Emang jago beneran
Latar Belakang
Sesudah zaman keemasan dunia muslim yang berlangsung begitu singkat, bahkan sebelum masa itu sendiri berlalu, ditandai dengan insiden pembunuhan khalifah Utsman ra, fitnah besar pun terjadi. Umat muslim tercabik-cabik dan terseret ke dalam pusaran berbagai aliran dan sekte. Sekalipun hal tersebut sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan jika merujuk pada sabda Nabi saw yang menyebutkan bahwa umat pengikut beliau kelak akan terpecah menjadi 73 golongan. Tiap aliran dan sekte mengklaim bahwa hanya dirinyalah yang mewakili Islam yang "benar", dan bukan golongan lain. Setelah itu perlahan tapi pasti, melalui proses sejarah yang panjang muncullah aliran ortodoks besar, seperti
Sunni, Syiah dan Khawarij, melalui program pengumpulan dan penyusunan buku-buku hadis yang dikenal dengan
al-shihah, yaitu buku-buku yang khusus memuat hadis-hadis sahih. Ketiganya muncul setelah dan sepanjang pertikaian dan perang saudara yang timbul dan dicatat dalam sejarah peradaban Islam sesudahnya. Dari catatan fakta sejarah tersebut satu hal dapat disimpulkan atau dipastikan bahwa episentrum perpecahan umat muslim adalah masalah sosial-politik, bukan soal ritual keagamaan. Berbeda dengan hal-hal ritual yang bersifat statis dan sudah baku, sebaliknya bidang muamalah khususnya kondisi sosial-politik merupakan perkara yang bersifat dinamis seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karenanya kemudian, perdebatan panjang hampir sepanjang sejarah muslim di antara para ulama tak lepas dari latar belakang sosial-politik tersebut yang dimanifestasikan dalam kajian theologis. Puncaknya adalah kehadiran Imam Ghozali yang merasa "prihatin" ketika menyaksikan perdebatan atau persisnya pertikaian di kalangan umat muslim yang berlarut dan tak kunjung habis itu. Sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan untuk menolak filsafat dalam memahami agama. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, setelah itu dunia muslim asyik dan "tenggelam" dalam kegiatan ibadah ritual demi mengejar dan meraih kebahagiaan akhirat seraya melupakan kehidupan dunia seakan tidak atau kurang memahamai peringatan Alquran berikut.
...وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّـهُ الدَّارَ الْآخِرَةَوَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
Al-Qasas 77
Perubahan arah pemikiran tersebut menimbulkan dua pengaruh dan dampak sekaligus. Di satu sisi, pelan tapi pasti sejak saat itu dunia muslim mulai mengalami kemunduran. Di sisi lain, dunia Barat mulai mengambil alih peran kepemimpinan di dunia yang telah dipegang kaum muslim selama ratus tahun itu. Guna melerai dan meredam kian sengitnya perdebatan, pertikaian dan perselisihan di kalangan ulama tersebut, maka sejak saat itu para ulama sepakat ditutuplah pintu ijtihad.
Taklid dan Islamisme
Dunia muslim yang telah "dijauhkan" dari pemikiran filsafat seiring dengan ditutupnya pintu ijtihad, maka lengkaplah sudah unsur kelemahan bagi dunia muslim untuk kemudian memasuki zaman
kejumudan alias kebekuan dan statis, yang tentu saja memunculkan medan masalah baru yang tak kalah peliknya. Di kalangan internal dunia muslim sendiri, tak terkecuali ulama dan dengan sendirinya berimbas pada umat, keputusan dan sikap
anti filsafat dan maklumat para ulama bahwa
pintu ijtihad telah ditutup telah melahirkan sikap
taklid di dunia muslim, yakni mengikuti pendapat orang lain tanpa memahami alasannya yang sikap tersebut sesungguhnya jelas dicela dalam Alquran.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌإِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
Al-Isra 36
Dalam pada itu karena latar belakang dan kepentingan politik, sikap dan iklim taklid tersebut telah dimanfaatkan untuk menggiring dan membangun serta menggerakkan kekuatan (baca: memobilisasi) massa sebagai sarana ampuh untuk meraih kekuasaan dan kepemimpinan, baik kepemimpinan formal maupun informal. Sejauh hal tersebut masih berjalan dalam koridor hukum yang berlaku dan sistem demokrasi, maka cara tersebut dinilai sah-sah saja. Hanya saja, diskursus agama tidak lagi murni semata-mata untuk mencari dan menemukan kebenaran agama, akan tetapi telah disusupi oleh kepentingan dan tujuan lain selain agama itu sendiri. Dalam kenyataannya dapat diamati pada gerakan-gerakan politik selama kurun waktu di mana umat muslim atau setidaknya menurut penilaian dan pandangan tokoh pimpinan muslim tertentu merasa tersingkir atau bahkan tertindas.
