tulisan kajian, diawali atau dimulai dengan paparan data dan analisis, lalu ditutup atau diakhiri dengan kesimpulan. Namun artikel kali ini sengaja dibalik, yakni diawali dengan kesimpulan lantas diikuti penjelasan dan elaborasinya. Mengapa demikian, karena topik yang akan disajikan sudah demikian lama berlangsung, untuk tidak dibilang akut, dan secara luas dikenal serta dikonsumsi oleh masyarakat luas dari berbagai kalangan. Kesimpulan sebagaimana tertera pada judul dapat dibuktikan atau didasarkan 3 fakta dan indikasi yang cukup menarik, yaitu:
Tidak tertariknya kebanyakan angkatan muda Indonesia terjun dan menekuni profesi petani;
Bahkan yang lebih ironis lagi, para lulusan dan alumni IPB (Institu Pertanian Bogor) justru sepertinya lebih tertarik untuk memilih profesi bidang lain, seperti di bidang perbankan, penerbitan atau pendidikan sebagai pengajar atau peneliti dan tinggal di wilayah perkotaan ketimbang menggeluti profesi atau praktisi petani dan menetap di perdesaan;
Timbul tenggelamnya kondisi pelaku usaha di berbagai sektor budidaya pertanian.
Selanjutnya, dengan adanya fakta dan fenomena tersebut memunculkan sebuah pertanyaan kritis, yakni “mengapa petani mendapat stigma marjinal atau dengan kata lain dianggap profesi marjinal di Indonesia?”. Pertanyaan klasik tersebut menurut lirik lagu Ebit G Ade mungkin lebih pas “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”, karena bertanya kepada darat, ombak, matahari semua diam alias mereka tidak menjawab. Sementara dalam tulisan ini secara gamblang dan terang benderang dapat disebutkan bahwa penyebab utama dari marjinalisasi petani hanya dua, yakni “ulah” para tengkulak dan “perangai” para investor besar yang bermental kapitasitik dan hanya “mau mencari enak sendiri dan memetik hasil tanpa jerih payah serta tidak berwawasan lingkungan yang berkelanjutan”. Sesungguhnya fenomena demikian bukan hal baru, tetapi sudah melembaga dan membudaya sejak Indonesia merdeka masih muda usia.
Inilah geliat dan pergulatan para perintis dan pelopor petani yang telah menorehkan tinta emas dalam bidang usaha pertanian dan peternakan dari beragam sektor komoditi, namun nasibnya kemudian disalib dan dilindas oleh dua pelaku usaha bermental benalu sebagaiamana disebutkan terdahulu.
Bertani tembakau
Pada dekade 1950-an kisah sukses para petani di sentra-sentra tembakau, seperti daerah Weleri-Kendal, kebetulan asal kelahiran istri penulis, daerah wonosobo, Jawa Tengah, dan Jember, Jawa Timur, benar-benar telah atau pernah mengenyam dan menikmati masa jaya dan zaman keemasan sebagai petani tembakau. Sehingga pada waktu itu mereka dikenal sebagai petani yang kaya raya. Sudah menjadi bahan cerita umum bahwa satu kali panen tembakau mereka dapat membeli kendaraan, ada yang membeli mobil pribadi atau ada pula yang membeli sepeda motor, tergantung pada luas lahan yang digarap. Suatu keadaan ekonomi yang jarang dimiliki petani lainnya. Seperti diketahui bahwa di balik keuntungan yang besar, bercocok tanam tembakau menag memerlukan biaya yang besar pula, dibawah bayang-bayang ancaman gagal panen, seperti karena faktor cuaca ataupun serangan hama. Dengan durasi masa tanam yang tidak terlalu lama saat memetik daun tembakau tiba, kemudian mereka menjual hasil pertaniannya kepada 2 atau 3 tengkulak atau pengumpul di setiap wilayah sentra pertanian tembakau (siapa lagi yang bisa melakukan kalau bukan dari etnis Cina) siap membeli hasil panen para petani itu. Siklus dan sinergitas peran antara petani dan tengkulak tembakau demikian berjalan bertahun-tahun dengan mulus dan lancar dalam hubungan kerja simbiosis mutualistis dan harmonis. Sampai kemudian tiba di suatu masa pihak tengkulak mulai bertingkah dan “berulah” serta "unjuk kekuatan" (bargaining position) dengan cara menekan harga beli secara sepihak yang tentu saja sangat merugikan para petani. Petani dibuat bertekuk lutut dalam