PORTAL KAJIAN ISLAM KONTEMPORER: Memadukan Wahyu dan Nalar Sehat Menuju Keseimbangan Hidup. "Banyak orang terjerumus karena menilai kebenaran dari SIAPA yang mengatakan, bukan dari APA yang dikatakan"

Juni 27, 2019

Jembatan Sirotol Mustaqim







Secara etimologi kata 'sirot' (الصراط) diartikan jalan yang lebar dan lurus. Sedangkan 'mustaqim' diartikan berdiri tegak lurus. Dengan begitu, sirotol musyaqim diartikan jalan luas, lebar dan terdekat lagi pintas menuju tujuan hidup hakiki, yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat. Para ulama dan
mufassir telah banyak menjelaskan tentang makna frasa sirotol mustaqim sebagai 'jalan yang jelas dan tidak ada penyimpangan di dalamnya'. Dia adalah jalan yang dapat mengantarkan manusia kepada kebahagiaan. Dia adalah ajaran agama Islam sebagai petunjuk dan pedoman hidup yang mesti dipahami, diikuti dan diamalkan sebagaimana diterangkan dalam Alquran dan sunah Rasulullah saw. Al-Fatiah merupakan satu-satunya surat Alquran yang "dikemas" secara khusus yang di dalamnya terkandung "paket" ungkapan doa sekaligus sebagai pengingat yang selalu dibaca dan dilafalkan oleh setiap muslim yang taat sebanyak 17 kali dalam rentang 24 jam setiap hari. Dalam surat Al-Faatihah tersebut menandakan demikian penting dan sentralnya hakikat dan makna frasa sirotol mustaqim tersebut bagi seorang muslim dalam menata kehidupannya untuk menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang dicita-citakan.
Secara ringkas dan garis besar ajaran Islam pada hakikatnya dapat dilihat dari perspektif hubungan manusia yakni mengatur hubungan individu manusia dengan segala sesuatu di luar dirinya. Hubungan tersebut dibagi menjadi dua dimensi, yaitu hablun minallah atau hubungan vertikal antara manusia selaku abdi atau hamba dan Tuhan merupakan Zat Yang Disembah (tempat mengabdi), dan hubungan horizontal antar sesama makhluk Tuhan atau disebut hablun minannaas.

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللَّـهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia..

Ali Imran 112

Sedangkan dimensi horizontal atau hubungan manusia dengan sesama makhluk, menurut sebagian ulama yang berpandangan progresif dan moderat, masih dibagi dan dibedakan menjadi dua dimensi pula, yakni dimensi individual dan dimensi sosial. Dalam dimensi individual Islam mengajarkan akhlak mulia sejalan dengan tujuan dan misi utama kenabian Muhammad saw. Sedangkan dalam dimensi sosial Islam TIDAK MENENTUKAN ATAU MENETAPKAN BENTUK kemasyarakatan ataupun bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu, tetapi hanya memberikan dan menciptakan benchmarking atau model masyarakat muslim yang ideal sebagaimana kehidupan masyarakat semasa hidup Nabi saw di Madinah, yang kemudian disebut sebagai masyarakat madani atau menurut ahli politik Gramschi disebut sebagai civil society. Selanjutnya dimensi individual sebagai hamba Tuhan dalam ibadah kepada Tuhan juga masih dibedakan lagi menjadi dua, yakni ibadah ritual yang bersifat individual dan ibadah amal sosial.

Mengenai kedua hal tersebut dalam penerapan dan pelaksanaannya didasarkan pada prinsip dan azas ushul fikih sebagai berikut:
Dalam bidang ibadah ritual, semua dilarang kecuali yang diperintahkan. Sedangkan ibadah sosial, semua boleh kecuali yang dilarang.
Sejauh ini hal-hal tersebut tampaknya kurang disosialisasikan dan dipahami secara proporsional dan utuh utamanya di kalangan umat muslim akar rumput. Atau boleh jadi --mudah-mudahan keliru-- jangan-jangan memang sengaja dibiarkan sehingga kian suburnya budaya paternalistik demi kepentingan ekonomi dan atau tujuan politik. Sebagai contoh misalnya, pengembangan ideologi khilafah yang dalam bahasa agama disebut sebagai tidak memiliki landasan theologis dan naqly itu disebut akan menggantikan Pancasila seraya mengharamkan sistem demokrasi mudah bertumbuh kembang di tengah umat yang kuat dengan budaya paternalitik yang notabene kurang memiliki daya kritis. Ciri pokok masyarakat paternalistik adalah kebenaran diperoleh dengan cara siapa yang mengatakan, bukan apa yang dikatakan. Ciri tersebut dalam bahasa ilmu tauhid disebut taklid atau dalam bahasa percakapan disebut 'mengekor' alias membebek. Perlu diketahui bahwa ideologi khilafah tersebut merupakan tafsir hasil penelitian dari para ulama terdahulu dalam ruang dan waktu beberapa puluh abad lalu tentu wajar jika sudah ketinggalan zaman untuk dapat menjawab berbagai masalah kemasyarakatan dan negara  yang sudah jauh berbeda dewasa ini.
Hampir semua pemikir dan ahli agama sepakat serta tidak ada perbedaan pendapat tentang kedudukan manusia dan jin sebagaimana dimaksud dan termaktub dalam Alquran.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu

Azd-Dzariyat 56

Namun dalam waktu yang bersamaan manusia diangkat dan diutus untuk menjadi khalifah (pemimpin) di bumi. Sebuah posisi dan peran ganda yang kontradiktif (sebagai hamba sahaya sekaligus raja) dan tentu saja suatu misi yang tidak mudah dilaksanakan dan diwujudkan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi

Al-Baqarah 30

Untuk memikul dan mengemban misi, peran dan tanggung jawab tersebut sesuai dengan petunjukNya (wahyu Alquran), Tuhan menjanjikan kepada manusia derajat kemuliaan tertinggi, yakni kembali dalam perjumpaan dengan Sang Pencipta.

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَـٰهُكُمْ إِلَـٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku. Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Al-Kahfi 110

Meskipun perbedaan dan perselisihan sesungguhnya sudah menjadi sunnatullah dan fitrah manusia, namun bersamaan dengan itu selalu akan muncul titik ekuilibrium, sehingga orang bijak seperti filosof besar Erasmus mengatakan bahwa di dalam perselisihan atau perbedaan terdapat rahmat.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat..

Hud 118


Simak Juga:




Posting Komentar