Islamisme adalah pemahaman agama (Islam) dalam bentuk tatanan sebuah negara, yaitu negara Islam. Kelompok Islamisme mengidolakan Islam pada zaman Nabi saw di Madinah, dan mereka berupaya untuk mengembalikan praktik berislam pada zaman sekarang untuk kembali seperti praktik berislam pada zaman Nabi saw. Islam zaman Nabi saw di Madinah yang telah diidolakan oleh kelompok Islamisme, hanya dapat dipraktikkan pada zaman Nabi saw. sampai wafatnya. Setelah zaman Nabi saw. berakhir dan digantikan oleh
al-Khulafa’ al-Rasyidin, sistem pemerintahan yang persis seperti pada zaman Nabi saw. sudah tidak mungkin dipraktikkan lagi. Alasannya, Nabi Muhammad saw. menjalankan pemerintahannya di Madinah dalam bimbingan wahyu Allah, sedangkan para al-Khulafa’ al-Rasyidin pemerintahannya mesti berijtihad sendiri terhadap setiap masalah yang muncul dan baru, serta belum pernah ada pada zaman Nabi Muhammad saw. Jadi sudah sangat jelas bahwa apa yang diwacanakan oleh kelompok Islamisme yang bercita-cita dan berkeinginan untuk mendirikan negara Islam ala zaman Nabi saw. di Madinah, sangatlah jauh dari jangkauan dan sungguh tidak rasional. Alasan lain bahwa kelompok Islamisme adalah para penganut Islam yang lahir dan hidup di sekitar abad ke-18, jauh sesudah masa Nabi saw (wafat 632 M) berakhir, dan sangat mustahil untuk bisa mempraktikkan Islam persis di zaman Nabi saw.
Asal Usul Jurus Monopoli Kebenaran
Walaupun tak diketahui secara pasti sejak kapan pintu ijtihad ditutup terjadi karena ada anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan seperti keempat imam itu. Sebaliknya, menurut
Abu Zahrah, di kalangan
Syi'ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu ijtihad. Sayyid
Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh
Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang manapun: "Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan pintu ijtihad". Bahayanya banyak --berakibat pada terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mengalami kemunduran karena meninggalkan
ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini. Patut dicatat bahwa dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan
status quo, dengan alasan klise "demi ketertiban dan keamanan"
Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, maka ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh di negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah adalah pernyataan para ulama
Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan Alquran. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan bahwa Saddam Husein sebagai
bughat dan pemimpin zalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Dan bilamana ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar mendapat dua pahala. Demikian kata mereka. Tetapi tidak diingat atau mereka lupa bahwa kesalahan berijtihad tersebut telah mengakibatkan dan menelan korban kemanusiaan tak terperikan.
Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama. Paham Ibn Taymiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abdal-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia mencela kaum mutakallim, filsuf dan sufi.
Contoh lain tentang iklim dan budaya taklid dimanfaatkan sebagai sarana memobilisasi massa untuk maksud dan meraih tujuan tertentu.
Front Pembela Islam (FPI), didirikan pada tanggal 17 Agustus 1998 oleh Muhammad Rizieq Shihab(1965). Kebanyakan anggotanya berasal dari ikatan-ikatan pemuda masjid dari penjuru Jakarta dan sejumlah madrasah atau pun pesantren di sekitar Jakarta. Latar belakang mereka umumnya para pemuda pengangguran, termasuk kelompok-kelompok preman. Moto yang diajarkan “hiduplah dengan mulia atau lebih baik mati sebagai syahid”. Dalam tempo singkat, FPI berhasil memperluas jaringannya ke kota-kota di luar Jakarta. Sampai dengan tahun 2004 FPI berhasil mendirikan 18 cabang di tingkat provinsi dan sebanyak 50 perwakilan cabang di tingkat kabupaten dengan puluhan ribu simpatisan di seluruh Indonesia.