Pertama-tama dan paling utama satu hal yang perlu diluruskan adalah tentang teknik penulisan sejarah. Dalam banyak kasus, penulisan sejarah dilakukan oleh pihak penguasa, sehingga narasinya kerapkali cenderung subjektif, dipenuhi prasangka dan bias penguasa. Atau setidaknya karena kesalahan dalam berpikir dan menilai
terhadap suatu bahan penulisan sejarah. Sebagai contoh, dalam sejarah kerajaan Demak Aryo Penangsang, adipati Jipang, dicatat dan dicitrakan sebagai pemberontak dan penjahat yang melawan pemerintah yang sah karena dilatarbelakangi persaingan politik. Dan itu yang paling banyak atau kerapkali terjadi. Rezim otoriter presiden RI ke-2 Soeharto memerintahkan guru besar FISIP Universitas Indonesia Nugroho Notosusanto untuk menulis sejarah yang menonjolkan peran dan jasa Soeharto seraya mengecilkan peran dan jasa presiden RI pertama Soekarno selama masa revolusi dalam perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Modus dan distorsi sejarah semacam itu tak tertutup kemungkinan sehingga dapat saja terjadi dan menimpa Siti Jenar karena konflik kepentingan yang dilatarbelakangi perebutan pengaruh di tengah masyarakat yang notabene waktu itu masih banyak yang memeluk agama Hindu dan Budha. Selain faktor dan latar belakang tersebut, perbedaan tajam antara Siti Jenar dan kelompok Walisongo dalam pemahaman theologi juga disebabkan oleh paradigma serta pendekatan pemikiran antara kedua "kubu", dimana kelompok Walisongo menggunakan pendekatan dan mengikuti aliran "syariat" atau fikih dengan bahasa halal-haram. Sedangkan Siti Jenar melalui pendekatan serta mengikuti aliran "filsafat" dengan bahasa kebenaran hakiki. Analoginya, kedua aliran tersebut ibarat kendaraan bermotor, aliran "syariat" menggunakan sistem atau model (gigi) manual, sedangkan aliran "filsafat" menggunakan sistem atau model (oto)-matic.Di bagian lain, jika jumlah seluruh wali yang sepuluh itu sebagai representasi aliran metode pendekatan pemikiran, maka metode pendekatan pemikiran "syariat" merupakan kelompok mayoritas atau kebanyakan yang diwakili oleh Wali Songo. Sedangkan hanya kelompok kecil dan kalangan terbatas saja (1:10) yang berminat dan mampu menggunakan metode pendekatan filsafat.
Pandangan Seikh Siti Jenar tentang "manunggaling kawolu Gusti" atau "wihdatul wujud"
Tudingan "mengaku sebagai tuhan" yang disematkan di atas pundak Siti Jenar boleh jadi hanya sebuah rekayasa atau mengada-ada karena motif dan latar belakang rivalitas sebagaimana disebutkan di atas.
Atau bisa jadi karena memang mereka benar-benar tidak mengerti dan tidak memahami maksud sesungguhnya dari konsep manunggaling kawulo Gusti atau wihdatul wujud tersebut.
Padahal kekeliruan penilaian tersebut nampaknya hanyalah pada perbedaan dalam cara dan bahasa pengungkapannya saja, sebagaimana ungkapan dari seorang sufi besar al-Hallaj dengan istilah yang kemudian terkenal "anal haq".
Jadi.., ketika seikh Siti Jenar menganggap dan merasa bahwa Allah swt ada dalam dada atau dirinya adalah bukan sesuatu yang salah. Bukankah Allah swt sendiri juga menyatakan dan mengatakan demikian?
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya..
Qaf 16
Lagi pula, lepas dari soal benar atau salah dalam praktiknya "mengaku sebagai tuhan" dampak sosial-politiknya tidak lebih besar dari pada "mengaku sebagai nabi (ataupun keturunannya)".
Pandangan Seikh Siti Jenar tentang "jasad sebagai penjara ruh"
Kepercayaan dan pandangan tentang tersiksanya ruh karena "terpenjara" di dalam jasad itu aslinya adalah konsep kejadian atau penciptaan manusia menurut agama Budha (dan Hindu), yakni disebut "samsara" yang berakar dari konsep reinkarnasi.
Menurut kepercayaan tersebut hidup merupakan perjuangan ruh keluar dari penjara fisik atau jasad untuk meraih "moksa" atau kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi, untuk menuju perjalanan terakhir, yaitu "nirwana".
Inikah sebuah bentuk duplikasi atau "taklid" pada pemikiran Walisongo?
Baik Jalaludin Rumi sang sufi maupun Seikh Siti Jenar yang menganggap dan merasa bahwa ruhnya terpenjara di dalam raga ("samsara" dalam falsafah Budaha-Hindu) sesungguhnya merupakan pandangan faktual dan rasional. Bahkan dalam bahasa lain Alquran membenarkan tentang pandangan tersebut yang pada dasarnya menyebutkan bahwa raga merupakan "penjara" dari ruh. Atau barangkali para ahli atau sebagian pihak lain dipersilakan jika dapat menunjukkan Alquran atau Hadist yang melarang pandangan tersebut.