dilema, antara merugi total karena tidak tau dan atau tidak bisa menjual panen tembakaunya mau dijual kemana, atau alih-alih meraih untung modal saja tidak sepenuhnya dapat kembali utuh. Balada itu berlangsung secara berangsur selama beberapa tahun, sampai akhirnya petanian tembakau di wilayah itu pun “terkapar”, dan menyerah tidak dapat melanjutkan lagi usaha bercocok tanam tembakau. Dan lucunya atau lebih tepat ironisnya, bersamaan dengan itu tengkulak-tengkulak itu pun ikut "bubar jalan" lantas bak benalu, mati bersama petani dan menutup usahanya sampai hari ini, karena tidak ada lagi komoditi yang diperdagangkan. Walhasil masa kejayaan dan zaman keemasan pertanian tembakau sekarang tinggal menjadi catatan sejarah.
Bertani cengkeh
Secara kebetulan komoditi cengkeh memang merupakan pasangan tembakau sebagai bahan baku untuk industri rokok. Nasib petaninya tak jauh berbeda bahkan dapat dibilang lebih tragis ketimbang petani tembakau. Hanya bedanya, apakah ulah tengkulak tembakau tersebut murni permainan dari pihak tengkulak karena keserakahan mereka atau mungkin ada tekanan dari pihak produsen rokok, kurang jelas. Karena dalam kasus nasib petani cengkeh yang sempat mengalami dan mengenyam masa kejayaan, namun kemudian nasibnya terpuruk juga. Sampai-sampai saking kesal dan dilanda perasaan frustasi, kabarnya banyak dari petani cengkeh yang menebang dan membabat habis pohon cengkeh mereka hingga tak bersisa untuk dijadikan kayu bakar. Sebabnya adalah murni karena keserakan dan kelicikan pihak tengkulak dan perantara melalui ketetapan presiden Soeharto kala itu dengan mendirikan BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Akhirnya seperti halnya petani tambakau, para perintis dan pelopor petani cengkeh itu hingga kini roboh bertumbangan dalam usaha mereka dan tak pernah bisa bangkit lagi.
Beternak ayam
Pada dekade 1980-an adalah Eko (38 th), seorang praktisi peternak mandiri yang sudah cukup lama menggeluti usaha peternakan ayam kampung. Ia tinggal di bilangan kecamatan Jagakarsa memungkinkan untuk mondar mandir ke kantor Kementerian Pertanian RI yang baru beralamat di Jl Simatupang, Jakarta Selatan. Berbekal pengalaman dan teman-teman seprofesinya yang lumayan banyak ia mencoba merintis dalam pengembangan usaha ternak varitas baru yang kelak kemudian dikenal sebagai ayam broiler atau ayam potong atau di pasaran populer dengan sebutan ayam negeri. Dengan rekayasa teknologi, ayam jenis tersebut dapat dipercepat berkali lipat atau ditingkatkan produktivitasnya dibanding ayam kampung. Seperti diketahui bahwa sebelumnya kebutuhan masyarakat Indonesia untuk konsumsi daging unggas termasuk telor bersumber dari ayam kampung yang pertumbuhan dan produktivitasnya lambat dan rendah, sehingga permintaan atau demand daging unggas secara nasional yang kian meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan serta daya beli masyarakat sulit dipenuhi. Seperti nasib yang dialami dan menimpa para praktisi petani rakyat di bidang komoditi tembakau dan cengkeh, masa bulan madu mengenyam manisnya beternak ayam potong juga tak berlangsung lama dan porak poranda ketika kemudian berdatangan investor pemilik modal besar ikut “nimbrung” dan masuk dalam bisnis ternak ayam potong, salah satunya konon adalah milik pejabat tinggi, Radius Prawiro. Seketika itu peternak mandiri apalagi peternak gurem dipaksa harus berhadapan dan bersaing dengan perusahaan raksasa, di tengah kancah ulah tengkulak yang cenderung gemar mempermainkan harga, membuat banyak peternakan rakyat gulung tikar atau terombang ambing, seperti kata peribahasa hidup segan mati tak mau. Walhasil para praktisi, perintis dan pelopor itu tinggal gigit jari menelan pil pahit, sementara buah manisnya dipetik oleh investor raksasa itu bersama tengkulak. Kelabilan dan fluktuasi tingkat harga daging dan telor ayam seakan sudah menjadi berita yang biasa yang tidak mengejutkan.