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)
At-Tien 4-5
Dari beberapa paparan tersebut secara implisit menunjukkan bahwa Islam, jika sesuatu itu faktanya memang benar, maka pastilah Alquran mengatakan dan mengakui kebenaran tersebut, tak peduli atau tidak memandang dari manapun datangnya. Seperti contohnya, anjuran Nabi saw bahwa dalam menuntut ilmu bila perlu sampai ke negeri China, sekalipun China menganut atheis, karena yang dicontoh ilmu pengetahuannya, bukan kepercayaannya. Demikian pula yang disebutkan dalam sebuah riwayat tentang pernyataan beliau pada seorang PSK (pekerja seks komersial) sebagai ahli sorga, karena PSK tersebut telah memberi air minum pada seekor anjing yang terperosok dan kehausan di sebuah sumur tua. Dari riwayat itu pula terkandung pesan dan spirit ajaran bahwa kesalihan sosial dalam Islam mendapat aprisiasi dan tempat demikian tinggi sehingga mengalahkan apa yang dilihat secara lahiriyah dalam diri seseorang. Atau dengan kata lain, secara karikaturis, kebenaran dan kebaikan itu tidak harus datang dari sosok penampilan "sorban sebesar periuk nasi" dan atau "jubah sampai menyentuh tanah".
Pada intinya, perbedaan sudut pandang dan perspektif antara Walisongo dan Siti Jenar sesungguhnya terletak pada paradigma dan pendekatan berpikir di antara kedua "kubu" tersebut. Walisongo mengikuti dan menggunakan pendekatan syariat, sedangkan Siti Jenar melalui pendekatan filsafat. Ciri pokok aliran syariat cenderung menggunakan perasaan, sedangkan aliran filsafat cenderung menggunakan akal pikiran dalam sikap dan tindakan.
Dalam riwayat hidupnya disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan, seorang tokoh pendiri organisasi massa keagamaan Muhammadiyah merupakan salah satu pengagum dan penganut cendekiawan muslim pembaharu Mohammad Abduh dan Rasyid Ridho, muridnya, di samping rekan seangkatannya Ibnu Rusyd, cenderung mengikuti paradigma dan aliran filsafat.
Sebagaimana diketahui bahwa pendapat mereka yang melawan arus tentang "ijtihad masih (tetap) terbuka" dan menolak "taklid", kemudian berhasil membawa perubahan iklim dan kemajuan besar terhadap alam pemikiran dunia muslim. Namun dalam praktik berdakwah pendiri ormas Muhammadiyah itu banyak dipengaruhi oleh paham wahabi --paham yang dianut secara resmi pemerintah Arab Saudi hingga hari ini-- yang cenderung mengikuti aliran syariat.
Hal tersebut dapat dicermati pada awal kiprah dakwah Muhammadiyah banyak menekankan pada upaya memberantas praktik "singkretisme" yang "dianggap" atau lebih tepat "dikira" menjadi sumber syirik. Padahal faktanya belum tentu demikian, karena hal tersebut masih perlu pengamatan dan kajian yang lebih mendalam. Sehingga sejarawan sekaligus guru besar Universitas Gajah Mada, Kunto Wijoyo, menyebut permulaan dakwah Muhammadiyah tersebut sebagai gerakan budaya tanpa budaya.
Ulama besar sang hujjatul Islam Imam al-Ghozali hampir sepanjang hidupnya berada di persimpangan jalan pemikiran antara aliran syariat dan filsafat yang awalnya sangat dihindari, namun pada akhirnya ia mengakui tentang pentingnya filsafat untuk kemajuan umat manusia. Hanya saja, pemikiran filsafatnya tidak banyak diketahui dan tidak populer. Sedangkan karya inteletualnya yang lebih banyak dipelajari dan dipraktikkan terutama di kalangan pondok pesantren adalah aliran syariat yang membawa umat (awam) "tenggelam" dalam mengejar kehidupan akhirat seraya mengabaikan perkara dunia. Sehingga belakangan ia dituding sebagai pembawa kemunduran dunia muslim yang menjadi titik awal episode penjajahan oleh dunia Barat atas dunia Timur. Aliran syariat dan filsafat itu analoginya ibarat kendaraan bermotor manual dan (oto) matic. Hakikatnya, keduanya tetap menggunakan (ada) gigi dan kopling. Hanya berbeda dalam sistem kerjanya saja. Perbedaan sudut pandang dan perspektif itu pula yang memancing polemik panjang antara Cak Nur vs Ridwan Saidi, berawal dari pandangan baru dari Cak Nur tentang hakikat kalimat syahadat.