Industri otomotif
Sebelum Perang Dunia II (PD II), produksi dan pasar mobil di dunia dikuasai oleh Amerika Serikat, di antaranya adalah merk Ford, Chrysler, Chevrolet, Jeep, dan sejumlah negara di daratan Eropa, seperti BMW, Mercedes (Jerman), Fiat (Italia), Moris, Roll Royce (Inggris), Peugeot, Renault (Prancis. Namun setelah negara Jepang takluk dalam PD II, sekitar tiga dekade kemudian negara asal “saudara tua bangsa Indonesia” tersebut berhasil merajai produksi dan pemasaran otomotif (Toyota) di seluruh dunia. Keberhasilan itu konon berkat mereka menerapkan konsep dan strategi “market approach”, berbeda dengan para produsen otomotif di Amerika Serikat dan di daratan Eropa yang meneggunakan konsep dan strategi "product approach".
Demikianlah, paparan analisis tersebut disusun dari perspektif logika, akal dan rasional. Namun berbeda lagi jika ditinjau dari sudut pandang agama (Islam) atau spiritual. Menurut hukum Islam, petani wajib mengeluarkan atau membayar zakat sebesar 5-10% atas hasil pertaniannya. Jika angka perkaliannya besar (missal 1 miliar), maka jumlah nominal zakat yang wajib dibayarkan akan terasa besar, yakni 50-100 juta. Melihat jumlah angka besar tersebut acapkali menggoda dan biasanya membuat mungkin sebahagian petani sebagai wajib zakat merasa enggan atau lupa membayarkan zakatnya. Dari perspketif itulah Tuhan dapat saja menarik atau mencabut nikmat yang telah diberikan dari petani yang enggan membayarkan zakatnya.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"
Ibrahim 7
Perlu kiranya dijelaskan bahwa mengapa persentase zakat yang mungkin dirasa besar dan berat tersebut karena dalam prosesnya secara teknis peran petani hanya menanamkan bibit dan hasilnya tinggal menunggu proses yang terjadi di dalam tanah yang sama sekali tidak dapat dilihat dengan mata kepala sendiri. Hari ini usaha budidaya tanaman porang, merupakan salah satu bahan baku olahan untuk produk makanan, kosmetika dan kebutuhan lain sedang bergeliat dan marak dilakukan oleh para perintis dan pelopor petani di berbagai daerah di Indonesia dengan semangat tinggi, dedikasi dan menggebu-gebu penuh harapan. Riwayat perjuangan para perintis dan pelopor petani di sejumlah sektor komoditi strategis sebagaimana dipaparkan di atas kiranya dapat bermanfaat setidaknya sebagai catatan dan pengingat untuk menumbuhkan kewaspadaan agar tidak terjerembab ke dalam kubang nasib yang sama yang dihadapi dan dialami para pendahulunya.
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.